Tapi apa daya diri ini? Saya belum genap dua tahun menjadi tetangga mereka. Bahkan di WAG, aku baru tiga bulan lalu eksis. Itu pun sebagai silent reader. Dan hal yang paling membuat pekewuh, usia saya tergolong paling muda di WAG.Â
Apa boleh buat? Posisi saya sungguh tak memungkinkan untuk mengingatkan. Siapa saya? Belum semua anggota WAG kenal atau sekadar tahu muka saya. Kalau sampai saya nekad menegur, tidakkah itu berarti bunuh diri? Siap-siap dikucilkan. Terancam dilabeli cebong dungu. Dan, aneka label yang sejenis. Haha!Â
Terlebih beberapa anggota WAG kampungku bukan orang sembarangan. Ada yang ulama, rektor, pensiunan dosen sekaligus tokoh keagamaan, aktivis organisasi, dan pengusaha sukses. Yang mestinya lebih berkewajiban untuk mengedukasi warga, agar tak mudah termakan kabar hoaks.Â
Tapi lagi-lagi, apa boleh buat? Â Mereka yang terhormat itu malah diam saja. Tak pernah sekalipun menegur si penyebar kabar hoaks. Menyebalkan sekali 'kan?Â
Apa mungkin mereka juga telah termakan hoaks? Rasanya kok tidak masuk akal kalau sampai termakan hoaks. Mereka itu orang-orang pintar, lho. Tapi andaikata tahu bahwa yang dikirimkan ke WAG kampung adalah hoaks, kenapa mereka tak berusaha meluruskan pikiran saudara-saudara  sekampung mereka?Â
Nah! Â Berdasarkan semua hoaks yang berseliweran di WAG itulah saya menyimpulkan bahwa tak ada tetangga saya yang menyukai Pak Jokowi. Jangankan suka. Yang bersikap proporsional dan objektif kepada beliau pun mungkin tak ada.Â
Tapi  ....
Pada suatu siang yang sedikit mendung saya terhenyak. Dari balik jendela kayu terdengar dua bapak asyik mengobrol. Dan rupanya, yang mereka obrolkan Pak Jokowi. Bukan tentang keburukannya, melainkan tentang sikap kesederhanaannya. Â
"Sakjane Jokowi kuwi mesakke, lho. Deweke kih jebul uripe sederhana. Ora mewah-mewahan. Anak-anake yo podho wae. Tapi masalahe konco-koncone kuwi, lho. Nek Jokowine jane ketoke yo apik. "
Cieee .... Ada yang diam-diam kagum, nih. Haha!