BODY AUCTION
Cerita Pendek : Agustina Kusuma Dewi
- for the woman whose lost his own paths and the man whose lost his rib -
Beberapa masa memiliki perjumpaan tanpa peristiwa pendahulu. Terkadang menyisakan keindahan. Terkadang menyematkan duka. Namun inilah hidup. Yang tak pernah berjeda dan berhenti bergerak, atau menyisakan kesempatan untuk bertanya… . Sebagai manusia, siapapun hanya bisa menjalaninya. Begitu saja. Tanpa ekspektasi berlebih. Namun dengan mimpi-mimpi abstrak yang berada pada batas realitas dan imajinasi. Kadang menyakitkan, memang. Menghempaskan dalam lubang tak berdasar, memang. Tapi itulah esensi hidup menjadi manusia. Tak membiarkan kesakitan pada akhirnya memenangkan pertempuran dan menuliskan sebuah titik, sebelum diri dalam ke-aku-an berhasil mengukir jejak dalam kaleidoskop abadi...
Body Auction
RECEIVED. Raffaelo:Body Auction:Whole weekend on June:3JT:Cash on location:Sold/No?Reply at 13am.C u.
Laki-laki tidak gemuk dengan struktur tubuh yang proporsional itu tertegun. Matanya masih setengah sipit karena baru saja bangun tidur. Nyawanya seakan-akan belum semuanya terkumpul. Tapi ponsel yang bergetar-getar dan menunjukkan sebuah pesan singkat itu memang nyata. Tiba-tiba saja dadanya bergemuruh. Ia merasakan denyut nadi dan darahnya berdesir kencang. Rasa ingin tahu sekaligus takut yang tak terdefinisi menyelimuti seluruh pori-pori tubuhnya. Jarinya terangkat untuk mengetik jawaban, namun terhenti karena ada getar lain dari pesan lain yang masuk.
RECEIVED. Pagi, Ganteng! Apa kabar? Seharian ini bangun dengan perasaan nggak enak! Are u allright?
Seketika itu jari Raffaelo berhenti mengetik jawaban pesan sebelumnya. Lalu menghembuskan napas panjang. Ia melemparkan ponsel ke sudut kasur setelah membalas pesan kedua dengan pesan pertama yang diterimanya.
Body Auction seems like a horrible things..., ia mengerutkan dahi. Tapi saya membutuhkan uangnya untuk saat ini.
Perempuan yang Kesepian
Luki menggigit-gigit sudut ponselnya dengan wajah yang nampak berpikir keras.
Message Sent?
Yes.
Pesan pendek itupun terkirim. Namun tiba-tiba saja ia merasa debaran yang tidak biasanya. Salahkah ia, memulai pertemuan ini dengan sebuah angka? Apakah mestinya ia mengawali dulu dengan sapaan klasik seperti ’halo, apa kabar, saya dengar informasi bla bla bla’, agar segala sesuatunya terasa dan terdengar lebih enak dibanding hanya sebuah penawaran?
Tapi ini hanya permainan saja—tidak lebih, sama seperti yang lainnya. Mengapa ia harus mereka-reka hal agar kisah mereka—kisah transaksi ini—menjadi sebuah cerita yang indah dan enak didengar?
Perempuan itu teringat pada Keith, bule Inggris yang sempat bersamanya selama sebulan terakhir, dan Jodi yang campuran Betawi-Sunda, atau Lilo, yang setiap hari selalu mengirimkannya bunga mawar Belanda. Atau perlu juga ia menyebutkan beberapa kliennya yang sempat singgah, berbincang-bincang sambil makan malam, sebelum akhirnya menandatangani kontrak kerja mereka di atas tempat tidur dan ruangan yang beruap karena suhu tubuh keduanya baru saja menguarkan udara panas setelah menandak-nandak dengan berbagai posisi dan gaya?
