Mohon tunggu...
Agustina Nurul Saputri
Agustina Nurul Saputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aspek Hukum Janji Prakontrak

7 Maret 2023   00:35 Diperbarui: 7 Maret 2023   00:42 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul : Aspek Hukum Janji Prakontrak 

Penulis : M. Natsir Asnawi, S.HI.,M.H 

Penerbit : UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI) Jl. Cik Di Tiro No.1, Yogyakarta- 55223 

Terbit : 2017 

Cetakan : Pertama, Desember 2017

Istilah kontrak atau persetujuan (overenkomst) sering dipadankan dengan perjanjian (verbintenissen). Sekalipun memiliki perbedaan dari sisi makna etimologis, namun dalam tataran operasional, ketika menyebut perjanjian maka konotasinya adalah kontrak atau perikatan. Ini dapat dimaklumi karena perjanjian sebenarnya merupakan alasan atau dasar adanya kontrak. Penelitian ini tidak untuk mempertentangkan kedua hal itu, karenanya, ketika menyebut istilah kontrak atau perikatan, maka terkandung pula makna perjanjian, vice versa.

Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata Indonesia menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk suatu pengertian yang sama. Titel atau nama Buku III KUHPerdata menggambarkan hal itu yang dalam bahasa Belanda (bahasa aslinya) "Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden" atau "Perikatan- perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian". Sejalan dengan hal tersebut, para pakar menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.

Syarat-syarat sahnya suatu kontrak ditegaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan (toestemming), kecakapan melakukan suatu kontrak (bekwaamheid), objek atau hal tertentu (bepaalde onderwerp), dan suatu sebab yang tidak terlarang (geoorloofde orzaak),  kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang. 

Praktik kontrak (perjanjian) dewasa ini lebih kompleks. Para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian, terlebih dalam kontrak bisnis skala besar, lazim melakukan negosiasi prakontrak atau kontrak pendahuluan (preliminary contract). Negosiasi prakontrak pada prinsipnya bertujuan menjajagi berbagai kemungkinan atas rencana diadakannya perjanjian di antara para pihak. 

Dalam tahap ini sering muncul atau disampaikan berbagai janji satu pihak kepada pihak lain dengan harapan pihak lain setuju untuk mengadakan perjanjian sebagai tindak lanjut negosiasi. Pihak lain yang dijanjikan menaruh harapan atas janji tersebut yang ditandai dengan kesediaan melakukan beberapa tindakan hukum (rechtshandeling), misalnya menyerahkan uang atau barang sebagai tanda jadi. 

Permasalahan muncul ketika salah satu pihak yang menaruh kepercayaan dan telah menyerahkan sejumlah uang sebagai prasyarat dalam melakukan perjanjian kemudian ternyata tidak memperoleh hak-hak yang diharapkan sebagaimana dijanjikan oleh pihak lain dalam negosiasi. Apakah pihak yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian terhadap pihak yang mengingkari janjinya sementara di antara mereka belum ada kontrak atau perjanjian yang ditandatangani? 

Permasalahan mengenai akibat hukum prakontrak di Indonesia tergambar dalam kasus Jeffry Binalay dkk melawan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal). Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam Putusan Nomor 319/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Ut tanggal 8 Oktober 2007 menolak gugatan para Penggugat dengan salah satu dasar pertimbangannya "...akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa antara para Penggugat dengan para Tergugat tidak ada kesepakatan atau perjanjian jual beli rumah dinas, maka menurut Majelis Hakim para Tergugat ...". 1 Putusan tersebut dalam tingkat banding hingga peninjauan kembali dikuatkan. 

