BEBERAPA jam sebelum hari H pengumuman, yaitu hari ini, Â saya punya keyakinan bahwa anak saya akan diterima di SMPN pilihan utamanya. Tentu saya tak sekadar yakin. Tapi yakin berdasarkan pertimbangan atas berbagai aspek terkait. Terutama sebab NUN-nya 25 koma sekian dan berada di urutan ketinggian yang aman. .
Lalu alamat domisili kami, yang tercantum di Kartu Keluarga, berada di wilayah yang sama dengan alamat sekolah tujuan. Sama-sama berada di wilayah kodya Yogyakarta. Situasi ini merupakan salah satu modal tenang saya dalam menunggu hasil seleksi PPDB SMP tahun ajaran ini.Â
Sejak awal saya yakin bahwa anak saya bakalan diterima di SMPN. Melalui jalur reguler sebab kami memang bukan pemegang kartu bantuan jenis apa pun. Ya, feeling saya kuat karena aspek-aspek terkaitnya memang terpenuhi. Andaikata tak lolos di SMPN pilihan utama, pasti lolos di SMPN pilihan keduanya. Itulah sebabnya saya tidak mendaftarkannya ke SMP swasta mana pun.
Jika dibandingkan dengan para tetangga yang senasib, yang anaknya sama-sama baru lulus SD, saya memang terlihat paling santai. Lhamau bagaimana lagi? Saya toh tak perlu mengurus surat ini-itu untuk keperluan berlakunya kartu bantuan. Cukup mempersiapkan berkas-berkas yang didapat dari sekolah plus Kartu Keluarga.
Ndilalahpula waktu pendaftaran jalur reguler lebih belakangan. Yang didahulukan adalah mereka yang mendaftar lewat jalur khusus. Yakni jalur KMS dan zonasi (jarak dari rumah ke sekolah). Dan kiranya sudah menjadi suratan takdir bahwa anak tetangga sebelah rumah, yang punya NUN paling rendah (hanya 17, 15) di antara peserta PPDB di kampung kami, malah nasibnya paling jelas duluan. Sejak Ramadan lalu dia sudah dipastikan lolos di SMPN X. Tentu dengan berbekal KMS plus surat pernyataan zonasi. Dan di kemudian hari, kami ngeh bahwa dia lolos---terutama--sebab sistem zonasi.
The power of bejo melingkupi bocah tersebut. Keputusan kemendikbud dalam memberlakukan sistem zonasi sangat menguntungkannya. Menyelamatkan orang tuanya sehingga mereka tak perlu keluar banyak uang untuk menyekolahkannya di SMP swasta. Dia dan orang tuanya pun bisa berbangga hati karena bersekolah di SMPN X yang termasuk keren di zona tersebut. Kemendikbud boleh berbangga sedikit sebab pada poin yang ini programnya/kebijakannya "terlihat" sukses besar. Hanya saja banyak hal yang luput dipertimbangkan....
Kemendikbud pasti tidak tahu kalau lolosnya anak tersebut di SMPN X telah menimbulkan kecemburuan sosial. Bikin orang tua sesama penerima kartu bantuan bersungut-sungut. Mereka bertanya-tanya, mengapa bocah tersebut bisa lolos? Pertimbangan zonasinya sama, kartu bantuan yang dimiliki sama, mengapa malah dia yang lolos? Padahal, NUN anak-anak yang lainnya jauh lebih tinggi. Rata-rata sekitar 20-21. Alhasil, para orang tua yang anak-anaknya tidak lolos pun menggerutu pol-polan. Melakukan suuzon massal kepada pihak sekolah, menganggap sekolah pilih kasih.
Yang paling dahsyat adalah yang terjadi di kampung sebelah. Ada empat anak yang rumahnya saling berdekatan. Keempatnya ikut mendaftar di SMPN yang sama. Sama-sama melalui jalur kartu dan zonasi. Tapi ternyata yang lolos hanya satu orang. Demi mendengar kabar ini, orang tua ketiga anak yang tak lolos mengajukan protes ke pihak sekolah. Isi protes mereka, "Mengapa hanya seorang yang diterima, sementara lokasi rumah keempatnya bersebelahan? Mengapa pula yang diterima malah yang jumlah NUN-nya paling sedikit?"
Demi meredam huru-hara, si anak yang diterima tadi dianulir. Dia batal diterima. Akibatnya, si bocah yang bersangkutan kecewa dan orang tuanya gantian meradang. Saya paham bahwa penganuliran demikian sangat menyakitkan. Tapi saya pun memaklumi protes yang diajukan.
Usut punya usut, sistem zonasi memang menyeleksi calon siswa berdasarkan urutan nilai yang terendah. Makin rendah NUN seorang anak, makin besar kemungkinannya lolos seleksi bila alamatnya memang dekat dengan sekolah. Maka tidak mengherankan jika belakangan, sekitar dua hari sebelum pengumuman hasil seleksi PPDB reguler, seorang tetangga jauh sukses bikin anak saya retak hati.
Ceritanya begini. Suatu sore tatkala anak saya sedang berada di teras rumah, si tetangga jauh kebetulan melintas. Dia pun bertanya, anak saya diterima di SMPN mana. Setelah dijawab, tanpa basa-basi dan tanpa pertimbangan psikologis sama sekali dia mencerocos. "Kamu rugi 'kan punya nilai bagus? Sekarang tuh punya nilai jelek asalkan jarak rumah ke sekolah dekat, ya langsung diterima. Si A tuh sudah tenang-tenang dari dulu sebab lolos SMPN X. Dia berlebaran dengan lega. Kalau kau masih mikir 'kan sampai sekarang?" Â Â Â Â