Tapi itu adalah pekerjaan. Ini berbeda. Kenapa bisa berbeda? Karena ini adalah sebuah nama yang dikenalkan oleh seorang teman yang tak pernah mau menyentuh dunia semacam ini. Berarti ini bukan hanya sekedar nama.
Perempuan itu menggigit bibirnya, resah. Kecantikannya menjadi-jadi ketika kegelisahan menyapu wajahnya.
Lalu sambil lalu, ia meremas perutnya.
Mungkin nama ini yang bisa membantunya menuliskan sebuah titik untuk perjalanan yang tak pernah bisa disudahinya.
Perlahan, ia menekan sejumlah nomor pada ponselnya.
Perempuan yang Selalu Tertawa.
”Hai, Ki!,” suara Chena begitu renyah terdengar. ”Ada apa?.”
”Lo lagi ngapain, Na?.”
”Saya lagi nganter Kiko sekolah nih... . Dia nagih sambil ngamuk-ngamuk karena saya udah janji. Kenapa, Ki? Lagi dimana? On vacation or...?.”
”Gue udah nawar temen lo, Na.”
Sesaat tidak terdengar jawaban. Lalu Chena tertawa.
”Oya? Trus? Udah beres lelangnya?.”
”Gue belum dapet jawaban sih. Tapi... Gue boleh nanya satu hal nggak?.”
“Kamu kayak ngomong sama siapa aja sih, Ki. Nanya banyak hal juga boleh, kok!.”
”Dia itu siapanya lo?.”
”Hm?.”
”Laki-laki di lelang itu. Raffaelo. Ra. Siapa lo?.”
”Oh...,” kali ini terdengar nada hati-hati dalam suara Chena. ”Temen saya kok, Ki. Saya cuma mau nolong aja. Kebetulan dia lagi perlu banget uang dalam jumlah besar, dan saya belum bisa bantu karena deposito terakhir kan udah cair buat ngebantu orang juga. So, sekarang saya lagi merintis dari nol lagi. Trus jadi inget sama kamu deh Ki. Kamu masih suka iseng dan jalan-jalan kayak gitu, kan?.”
”Tapi dia siapa lo? Kok lo mau-maunya nolong dia? Dia selingkuhan lo ya?.”
Chena tertawa, namun setengah mati ia berusaha menyembunyikan rasa getir dalam tawanya.
”Dia cuma temen, kok. Kamu nggak usah sungkan deh Ki kalo nawar. Lagian nolong orang aja apa salahnya, sih? Ra itu orang baik kok. Dia pantes buat dibantu. Lagipula lo udah buka situsnya belom? His a workart man, Ki. Lo bisa bayangin, apa jadinya kalo hanya karena masalah materi kemudian idenya hanya berhenti sampai pada menjadi sebuah gagasan. Sayang, kan?.”
Ada jeda panjang sebelum terdengar hembusan napas.
”Ya, udah. Gue cuma nanya. Soalnya kan nggak biasa banget lo kayak gini. Nelepon-neleponin orang cuma buat ngasih info lelang. Amatir banget. Manfaatin teknologi online dong.”
”Hehehe, iya ya. Amatir. Tapi saya sengaja kok Ki. Lelang buat badan orang kan hampir sama kayak jualan orang. Kalo saya salah dan nggak tau caranya, nanti dikirain saya bagian dari human trafficking lagi...,” Chena terkekeh.
”Hehehe, iya. Lo bukan amatir deh. Tapi dongo. Hehehe,” Luki ikut terkekeh.
Ia selalu menikmati percakapannya dengan perempuan yang empat tahun lebih muda dari dirinya ini.
Chena terdiam sesaat, lalu meneruskan kata-katanya dengan penuh keyakinan.
”So? Jangan setengah-setengah ya Ki? Pengennya sih memang nitip supaya Ra nggak kamu apa-apain. Tapi kalo bisnis udah jalan, saya nggak bisa intervensi kan?.”
Sesaat tidak terdengar jawaban apapun.
Namun setelahnya, Luki menjawab setengah bergumam.
