Annie’s Song.
“Lagu ini!,” Kayla berteriak kegirangan. “Tolong besarkan lagi volumenya! Sedikit saja, sampai seluruh ruang terisi oleh setiap liriknya!,” ia* memohon entah pada siapa, tapi tidak ada yang berubah.
“You fill up my senses...,” ia bersenandung, lalu diam.
Hening yang sama menyergap.
Kayla terpekur di kursi panjang. Jam dinding membatu. Begitu pula dengan telepon di sudut ruang, buku-buku, tumpukan VCD, hand-phone di atas meja, bahkan CD player yang sedari tadi memutar Annie’s Song milik John Denver tanpa letih. Kayla menarik napas panjang, kemudian matanya menangkap sebuah cangkir membeku di atas meja.
“Mana kopinya? Buatlah yang kental. Jangan terlalu manis dan terlalu panas,” lagi-lagi ia memohon entah pada siapa, tapi tak ada seorangpun yang datang.
Telepon berdering.
Kayla merasakan dadanya berdegup kencang. Apakah itu dia**? Kayla mendekat. Ya, pasti. Hanya dia yang sering menelepon pada jam-jam begini. Kayla mendekat lagi. Apa yang harus dikatakannya saat mengangkat telepo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H