Corona alias si Covid-19 memang bikin runyam. Pandeminya menjungkirbalikkan segala rencana. Tiba-tiba mengubah banyak hal.
Bahkan, menggagalkan tercapainya sebuah "cita-cita" yang tinggal selangkah saja. Benar-benar selangkah dan tak perlu perjuangan apa pun lagi. Sudah tampak banget di depan mata. Jadi, kecewanya lumayan terasa.
Ibarat rencana pertemuan dengan seseorang. Setelah janjian dengan jadwal yang rapi, waktu dan lokasi sudah pasti, eh ... pas tinggal beberapa jam dari jadwal malah ada gempa bumi dahsyat.
Kalau barusan ada gempa bumi dahsyat, mana mungkin nekad hendak mengadakan pertemuan? Sama sekali enggak kondusif, dong. Kemungkinannya hanya dua: tunda atau tak akan pernah ada pertemuan (alias batal).
Menyebalkan memang. Namun, mau bagaimana lagi? Mau protes kepada-Nya? Nauzubillahi min dzalik.Â
Qodarullah, saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang gagal mencapai "cita-cita", padahal "si cita-cita" sudah tampak di depan mata. Huft!
Semula saya pikir pandemi corona tak berdampak buruk apa pun bagi saya. Jadi, pikiran tersebut serta-merta saya cabut tanpa ampun setelah "cita-cita" saya fix batal selamanya (hehehe ... dasar ortu labil).
Iya. Batal selamanya alias tak akan pernah ada.Â
"Cita-cita" saya 'kan hadir di acara pelepasan siswa kelas IX. Saat anak saya menerima ijazah SMP-nya, ketika ia dilepas secara resmi oleh pihak sekolah.Â
Nah! Kalau sekarang saja ia hampir naik ke kelas XI, sungguh tak masuk akal bila saya masih menunggu penundaan pelepasan siswa. Halu kelas dewa dong, namanya.
Yeah? Bagaimana, ya? Sejak anak terdaftar resmi sebagai siswa di SMPN idamannya sesuai zona, saya sudah bersorak gembira membayangkan hari kelulusannya kelak. Tiga tahun kemudian (yakni tahun 2020).Â