”Deal. See ya.”
Klik.
Chena termenung sesaat.
Wajahnya mendadak murung.
Pada layar ponselnya, pesan forward dari Ra baru saja muncul :
RECEIVED. Raffaelo:Body Auction:Whole weekend on June:3JT:Cash on Location:Sold/No?Reply at 13am.C u.
Percakapan Mereka.
Trus udah dijawab? SENT.
Masih bingung. Tawarin lagi dong sama yang lain. SENT.
Jawab dulu yang ini. Hmm. Kayaknya saya tau deh siapa yang nawar kamu. Tenaaaang... Orangnya cantik kok. SENT.
Bagusnya gimana ya? SENT.
Terserah kamu. Tapi kalau kamu terjual, kita nggak usah ketemu lagi kan! SENT.
Duh, jangan gitu dong. Kan kamu manajernya. Jadi manajer yang baik dong, Na... SENT.
Wah... Buat yang ini kayaknya saya nggak sanggup, Ra. Kasihan dong sama hati saya, he he... Ok. Goodluck. SENT.
Body Auction.
Luki merengut kesal membaca jawaban yang baru saja masuk ke ponselnya. Ra menolak harga yang ditawarkannya dengan alasan waktu yang tidak memungkinkan. Dia pikir dia itu siapa?, ego perempuan itu berontak. Belum tahu dia sedang bermain dengan siapa...
How about this night? I’ve already in Bandung. I’ll pay you no matter how much you want me to paid you. SENT.
Jeda sesaat.
I need the money. How you gonna pay me? SENT.
Senyum di bibir Luki mengembang. Memang semua laki-laki sama saja. Hey, man! Justru kamu sendiri yang selalu menempatkan diri di bawah perempuan.
I’ll pay you cash on location. I’ll pick you later coz now I’m still on my business way. With one condition, don’t mention this dealing with anybody, the most, her who informed me about the auction. It’ll hurt her very much. SENT.
Luki menggigit bibirnya dengan rasa ingin tahu yang teramat sangat. Apa jawaban Ra bila ia meminta semua perjanjian ini harus dirahasiakan, bahkan dari Chena? Apakah laki-laki itu akan menolak...atau marah...atau,
Ok. I’ll wait for your call next. I wont tell anybody. But just informing you, she give me right for decided everything about the auction. And our commit is I will lost her if I get involved with somebody who auctioning me. Cant wait to hear your voice. SENT.
Luki langsung tertawa terbahak-bahak. Ia tahu, seharusnya ia bukan tertawa, tetapi merasa malu pada dirinya sendiri. Namun inilah dunia. Inilah bisnis. Dan inilah aturan bermain dengan dirinya. Sesaat wajah Luki diliputi kedukaan yang mendalam.
Money can buy everything...
Percakapan Dua Perempuan
”Dia nolak gue, Na. Sialan.”
”Oya?,” Chena tidak mampu menyembunyikan kegirangan tersirat dalam suaranya. ”Wah... . Kok bisa? Tawaran kamu kemurahan kali... .”
”Sialan. Tawaran gue lebih tinggi dari angka dasar yang lo bilang, tau. Tapi dia aja yang jual mahal. Kecakepan.”
”Hahaha, kok kamu jadi sewot gitu? Kan bisnis is bisnis. Saya nggak ikutan, Ki. Dia sendiri kali yang memutuskan gak worthed nerima penawaran kamu. Lagian kok kamu jadi kesel gitu. Memang dasarnya dia baik, kali, jadi nggak mau terlibat sama yang nggak halal kayak beginian....”
”Eh! Jangan kurang ajar lo, Na! Halal nggak halal tuh masalah perspektif! Jangan ngasal lo!.”
”Hehehe, ngambek... . Trus sekarang gimana? Kamu udah nyerah?.”
”Gue males ah nerusin lagi. Buang-buang energi.”
Chena tersenyum.
