Sejak saya bertemu dengan Bang Lendo Novo dan Pak Ahmad Bahruddin dalam sebuah kesempatan, saya akhirnya berikrar untuk turut menginspirasi orang-orang lewat kontribusi tarian pena ini, tak lain agar semua lapisan masyarakat bersedia untuk bersama menyongsong momen seratus tahun kemerdekaan Indonesia dengan visi melahirkan generasi emasnya. Mungkinkah?
Selagi ada niat yang tertanam kuat di kedalaman kalbu bangsa ini serta yang demikian terus diupayakan agar bersinergi dengan tindakan, tak ada yang tak mungkin bagi sesuatu untuk terjadi. Dengan kata lain yang berarti pasti itulah kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kapabilitas untuk merealisasikan generasi emas pada tahun 2045 nanti. Sungguh sebuah momen yang tepat serta perlu dibarengi dengan ketelatenan dan konsistensi dalam penggarapannya. Apa lagi wahana efektif untuk memperlancar gagasan tersebut jika bukan pendidikan yang dikatakan bertujuan untuk memanusiakan manusia? Pada dasarnya klausa “memanusiakan manusia” telah berorientasi pada kemutlakan pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Lantas apa kebutuhan manusia? Secara umum pastilah hidup nyaman, damai, bahagia, sejahtera, aman, sentosa, dan sejenisnya. Namun masihkah warna sukacita tersemat pada hidup manusia ketika kita disodori diskursus kenyataan berupa kemiskinan, degradasi moral, kerusakan alam, serta penindasan? Tentunya hal itu sangat menyimpang dari gemilang sukacita. Namun sebaliknya, citra yang terlihat hanyalah suram belaka.
Mencari Majikan
Mencengangkan sekali ketika teman seprofesi saya iseng melakukan survei tentang tujuan orang mengenyam bangku sekolah. Sembilan dari sepuluh responden mengatakan, “Untuk cari kerja!”. Ini riil dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukankah mencari kerja setali tiga uang dengan mencari majikan? Naas, hal itu sama berarti telah keluar dari lingkaran tujuan pendidikan yang menjunjung tinggi dua kata sakral, memanusiakan manusia. Setelah saya pikir, memang manusiawi sekali jawabannya. Pasti tak ada yang rela dua belas tahun lebih mengenyam bangku pendidikan dan pada akhirnya ia hanya menjadi makhluk yang bersedia memperjuangkan idealisme tanpa gaji. Ya, makhluk tak terdefinisi yang pantang disalahkan itu bernama gaji. Tanpanya manusia tak akan bisa menghirup udara lebih lama lagi kecuali ia harus menjadi entitas piaraan.
Paradigma sekolah untuk mencari kerja inilah yang sebenarnya menodai kesucian pendidikan. Adakah yang salah dengan pendidikan sehingga orang-orang yang membutuhkannya tega menodainya? Kita tilik sejenak dan pastinya sudah sangat jelas bahwa pendidikan yang dianggap mereka sebagai suatu mesin penelur kuli terdidik telah menuai banyak masalah dalam sistem penerapannya. Dengan kata lain, bobrok. Kebobrokan sistem pendidikan dapat diibaratkan sebagai sebuah rumah dengan atap yang bocor, sehingga solusi terbaik untuk mengatasinya adalah segera naik ke atas dan memperbaiki atap yang bocor, bukannya malah memajang ember tepat di bawahnya dengan dalih untuk menampung curahan air. Analogi demikian pantas diutarakan dan merupakan sebuah urgensi untuk dicari dan diperbaiki akar masalahnya dalam rangka restorasi sistem pendidikan di Indonesia.
Gagasan sekolah unggulan yang dicanangkan pemerintah kini bukanlah solusi efektif yang harus terus-menerus dipertahankan eksistensinya. Berpijak pada realitas di lapangan, bukannya sekolah itu yang unggul lantaran ada sarana prasarana canggih namun muridnyalah yang unggul. Murid-murid bertampang borjuis dan intelek menjejali ruangan dengan seragam beratribut membanggakan di sekolah unggulan. Sama sekali kaum slow learner tak diizinkan menginjakkan kaki di sana apalagi kaum slow learner yang proletar. Perlu kita luruskan, bahwa sesungguhnya sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu mendidik anak dengan beragam karakter dan kemampuan. Hal ini sesuai dengan filosofi education for all, yakni pendidikan untuk semua atau dengan kata lain pendidikan yang tak berpihak.
