PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PEMISAHAN HARTA BERSAMA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015 (Studi putusan Hakim Pengadilan Agama Nomor 232/Pdt.P/2021/PA.Ska)
Nama : Agustina Nurul Saputri
Nim: 212121172 / HKI 4E
Pendahuluan.Perjanjian perkawinan kini diakui sebagai instrumen hukum yang sah untuk memisahkan harta bersama dalam pernikahan. Hal ini memberikan kebebasan kepada pasangan suami-istri untuk mengatur hak dan kewajiban mereka terkait harta secara mandiri, sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan mereka.Perjanjian perkawinan mengatur bagaimana harta bersama akan dipisahkan, termasuk harta bawaan, harta yang diperoleh selama pernikahan, dan harta yang akan diperoleh di masa depan. Dalam perjanjian tersebut, pasangan dapat menentukan persentase atau proporsi pembagian harta yang sesuai dengan keinginan dan kesepakatan mereka.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, pasangan suami-istri dapat melindungi kepentingan dan hak-hak masing-masing terkait harta bersama. Hal ini dapat menghindari potensi konflik dan perselisihan di masa depan, terutama jika terjadi perceraian.Namun, penting untuk diingat bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan itikad baik dan saling pengertian antara pasangan. Selain itu, perjanjian tersebut juga harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku di Indonesia.
Alasan mengapa memilih  judul skripsi Perjanjian Perkawinan Terhadap Pemisahan Harta Bersama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 69/PUU -- XIII/2015 untuk di review, sebab judul tersebut Relevansi dengan perkembangan sosial. Perkawinan dengan perjanjian pemisahan harta bersama semakin populer dan relevan dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini, meneliti perjanjian perkawinan dan pemisahan harta bersama akan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika hubungan pernikahan saat ini.
Pembahasan Hasil review berdasarkan skripsi yang berjudul " PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PEMISAHAN HARTA- BERSAMA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU -- XIII/2015 " (Studi putusan Hakim Pengadilan Agama Nomor 232/Pdt.P/2021/PA.Ska) yang disusun oleh Kholifah Anastasia Putri, program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Setiap perkawinan yang sah di mata hukum tentu akan menimbulkan akibat hukum yang terjadi di antara pasangan suami istri. Seperti halnya dalam harta benda dan hubungan antara anak dan kedua orangtuanya. Harta benda yang dihasilkan bersama selama perkawinan berlangsung disebut dengan harta bersama, dan apabila suami istri ingin melakukan pemisahan harta bersama bisa dengan membuat perjanjian perkawinan atas persetujuan bersama untuk dapat melindungi harta milik masing-masing tersebut. Meskipun perjanjian perkawinan bukanlah suatu keharusan dan hal yang popular di Indonesia, tetapi kehadirannya dapat menjadi angin segar sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum di Indonesia. Dan juga wadah dalam menampung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pada dasarnya objek yang ada dalam perjanjian perkawinan yaitu harta bersama. Pada pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat tentang ruang lingkup harta bersama yang meliputi: "(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan masing-masing dari suami dan istri dan harta bawaan yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Lanjutnya pada Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berisi mengenai harta bersama suami istri yang bertindak atas persetujuan bersama. (2) Dan harta bawaan merupakan hak masing-masing pihak suami istri untuk melakukan perbuatan hukum harta bendanya. Pasal 37 bahwa apabila perkawinan putus disebabkan perceraian, maka harta bendanya pun akan diatur menurut hukum masing-masing."
Tetapi karena dalam pasal 21 ayat (1) UUPA hak milik hanyalah berlaku bagi WNI, dan WNA dilarang memiliki hak milik. Maka, selanjutnya pada pasal 21 ayat (3) UUPA menjelaskan bahwa WNA dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan di Indonesia jika ada perkawinan campuran sebab adanya percampuran harta dengan WNI, tetapi hal ini mengakibatkan WNI akan kehilangan hak miliknya sebab ia juga telah kehilangan kewarganegaraannya sehingga ia wajib pula melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu 1 tahun sejak di perolehnya hak-hak tersebut kecuali ada perjanjian perkawinan.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 jo. Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan membolehkan perjanjian perkawinan dibuat setelah perkawinan, berarti memudahkan bagi sepasang suami istri yang sebelumnya lupa atau terlambat membuat perjanjian perkawinan. Dan memudahkan pula bagi pasangan perkawinan campuran antara WNI dan WNA membuat perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta bersama, karena sulitnya memiliki hak izin membeli tanah dan hak membeli bangunan di Indonesia.
 Rencana skripsi yang akan saya tulis kedepannya berkaitan dengan Pentingnya Persiapan Mental Sebelum Menikah. Menikah berarti mengadopsi peran baru sebagai suami atau istri. Persiapan mental dapat membantu individu mengenali dan mempersiapkan diri untuk perubahan ini serta memahami tanggung jawab dan tuntutan yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!