Dalam hatinya, ia merasakan kelegaan yang teramat sangat. Sambil tidak henti tersenyum, ia menekan sejumlah huruf pada ponselnya.
I really luv u very much. SENT.
Pesan itu pun terkirim pada nomor Raffaelo. Perempuan itu merasa sangat bangga. Sementara Raffaelo, diruang yang lain, juga mengirimkan sebuah pesan pada sebuah nomor.
Can I hear your voice, please? Can I call you Q, just for make us closer than before? Inform me about this night. I’ll be ready and be yours. SENT.
Bridge of Big Catastrophe.
(Setelah begitu banyak pesan terkirim. Pesan-pesan tak terdeteksi dan tak terdefinisi oleh siapapun, termasuk mereka berdua)
Sorry, I must canceled the deal tonight. Must go somewhere else. SENT.
Are u playing a game with me? I need the money now. But it wont be worth anymore if you canceled the deal. SENT.
Lets make a new deal. How about if I’ll pay you for all the rest of your life, but never mention it to Chena. Its only our game. Would you like to have sex with the unknown? SENT.
Let me think it first. Seems like interesting. I never try it before. Do you think you already know me much? Do you believe in my man abilities? You have challenge me, and I like challenge. But you must know, sometimes I must go to do some art project. If you don’t mind, then I’ll take the deal. SENT.
I’ve opened your web. Why you have to do this things? Don’t you know it will hurt her? SENT.
I know she loves me and always surrounding me whenever I need a helpful hands. But now I m just feeding what I need. SENT.
Ouch. Must be really hurt if she know it. SENT.
I will find the right time to tell her about our deal. When will we meet? SENT.
Soon. Haha, I cant imagine how is her face if she know about this stuff. She have to learn more about love. Love is nothing. Even money can buy love in the entire world. Give me your account number please, I will send you some money for down payment. SENT.
Perempuan yang Selalu Tertawa.
Deretan pesan forward itu memenuhi layer ponsel Chena. Perlahan wajahnya mulai kehilangan binar, sampai akhirnya benar-benar redup. Ia kehilangan kata-kata. Ia juga tidak punya ide apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Yang jelas tubuhnya mendadak lemas karena situasi yang tak mampu didefinisikan oleh sel-sel otaknya yang tak pernah berhenti berkedut-kedut.
Ia kecewa. Hanya itu yang sanggup dipahaminya.
Percakapan Dua Perempuan.
”Terserah lo Na, lo mau mikir apa. Tapi itu kenyataannya. Ra yang lo bilang oke banget itu, baik banget itu...nyatanya ya sama aja kayak laki-laki lain yang pernah gue temuin. Money can buy everything, Na! Itu aturan main dunia yang mesti lo tau!,” dengan berapi-api Luki langsung nyolot sebelum Chena mengatakan sesuatu.
”Jadi kamu ke Bandung cuma mau menertawakan kebodohan saya aja? Gitu? Trus? Udah puas kan sekarang?.”
”Lo mestinya marah, Na! Ngamuk sama temen lo! Dia menganggap lo apa, lo sendiri udah jelas kan? Udah kebaca kan?.”
”Ah, rugi. Marah-marah cuma buang energi. Malahan saya kasian sama kamu. Awalnya kan saya cuma nolong aja. Buka lelang kayak gini. Kok malah jadi kamu yang sewot. Kenapa juga kamu ikut campur sama ada apa antara saya dan Ra. Back to business, Ki! Lagian saya nggak mau pusing kok. Kalo ternyata lelang ini berlanjut sampai main hati segala, itu bukan urusan saya. Tapi kalo itu terjadi, artinya saya harus berhenti kan. Silakan aja kalo kamu mau bilang saya bodoh. Yang jelas Ki, saya sayang sama Ra. Saya juga care sama kamu. Tapi kalo buat kebahagiaan saya lalu saya harus mengorbankan salah satu dari kalian, mendingan saya aja sakit.”
