Hari ini tanggal 21 April. Hari Kartini. Hari ulang tahun Raden Ajeng Kartini, yakni sosok yang ditahbiskan menjadi pahlawan emansipasi dan inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia. Kiranya tak perlu saya jelaskan lagi tentang beliau di sini. Saya yakin, secara umum rata-rata kita (orang Indonesia yang pernah bersekolah) tahu tentangnya. Perkara tahu secara detil atau tidak; memahami perjuangan Kartini dengan benar atau tidak; itu hal lain.
Sesuai dengan judul di atas, senyampang Hari Kartini dan "nasib" kaum perempuan Indonesia kembali hangat dibahas sebagaimana tiap tahunnya, saya hendak sedikit bercerita mengenai kondisi kesehatan mental dan reproduksi seorang perempuan belia yang saya kenal. Yang pastinya juga merupakan salah satu perempuan Indonesia yang nasibnya diperjuangkan Kartini.
Hanya saja, kenalan saya ini bukan dari golongan yang dianggap keren. Justru sebaliknya, ia kerap terabaikan dan dipandang sebelah mata. Yang acap kali eksistensinya diakui, hanya ketika dipergunjingkan. Ngeri! Tambah ngeri sebab yang mempergunjingkan ya sesama perempuan.Â
Begini....
Sekitar lima tahun lalu saya tinggal di sebuah kampung yang lokasinya tepat di perbatasan wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Tak jauh dari Malioboro yang mendunia itu. Secara teoretis tidak mungkin ada warganya yang kapiran dalam hal akses kesehatan. Fasilitas kesehatan relatif mudah dijangkau. Idealnya masyarakat di situ punya kesadaran tinggi dalam hal memelihara kesehatan, baik kesehatan fisik maupun mental.Â
Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Dalam kegiatan dasawisma saya berkenalan dengan Atika (bukan nama sebenarnya), seorang ibu muda belia yang usianya belum genap 17 tahun. Masih ABG. Sementara anaknya sudah berusia 2 tahun. Wow! Tentu fakta tersebut mengejutkan. Semula saya pikir dia hanya berwajah dan bersikap kekanak-kanakan. Ternyata oh, rupanya, dia memang masing anak-anak.
Setelah bergerilya mencari informasi secara santun, saya akhirnya mendapatkan cerita utuh tentang Atika. Rupanya Atika tidak lulus SMP sebab ketika naik kelas 9 ketahuan hamil. Bayangkan. SMP, lho. Kurang lebih berusia 14-15 tahun.
Pacar yang kemudian jadi suaminya (sebut saja Roni) baru berusia 18 tahun saat itu; sudah putus sekolah sebelum kenal Atika. Tak punya pekerjaan tetap. Berasal dari keluarga yang amburadul walaupun orang tuanya tidak bercerai.
Atika yang yatim sejak SD itu memang minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Kasihan sekali anak ini. Praktis kurang perhatian dan kasih sayang sepeninggal sang ibu. Ayah dan ketiga abangnya tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Wajar kalau si bungsu Atika kemudian hanyut dalam perhatian Roni yang entah dikenalnya di mana. Hingga akhirnya pergaulan mereka kebablasan.
Apesnya setelah mereka menikah, ayah dan ketiga abang Atika yang kecewa kian menjauhinya. Atika memang masih bebas pulang ke rumah orang tuanya, tetapi tampaknya ya sekadar pulang secara fisik. Batinnya tetap berjarak. Saya berani menyimpulkan begitu sebab pernah berkunjung ke situ dan merasakan sendiri atmosfer keberjarakan batin tersebut.
Saya kaget, namun kemudian paham. Wajar ayah dan ketiga abangnya kecewa. Atika dianggap menorehkan aib di muka mereka. Sementara mereka bukanlah keluarga sembarangan. Sang ayah adalah pensiunan kepala sekolah dan ketiga abangnya ternyata lulusan sebuah PTN ternama di Yogyakarta. Foto-foto wisuda terpampang nyata di dinding ruang tamu.