FLASHBACK ....
"Lhoh?!! Duitkuuu! Duiiiitkuuu!!! Duitkuuu ilaaang!"Â
Buyar lamunan saya ketika terdengar teriakan membahana itu. O la la! Laki-laki paruh baya yang sebangku dengan saya tiba-tiba menjerit histeris.Â
Sejurus kemudian ia sudah melorot dari bangku penumpang. Terduduk di lantai bus sambil menangis keras. Kakinya bergerak-gerak liar. Sesekali tangannya memukuli lantai bus, juga dengan liar.
Saya terpaku dalam diam. Terjebak di antara kaget dan bingung. Siapa yang tak kaget kalau lamunan mendadak dibuyarkan tanpa ampun? Terlebih pembuyarnya bertingkah seperti anak kecil yang tantrum di depan umum. Tepat di sebelah kanan saya pula.
Perlahan-lahan saya mulai paham apa yang terjadi. Penumpang yang duduk di samping saya itu kecopetan. Uang sebesar Rp500.000,00 raib dari saku bajunya. Ia tersadar kalau uangnya hilang ketika hendak membayar ongkos bus kota.
Uang tersebut milik sang juragan dan berjumlah amat besar baginya. Bisa jadi, jumlah tersebut setara dengan lima bulan gajinya. Wajar kalau ia sehisteris itu. Pasti ia takut dipecat dari pekerjaan.Â
Kalaupun tidak dipecat, hanya disuruh mengganti dengan cara mengangsur, itu pun sudah berat. Bayangkan betapa limbung perekonomian keluarganya bila ia mesti mengganti uang yang hilang.
Jangan lupa. Peristiwa berlangsung pada era 90-an. Berarti nilai Rp500.000,00-nya jauh lebih tinggi daripada sekarang.
"TAK ADA YANG BOLEH TURUN! KUNCI PINTUNYA!"
Tiba-tiba sopir berteriak seraya tancap gas. Kedua kondektur sigap menutup pintu depan dan belakang. Bus kota yang kami naiki pun menggila kecepatannya. Sopir baru menurunkan kecepatan setelah kedua pintu tertutup rapat (beberapa jam setelahnya saya baru paham, kecepatan gila itu disengaja supaya tak ada penumpang terduga copet yang nekad melompat keluar bus).