”Ha?,” Luki terperangah. ”Lo dongo atau apa sih Na?.”
Chena tertawa, namun tidak sehangat biasanya.
”Ra lagi butuh uang itu, Ki. Dia butuh itu untuk eksistensi di dunia yang udah dia bangun dengan mengorbankan banyak hal. Saya paham kalau akhirnya dia akan melakukan segala hal untuk itu... .”
”Tapi Na!,” Luki jadi histeris sendiri mendengar suara perempuan pada seberang sambungan ponselnya bergeming dengan emosinya yang datar. ”Dia tuh nggak pantas lo banggain! Dia udah ngejual harga dirinya sama gue! Lo bisa bayangin nggak sih apa yang bisa kami lakukan, dalam sebuah kamar, berulang dan berulang...dan nggak akan ada lo disana! Lo rela?.”
Chena terkekeh pelan. Kali ini ia tersenyum.
”Saya nggak pernah mudah jatuh cinta sama orang Ki. Tapi pada Ra yang begitu fokus dengan dunia yang dicintainya, saya jatuh cinta, meskipun banyak batas etika yang harus saya langgar. Saya pasrah, Ki. Cuma satu aja pesan saya. Jangan permainkan dia. Karena dia pada dasarnya orang yang baik. Kamu boleh kok mainin saya kayak apapun juga. Ngacak-ngacak perasaan saya. Tapi Ki, ada bedanya antara jual diri dengan jual harga diri... Dari terminologi kata aja udah beda. Hehehe. Yang Ra jual itu dirinya. Tubuhnya. Fisik. Tapi dia tetap mempertahankan kebebasan pikiran dan rasanya. Tapi kalau ternyata pikiran dan rasanya menyentuh kamu, saya harus bilang apa?.”
Sesaat tidak ada jawaban.
Tapi Chena mendengar isak tangis pada ujung ponselnya.
Confession of Big Catastrophe
Bagi perempuan, hal terbesar dalam hidupnya adalah saat ia menikah dan punya anak. Gue menikah. Tapi gue bercerai. Karena sesungguhnya gue nggak mau menikah, tapi gue pengen punya anak, dan kultur Indonesia mengharuskan gue menikah dulu untuk bisa hamil dan tidak dihujat. Tapi proses survive dalam hidup gue mengajarkan kalau cinta is a shit things! dan nggak ada hal apapun yang bisa gue harapkan dari cinta. Aturan utama hidup di dunia adalah bagaimana kita menghasilkan uang. Uang untuk hidup atau untuk menghidupi kehidupan yang lain. Gue tahu, berkelana bukanlah jawaban yang terbaik atas sebuah pencarian. Tapi nggak ada yang bisa gue lakukan selain berkelana. Saat ini gue merasa hancur. Gue berpikir masa depan gue nihil. Dan itu semua karena perjalanan gue atas laki-laki. Biasanya gue bermain aman. Tapi kadang ketika gue berada di batas kegilaan, gue lupa untuk bermain aman. Sekarang gue hamil. Tapi gue tidak bahagia.
Percakapan Mereka.
Kenapa ya Na, kayaknya saya pengen banget nolong dia. Jangan-jangan saya memang terlahir dengan tugas kayak begini nih. Dulu juga sempat ketemu orang dengan kasus yang sama. Tapi bukan dari lelang awalnya. SENT.
Mau nolong kayak gimana? Berada bersama dia? Nikah sama dia? SENT.
Apapun Na. And its not about the auction. I only want to help her. Coz I’m a medicine man, maybe? Saya ngerasa terharu…atau terpanggil? Tapi jangan-jangan ini dia maksud saya eksis di dunia sampai sekarang. Membantu orang lain. SENT.
(Lalu bagaimana dengan diri kamu sendiri? Siapa yang akan membantu diri kamu saat kamu tidak pernah mau membuka hati?)
Nanti ya Ra. Saya belum sanggup. Nanti ya. SENT.
The Abortion.
