"Bundaaa. Bikin animasi sejarah ternyata susah. Lebih rumit prosesnya. Bisa lama jadinya. Akhirnya kami bikin animasi bukan sejarah. Kalau maksain diri bakalan kelamaan. Waktunya tidak cukup. Keburu dikumpulkan."
Adiba menyerocos begitu masuk rumah. Ia baru saja pulang dari rumah teman sekelasnya. Selepas bikin tugas kelompok, yaitu bikin animasi.
"Enggak apa-apa. Kalau sudah terbiasa, nanti pasti bisa bikin animasi sejarah," respons saya.
"Yeah? Cita-citaku 'kan bikin animasi sejarah. Untuk membuat orang-orang senang belajar sejarah? Bunda masih ingat 'kan?"
Saya cermati wajah lelahnya sesaat. Kemudian saya coba tenangkan hatinya, "Kamu lupa ya, Nak? Ini 'kan baru pertama kali kamu membuat animasi. Masih belajar bikin. Masih berproses di tahap awal. Kalau sudah sering bikin, pastilah bakalan bisa menghasilkan karya animasi sejarah. Hayooo. Benar atau tidak? Sudah, sudah. Sana mandi dulu. Taat prokes."
***
Saat Adiba mandi, ingatan saya melayang ke masa 3 tahun silam. Ketika ia tiba-tiba mengejutkan saya dengan pertanyaan sekaligus pernyataan, "Aku mau bikin film, tapi pemainnya bukan orang. Animasi. Bunda tahu animasi kan?"
Entah terpicu oleh apa sehingga ia tiba-tiba ia mengemukakan keinginan tersebut. Waktu itu ia masih duduk di bangku kelas VII. Saat belum genap satu semester menjalani kehidupan sebagai siswa SMP.
"Boleh. Berarti cita-citamu berganti? Dulu kamu bilang mau jadi guru?"
Putri semata wayang saya itu tersenyum lebar. Katanya, "Kapan aku bilang begitu, Bund? Pernah bercita-cita menjadi guru, ya?"
"Waktu SD. Sebelum naik ke kelas V."
"Bhahahaha! Aku lupa. Itu cita-cita waktu kecil. Belum sungguhan. Kalau bikin animasi ini cita-cita beneran, Buuund. Boleh 'kan?"
"Tentu saja boleh. Kalau begitu, lebih baik nanti lanjut ke SMK jurusan multimedia. Jadi, bisa belajar animasi sejak awal. Minimal ada pelajaran dasar-dasar animasi atau yang semacamnya."
Saya memaklumi saja kalau Adiba berganti cita-cita. Dahulu ia ingin menjadi guru mungkin terinspirasi oleh para wali kelasnya. Kebetulan sejak masuk SD hingga lulus, ia menjadi kesayangan guru-gurunya. Adapun cita-cita yang baru saja dikemukakannya, mungkin terinspirasi oleh animasi-animasi yang belakangan banyak ia tonton.
Akan tetapi, respons saya berbeda dengan dahulu. Kalau dulu saya sekadar mengiyakan cita-citanya untuk menjadi guru. Tatkala ia mengatakan ingin bikin animasi, saya mengiyakan sekaligus memberikan pengarahan teknis. Kebetulan saya pernah membaca-baca perihal sekolah vokasi.
Alhasil setelah Adiba menyatakan keinginannya untuk bikin animasi, saya mulai serius mengumpulkan informasi dan referensi mengenai SMK jurusan multimedia. Di kota kami, SMK mana yang punya jurusan tersebut. Syarat supaya diterima di situ apa? Dan hal-hal lain yang terkait.
Iya. Seserius itu respons saya. Pertimbangannya, anak ini sudah SMP dan idealnya sejak kelas VIII sudah tahu hendak melanjutkan sekolah di mana. SMA atau SMK? Akan tetapi, keseriusan itu tak serta-merta menjadi dasar pemaksaan. Prinsip #HarapanAnakMerdeka tetap saya junjung tinggi, dong.
Namun, tiap jelang penerimaan rapor saya cek ricek lagi cita-citanya. Ternyata seiring berjalannya waktu, ia konsisten bercita-cita bikin animasi. Malah kian spesifik, yaitu bikin animasi sejarah. Katanya sih, agar orang-orang bisa lebih asyik belajar sejarah. Tidak merasa bosan. Tampaknya cita-cita ini muncul dari kebosanan pribadinya tatkala belajar sejarah.