Tidak dapat dipungkiri ketika semua orang tahu bahwa kemampuan intelegensi anak berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidikan anak pada hakikatnya tidak dapat diseragamkan, karena penyeragaman ini berarti pemaksaan bagi anak untuk memiliki kapasitas otak yang sama dengan teman-teman sekelasnya agar mampu menyerap seluruh materi yang diajarkan. Pencetusan istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bagi anak “yang dianggap cacat” pun sebenarnya kurang tepat. Mengapa kurang tepat? Sungguh tidak etis dan durhaka sekali ketika kita nyatakan mereka cacat. Mereka bukan cacat, mereka sempurna karena mereka adalah bagian dari ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna. Marilah kita sepenuhnya menyadari, semua anak adalah ABK karena mereka unik. Jadi, ketika ada teriakan bahwa ABK adalah anak yang cacat maka hal itu perlu dipikir ulang mengingat setiap orang adalah makhluk berkebutuhan khusus. Cobalah tengok, masing-masing orang pasti memiliki satu paket anugerah berupa kelebihan dan kekurangan. Ada anak yang pandai namun malu mengkomunikasikan gagasan di depan umum, maka ia perlu bimbingan khusus untuk mampu berbicara di depan umum. Ketika ada anak yang tidak mampu menulis dengan baik, maka ia perlu mendapat bimbingan khusus berupa teknik menulis yang baik. Sehingga dengan demikian pendidikan harusnya menyodorkan kasih sayang dan perhatian mendalam pada apa yang dibutuhkan anak, dengan kata lain pendidikan mutlak menerapkan KBK (Kurikulum Berbasis Kebutuhan). Apa yang disukai anak haruslah didukung karena itulah potensi terbesarnya. Bukanlah sebuah langkah bijak ketika pendidikan justru memaksakan kehendak sang anak mengingat orang hebat adalah orang yang memang bersungguh-sungguh dalam mengasah dan mengembangkan potensinya serta dibarengi dengan dukungan besar dalam mengembangkan potensi itu. Sembilan puluh delapan persen penduduk dunia tergolong manusia dengan reputasi biasa-biasa saja dan sisanya adalah orang-orang yang dianggap hebat. Maka sekarang marilah kita bersama mendongkrak persentase orang-orang hebat dengan turut memberikan dukungan pada generasi emas yang sedang kita persiapkan. Semua berkesempatan untuk menjadi orang hebat dengan melejitkan potensi masing-masing secara maksimal, tidak boleh ada seorang pun yang luput dari kesempatan ini.
Ketika telah disebutkan bahwa tak mungkin untuk dapat menyeragamkan kapasitas otak anak, namun tidak demikian halnya dengan akhlak. Akhlak dapat diseragamkan. Buktinya, jujur ya jujur, tidak bohong. Bohong ya bohong, tidak jujur. Tidak ada yang mengatakan dia jujur, yang satu mengatakan, dia bohong. Jadi intinya prioritas utama dalam pendidikan adalah akhlak, yang kebetulan juga merupakan problem dari negara kita. Saya rasa sudah cukup bagus kinerja pemerintah kita sekarang ini yang telah memiliki niatan mulia untuk kemajuan Indonesia, terbukti dengan adanya revitalisasi pendidikan karakter dalam era kekinian.
Bang Lendo yang kebetulan alumnus salah satu sekolah popular di Indonesia masa kini, yakni SMA 70 Jakarta, bercerita bahwa alasan dirinya terlibat aksi tawuran pada era jadul hanya satu: ingin liburan! Absurd kelihatannya tetapi alasan selanjutnya ternyata sangat manusiawi. Beliau ingin libur sekolah lantaran sudah muak dengan jam terbang di sekolah yang melebihi ambang batas. Di era kini, sering kita temui anak-anak terlihat riang bukan kepalang ketika gurunya tidak mengajar, termasuk saya waktu dulu. Bukankah ini sebuah indikator bahwa sang anak telah berhasil meraih kemerdekaan yang sangat dinanti-nanti? Sehingga dapat kita simpulkan secara tidak langsung kehidupan sekolah formal sangat menyiksa diri si anak.
Angin Segar Pendidikan Indonesia