Wajah Luki pucat. Wajah Cepi yang menemaninya sejak datang dari Jakarta sampai tiba di Bandung juga pucat. Ada seorang perempuan lagi yang juga menemani dalam ruangan itu, tidak henti-hentinya mengebulkan asap rokok dan menelepon. Namanya Riska. Seorang perempuan lain, yang berusaha mencairkan suasana dengan kisah-kisah lucu, sibuk memberi semangat dengan kerenyahan suara dan tawanya. Chena.
Tapi bisa jadi ruangan itu sudah kehilangan rasa humor, karena tidak ada satupun yang nampak terpengaruh dengan keceriaan positif Chena yang manipulatif.
Tiba-tiba ponsel Luki bergetar. Satu pesan masuk.
RECEIVED. Q...
Reflek, ia melihat ke arah Chena dan mereka berpandangan penuh makna. Chena tersenyum, memalingkan wajah, berpura-pura tidak ada getar yang terasa.
Wish me luck, Ra. SENT.
“Yuk,” Cepi mengamit tangan Luki. “Nama lo tuh.”
Luki membatu.
”Yuk,” kata Cepi lagi.
”Ntar! Ntar dulu!,” reflek Chena menahan tangannya. ”Kamu yakin, Ki?,” ia memandang wajah Luki yang nampak lelah sambil setengah berharap ia akan membatalkan niatnya.
”Gue...,” suara Luki tersendat.
”Kamu?,” Chena meneruskan kata-katanya dengan harap-harap cemas.
”Gue... .”
”Ki?,” kini Cepi sudah berada di ujung ruangan. ”We dont have much time for this... .”
Luki melepaskan tangan Chena.
”Sorry, Na...,” ujarnya lirih sambil mengikuti langkah Cepi memasuki ruangan 3 x 4berdesain standar dan berbau desinfektan yang membuat mual.
Chena terduduk lemas.
Rasanya ia ingin menangis.
Confession of Big Catastrophe
Its over now...
Gue merasakan kekosongan yang dalam. Sakit. Gue merasa terluka, tapi gue sendiri yang nggak mengizinkan siapapun mengobati luka ini. Nggak ada yang akan mampu memahami gue...
The Abortion.
Mereka sudah kembali ke hotel. Kamar yang mewah itu terasa lengang, suara televisi yang sejak awal sudah ambil bagian dalam percakapan diam mereka seolah-olah mengabur antara batas-batas nyata dan khayali.
Perempuan itu tidak berhenti menangis sejak tadi.
Yang satu lagi masih juga bersahabat karib dengan virginia slim, namun air mata membasahi pipinya tanpa kata-kata.
Cepi, di dekat mini bar, membeku—seolah kehilangan bahasa dan tak mampu menerjemahkan situasi.
Perempuan yang lain, yang biasanya selalu tertawa, kali ini mendadak kehilangan sifat humorisnya dan memilih diam. Namun hanya ia yang tidak menangis, meskipun air mata membuncah dalam jiwanya.
”Na...,” disela isakan perempuan yang tampak kesepian itu berkata. ”Gue boleh sms temen lo?.”
Chena tercekat. Dadanya berdebar kencang. Namun ada kendali lain yang membuatnya mengangguk dan mengulaskan sebuah senyum.
”Nggak usah sms, Ki. Telepon aja.”
”Nggak! Gue nggak mau!,” tangisnya pecah lagi. ”Gue nggak siap! Gue malu!.”
”Tapi Ra siap kok kalo kamu telepon. Dari kemarin kayaknya dia deh yang lebih mengkhawatirkan kamu daripada kita semua... Percaya, deh.”
”Nggak!,” tangis itu berubah histeris. ”Lo nggak ngerti perasaan gue, Na! Baru kali ini gue benci sama diri gue sendiri! Gue ngerasa kotor! Gue pembunuh!,” dalam hitungan detik perempuan itu memaksa bangkit dari tempat tidur.
