Memandangi Senja dan Mengambil Nasi dari Masjid Gede Kauman
O, ya. Ada dua aktivitas yang menarik dan bikin saya tak punya alasan untuk bilang bahwa Ramadan di rumah aja tak asyik. Pertama, ngabuburit di atap rumah sembari memandangi langit senja. Kedua, mengambil jatah nasi buat berbuka puasa.
Mengambil jatah nasi? Iya. Begini penjelasannya. Sejak Ramadan tahun lalu, kurang lebih tiap pukul 16.00 WIB, saya beserta orang se-RW akan mengambil jatah nasi bungkus/kotak di Langgar Adz-Dzakirin. Nasi itu dari Masjid Gede Kauman.
Semula saya membatin, "Iseng banget takmirnya. Kalau masjid di-lock down, kenapa menyediakan ribuan bungkus nasi untuk berbuka? Malah tiap sore yang kerap hujan, jadi repot mendistribusikannya ke antero kampung."
Namun ketika paham pertimbangan takmir, saya angkat topi untuk mereka. Begini. Tetap menyediakan menu bukber = menjalankan amanah dari para donatur. Jadi, uang tak tertahan di kas masjid.
Menu bukber dipesan di berbagai usaha katering kecil/menengah = membantu para pengusahanya tetap punya orderan semasa pandemic.
Dibagikan ke warga sekitar = meringankan biaya hidup warga. Bagi warga berkecukupan, pastilah tak terasa sebagai bantuan. Akan tetapi bagi warga yang mendadak tak berpenghasilan sebab terdampak pandemi, pastilah amat terbantu.
***
Demikian kisah Ramadan yang saya jalani di rumah aja. Yang sejujurnya terasa jauh lebih sepi, namun ternyata membuat saya tersadarkan bahwa inti dari rangkaian ibadah Ramadan bukanlah terletak pada pernak-pernik kemeriahannya, melainkan pada keikhlasan hati ini dalam menjalankan tiap ibadah tersebut.
Salam.