Beberapa waktu lalu untuk topik pilihan, saya telah menceritakan pengalaman saat disandera kru bus kota gara-gara copet. Sebuah kisah penyanderaan massal yang membuat saya batal kuliah sebab mesti nongkrong di kantor polisi berjam-jam. Sungguh nganu memang. Tatkala itu copet telah mengalihkan tujuan mulia saya untuk tidak bolos kuliah pagi lagi.
Lebih lengkap bisa dibaca di tulisan berjudul  "Inilah 6 Ciri-ciri Copet dan 5 Kiat Menghadapinya".
Nah! Sekarang saya hendak berkisah tentang pengalaman bertetangga dengan keluarga copet. Hal ini terjadi sekian tahun lalu, saat saya masih tinggal di perbatasan Kapanewon Bantul-Kemantren Wirobrajan. Tak tanggung-tanggung, tetangga tersebut merupakan pasangan copet legendaris di Yogyakarta (tentu saya tahunya di kemudian hari).
Semula pasangan copet itu mengontrak rumah di desa sebelah. Setelah masa mengontrak di sana habis, entah sebab pertimbangan apa mereka malah memutuskan pindah ke desa kami. Mungkin sebab desa kami terlihat lebih damai dan permai.
Kehadiran mereka (sebut saja Heri dan Heni) menimbulkan pro dan kontra. Wajarlah. Sebelumnya desa kami memang tak pernah punya penghuni yang berprofesi "ajaib", terkhusus sebagai copet. Penjaga rumah yang mereka sewa pun diomeli oleh warga yang kontra. Namun, beruntunglah Heri dan Heni sebab ternyata si pemilik rumah (yang tinggal di desa lain) berada di pihak penjaga rumah.
Bagaimana dengan Pak RT? Pak RT tidak mau ikut campur. Hanya berkata, "Lihat saja dulu. Kalau mereka nanti bikin kekisruhan, baru kita ambil tindakan. Lapor ke pemilik rumah dengan bukti-bukti. Kalau sekarang saya usir mereka, saya malah ribut dengan pemilik rumah."
Alhasil, Heri dan Heni beserta ketiga anak mereka resmi menjadi bagian dari kami. Warga yang kontra tentulah menggerutu. Sementara yang bersikap pro dengan penuh optimisme berkata, "Nanti istrinya diajak pengajian ibu-ibu 'kan bisa. Siapa tahu kemudian bertobat. Kasihan anak-anak mereka kalau kita usir. Sesama manusia, kok. Jangan terlalu kejamlah jadi manusia."
Saya tergolong warga yang mana? Saya pikir, saya tergolong warga yang berusaha 'bodo amat'. Bukannya sebab ingin berada di tengah-tengah, lho. Hanya saja, saya sadar diri kalau berposisi sama dengan keluarga copet tersebut. Sama-sama sebagai pendatang dan pengontrak di situ. Jadi, sebenarnya sikap 'bodo amat' saya dikarenakan tahu diri saja. Tahu diri kalau tak berhak ikut campur keputusan warga setempat.
Kemudian hari-hari berjalan seperti biasa. Keluarga Heri-Heni makin akrab dengan tetangga sebab kerap berinteraksi. Normal, sebagaimana umumnya hidup bertetangga. Terlebih hidup bertetangga di pedesaan. Keluarga tersebut cukup aktif jika ada kegiatan kampung seperti kerja bakti, menengok orang sakit, lomba Agustusan, bahkan pengajian ibu-ibu.
Heni bersedia ikut pengajian ibu-ibu adalah sesuatu yang menakjubkan bagi saya. Membuktikan bahwa tiap manusia pada hakikatnya adalah baik. Membuktikan pula betapa lingkungan tempat tinggal dapat sangat berpengaruh kepada perilaku seseorang.
Uniknya lagi, anak-anak mereka terkenal rajin dan sopan. Si sulung (cowok) malah pemegang peringkat pertama di sekolah. Adiknya (cewek) tak gemilang di bidang akademis, tetapi pandai mengambar plus rajin membantu ibunya mengurus pekerjaan rumah tangga. Bukankah itu berarti bahwa Heri dan Heni telah mendidik anak-anak mereka dengan baik?
Sungguh kontradiktif dengan profesi yang digeluti. Terlebih kalau dibandingkan dengan beberapa anak trouble maker di daerah kami berdomisili, yang notabene malah dari keluarga baik-baik. Yang bermata pencaharian normal. Kiranya sisi-sisi baik itulah yang melunakkan sikap warga kelompok kontra.