Semua yang berada dalam ruangan itu mendadak panik.
”Ki! Gila lo... Tenang Ki!.”
”Waras, Ki! Ntar lo pendarahan gimana? Kita-kita yang susah kan?.”
”Biarin! Biarin gue mati! Gue mau mati aja... Gue nggak pantes idup...Gue kotor… Gue pembunuh…,” histerikal itu berubah menjadi isakan-isakan bernada tinggi.
Saat semua bergeming dengan air mata dan kepanikan, Chena mendekat dan memeluk perempuan itu agar kembali merebahkan dirinya, lalu menggenggam tangannya erat-erat.
”Ki. Tenang. Kamu nggak kotor kok. Kan udah dibantuin mandi. Udah ganti baju. Udah cantik lagi kan? Sekarang mendingan istirahat aja deh. Jangan mikir macem-macem. Jangan mikir mau mati, tapi mikir gimana caranya kamu bisa ngisi kehidupan ini. Terus...,” sesaat Chena diam, lalu tersenyum mantap. ”Jangan pernah mikir kalo kamu sendirian, karena kamu nggak akan pernah sendirian. Ada saya. Ada Cepi. Ada klien-klien yang menanti sepak terjang kamu di luar sana...dan ada Raffaello yang akan selalu ada buat kamu... .”
Perempuan itu mengangkat wajah, matanya mulai tampak cerah mendengar Chena menyebutkan nama Raffaelo.
”Lo serius? Raffaelo bilang kayak gitu?.”
”Hmm. Yang jelas kata-katanya nggak mirip-mirip banget sih. Tapi intinya kayak gitu. Malahan dia selalu nunggu saat-saat kamu akhirnya berani muncul dan menelepon dia... Kapanpun.”
Histerikal yang sejak tadi digelar perempuan itu mulai reda.
Ia tersenyum.
”Lo polos atau bodoh sih Na? Lo naïf banget. Dongo. Tapi thanks a lot…,” ia balas menggenggam tangan Chena. “Sebagai gantinya, Na, lo boleh kok ambil berapapun dari account gue asalkan lo bisa menghapus semua peristiwa hari ini dalam kehidupan lo… .”
Senyum di bibir Chena seketika itu juga menghilang.
Ia mendadak limbung didera kekecewaan yang teramat sangat.
”Wah. Makasih Ki. Tapi saya baru nerima proyek baru kok...,”...and money could not buy me even a little part inside…
Confession of Big Catastrophe.
Pada akhirnya ini bukan tentang sebuah lelang, tapi karena humanisme. Kenapa saya harus jadi pahlawan untuk semua orang? Tapi memang beginilah alurnya. Untuk keempat kalinya saya harus bertemu dengan perempuan-perempuan yang tidak bisa begitu saja berdamai dengan keperempuanannya, dan menolak kebahagiaan terbesar dari menjadi seorang perempuan. Tapi apa yang bisa saya lakukan selain berusaha menyentuh hatinya, berada disisinya meskipun perjumpaan kami berawal dari sesuatu yang tidak biasa dan tidak pernah ada perjumpaan fisik—sekalipun?
A medicine man. Saya berpikir inilah tugas saya didunia. Menyembuhkan hati-hati yang luka. Meredakan cinta dan pencarian jati diri yang gelisah. Lalu membahagiakan orang-orang yang kehilangan kepekaannya akan makna bahagia dalam hidup. Meskipun, pada satu ruang, saya juga mempertanyakan hal yang sama. Ketika pahlawan butuh diselamatkan oleh seorang pahlawan, siapa yang akan datang, menemukan dan menyelamatkan saya?
Confession of Big Catastrophe.
Ini hanya sebuah urusan bisnis. Tidak ada hati yang terlibat. Tidak ada rasa. Ketika segala hal telah menuliskan titik, maka disitulah gue akan beranjak. Mereka orang-orang baik yang memainkan lakon dalam kehidupan gue, sayangnya pada waktu yang tidak tepat.