Hanya saja, kemudian ada sedikit ganjalan ketika ia berada di kelas VIII awal semester 2. Berhubung banyak kawan sekelasnya yang hendak melanjutkan ke SMA, Adiba bimbang. Cita-citanya bikin animasi tetap ada, tetapi ingin lanjut ke SMA. Sementara ia bilang, ia kurang berminat untuk lanjut di SMA.
Akhirnya saya memberikan tenggat waktu agar ia tidak berlarut-larut dalam kebimbangan. Tentu sembari dilengkapi dengan "narasi" panjang lebar perihal perbedaan SMK dan SMA. Termasuk rumor bahwa anak SMK susah tembus ujian masuk PTN.
Termasuk pula fakta bahwa dirinya kelak tidak bakalan punya nostalgia SMA. Receh memang. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan kerecehan itu kelak akan ia sesali kalau sebelumnya luput tak dijadikan bahan pertimbangan.Â
"Oke, Adiba Octavia Pramono binti Joko Pramono. Bunda tunggu jawabanmu sampai sebelum penerimaan rapor kenaikan kelas. Jadi begitu di kelas IX, fokus hunting sekolah lanjutannya jelas."
***
Meresahkan. Esok hari penerimaan rapor, tetapi Adiba belum memberikan keputusan. Ternyata baru selepas Isya ia memberikan jawaban. Injury time.
"Bunda. Aku pilih SMK saja. Beneran aku ingin bisa membuat animasi. Khususnya tentang sejarah. Ingin menyenangkan orang-orang dalam belajar sejarah. Lulus SMK mau kerja, tapi sambil kuliah. Jadi kuliahnya bayar sendiri gitu. Kasihan Bunda kalau aku enggak bantu-bantu biayanya. Hehehe ...."
Meskipun disampaikan sambil cengengesan, perkataan putri semata wayang saya itu mengisyaratkan sesuatu yang "berharga". Menyadarkan betapa di balik sikap bandel dan acuh tak acuhnya, ternyata ia bisa berpikir serius juga.
***
Manusia berencana, Tuhan menentukan. Tiba-tiba saja ada Covid-19 hadir menyelimuti bumi. Termasuk bumi Indonesia. Tepat sesaat sebelum anak-anak sekolah menjalani UN (Ujian Nasional). Adiba yang mestinya menjadi peserta UN angkatan terakhir, secara mendadak resmi menjadi angkatan pertama yang lulus tanpa UN.
Tentu ada konsekuensinya. Salah satu yang paling signifikan, ada perubahan tatacara seleksi penerimaan siswa baru sebab mendadak tak ada nilai UN. Sementara hingga saat itu, nilai UN masih menjadi komponen penentu PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).
Sudah pasti menimbulkan "kehebohan" tersendiri, terutama di kalangan orang tua. Namanya juga mendadak. Namun, syukurlah. Di bawah dinamika bayang-bayang kehebohan tersebut (bahkan sempat ada bongkar pasang syarat PPDB segala), Adiba berhasil diterima di SMKN 2 Yogyakarta jurusan multimedia.
Waktu melesat dengan cepat dalam kungkungan pandemi Covid-19 ....
Dengan segala kesulitan dan keterbatasan akibat ketiadaan pembelajaran tatap muka, saat ini Adiba telah duduk di bangku kelas XI. Ia pun sedang berusaha menyelesaikan karya animasi pertamanya.
Walaupun masih berstatus sebagai tugas mata pelajaran, tetap saja itu termasuk debutnya mengingat ia belum pernah sama sekali membuat animasi. Walaupun belum berupa animasi sejarah seperti yang dicita-citakan, tetap saja sudah patut diapresiasi.
Terlebih sebelum sampai pada tahap bikin animasi ini, ia telah bekerja keras mengerjakan tugas-tugas lain terkait multimedia. Membuat gambar-gambar, baik secara manual maupun dengan mempergunakan laptop. Membuat poster.
Bersama teman-temannya memproduksi sekaligus ikut menjadi figuran dalam sebuah film pendek untuk kepentingan lomba. Plus aneka tugas lain dalam rangka memenuhi tugas sebagai siswa SMK yang mengambil kompetensi multimedia.
Yang pastilah sedikit banyak, semua aktivitas tersebut bisa melengkapi portofolionya. Sebelum kelak tiba masanya untuk menghasilkan karya animasi sejarah. Terima kasih #LadiesianaEvent yang telah memungkinkan saya untuk berbagi kisah ini.Â
Seutas kisah awal dari perjalanan cita-cita Adiba untuk membuat animasi sejarah yang keren. Kiranya opa, oma, om, tante, dan kakak-kakak yang membaca tulisan ini berkenan memberikan doa restu demi terwujudnya cita-cita tersebut. Terima kasih.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H