Akhirnya yang ingin ditolong berubah menjadi penolong, dan penolong berubah menjadi pecundang.
Mungkin gue yang kalah dalam episode ini, tapi gue tidak menyesali apapun dari pilihan gue. Ternyata, memang, seluruh diri ini adalah pengelana. Dan gue sendiri yang menolak untuk mencari atau menemukan tempat pulang.
Confession for a Broken Hearted
Ada beberapa orang yang sangat percaya bahwa hidup bukanlah kebetulan, namun sebuah keterjalinan yang sangat halus, saking halusnya sampai-sampai tak ada yang mampu mengurainya satu-persatu. Ada beberapa orang yang begitu yakin bahwa hidup adalah tentang bagaimana menjadi eksis, dimana manusia berpikir, memilih, maka ia ada—meskipun keber-ada-annya kadang tidak didasari kesadaran yang utuh. Bisa jadi pada batas keduanyalah, kami semua berpijak. Ketika ada bisa menjadi tiada, dan dalam ketiadaan, sesuatu menjadi sangat terasa ada dan nyata. Sebagai perempuan mandiri yang berdiri pada batas-batas surealis, setengah gila namun tetap memelihara kewarasannya yang serba setengah-setengah, Luki memandang dunia dan pergulatannya sebagai sebuah ajang kompetisi. Segala hal tentang menjadi hidup adalah mengenai uang. Uang yang meraja dan bisa membeli segalanya. Pada satu titik, Raffaelo, dengan segala ketidakistimewaannya, menjadi yang paling istimewa dalam lakon ini. Pahlawan yang mencari pahlawan lain untuk menemukan dirinya. Diri yang memasung hati keras-keras untuk tidak memanjakan diri dan terlena dalam segala bentuk kasih yang imajiner. Ketika ternyata uang bukan lagi menjadi hal yang utama, ada kebaikan yang memancar dari dalam dirinya, menyeruak dan merengkuh kami semua yang sempat lupa apa makna dari hidup menjadi manusia. Laki-laki ini memberi pelajaran terbaik bahwa masih ada elemen penting yang tidak akan pernah dibeli oleh uang—namun mampu luluh dengan kasih sayang dan ketulusan—yaitu hati. Sesuatu yang lucu, Ra. Karena ia sendiri tak pernah mau membuka hatinya yang sesungguhnya pada siapapun, sebagai tanda ia belum sepenuhnya berdamai dengan rasa sakit yang pernah menoreh dirinya dalam-dalam tentang kesetiaan atas sebuah komitmen. Lalu dimanakah kira-kira Sang Master menempatkan saya, perempuan biasa yang hanya bisa menghadapi segala sesuatunya dengan senyum dan tawa, meskipun terkadang sadar benar bahwa hanya senyum dan tawa saja tidak mampu menyelesaikan sebuah masalah? Tapi disitulah Ia menempatkan saya. Untuk selalu berada di antara para pelakon lainnya. Memberi semangat yang tidak pernah henti. Tentang dunia yang tak pernah kehilangan keindahannya. Tentang bagaimana kita bisa bersenandung meskipun terjebak dalam keletihan diri. Tentang hidup yang tak pernah begitu saja terpuaskan bila setiap detik pergerakannya tak mampu dimaknai dengan sebuah peristiwa. Nampaknya, pada batas kini, kami semua usai memainkan lakon ini. Semua sempat merasa paling tersakiti. Namun tergesa-gesa juga memilih menjadi pahlawan untuk satu sama lain. Kini setelah semua usai dan tirai diturunkan—(perlukah ada encore?)—saatnya kita sama-sama tertawa. Menertawakan episode yang sempat terlewat, menyimaknya kembali dan merangkainya menjadi kepingan-kepingan kisah utuh, sambil mengamini bahwa Tuhan memang punya sifat humor sekaligus sastrawan yang luar biasa! Hidup memang indah,bukan? **** Bandung, 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H