Putusan Pengadilan pada tingkat pertama hingga peninjauan kembali menunjukkan bahwa sampai tahun diputuskannya perkara tersebut, pengadilan Indonesia masih menganut doktrin hukum kontrak klasik yang mengedepankan aspek kepastian hukum. Dalam kasus ini, oleh karena belum ada perjanjian yang disepakati dan/atau ditandatangani oleh Jeffry dkk dengan Kasal, maka dianggap belum ada hal mengikat bagi keduanya dan tidak dipenuhinya janji-janji untuk melakukan penjualan tanah rumah dinas seperti yang dijanjikan oleh Kasal bukanlah suatu perbuatan melawan hukum (hak), karenanya Kasal tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal ini jelas mengabaikan kerugian yang diderita oleh Jeffry dkk yang telah menaruh pengharapan kepada Kasal dengan telah melakukan beberapa tindakan hukum untuk kepentingan pembebasan tanah. 

Doktrin hukum klasik menekankan bahwa asas iktikad baik hanya dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian telah memenuhi syarat hal tertentu. Implikasinya, ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontrak atau tahap perundingan karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat "hal tertentu". 

Negosiasi prakontrak sering dipadankan pengertiannya dengan nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MoU). Sekalipun dapat berbeda dalam praktiknya, namun esensinya sama. Negosiasi prakontrak mengandung hal-hal yang bersifat moral, artinya bahwa pihak-pihak yang melakukan negosiasi prakontrak berlandaskan pada nilai-nilai moral tertentu. Pihak yang melakukan negosiasi menaruh suatu harapan dan/atau kepercayaan kepada pihak lain, vice versa. Hal itu kemudian melahirkan suatu kewajiban moral bagi para pihak untuk memenuhi hal-hal yang dibahas dalam negosiasi. 

Terkait dengan tanggung jawab moral para pihak dalam suatu negosiasi, menarik untuk melihat pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar Nomor 30/Pdt.G/2014/PN/Bsk tanggal 22 Oktober 2015 dalam perkara antara Jefri Hamdani melawan Edoardiyan AR dkk. Para Tergugat semula membuka penawaran harga penjualan satu bidang tanah yang disetujui Penggugat. Atas penawaran tersebut, Penggugat bersedia memberikan sejumlah uang sebagai tanda jadi dengan para Tergugat menjanjikan bahwa jika kelak Sertipikat Hak Milik (SHM) telah diterbitkan maka akan dilakukan perjanjian jual beli. Pada kenyataannya, setelah SHM terbit, para Tergugat justru membuka penawaran baru kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat. Penggugat merasa sangat dirugikan, terlebih Penggugat telah menyerahkan sejumlah uang komitmen kepada Penggugat. 

Prakontrak, seperti dikemukakan sebelumnya merupakan tahapan yang mendahului pembentukan suatu kontrak (formation of a contract). Dalam sistem common law maupun civil law, hukum kontrak telah berkembang dengan memberikan porsi perhatian lebih besar terhadap prakontrak sebagai tahapan yang tidak kalah pentingnya dari tahap kontraktual dan pasca kontraktual. Bahkan, prakontrak sering dianggap sebagai jiwa dari kontrak yang dibuat para pihak di kemudian hari. 

Negara-negara common law dan civil law, sekalipun dengan pendekatan yang berbeda, menempatkan iktikad baik sebagai episentrum dari prakontrak. Iktikad baik harus melandasi kehendak para pihak dalam melakukan negosiasi di tahapan prakontrak, pun dengan pernyataan janji-janji yang ditawarkan kepada pihak lain. Prinsip iktikad baik (the good faith, te goeder trouw) dalam sistem hukum perdata Indonesia menjadi landasan bagi para pihak dalam membuat dan melaksanakan kontrak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. 

Dalam banyak literatur mengenai penerapan iktikad baik, terdapat perbedaan konsep dalam tradisi civil law dan common law. Dalam sistem civil law, iktikad baik sangat ditekankan dalam tahap negosiasi prakontrak (the stage of contractual negotiation). Sementara itu, dalam sistem common law, nomenklatur iktikad baik memang tidak di introdusir (there is no general rule to negotiate in good faith), namun common law menjembatani hal tersebut dengan konsep piecemeal solutions to problems of unfairness. 

Negara-negara common law mengedepankan upaya pemulihan hak-hak pihak yang dirugikan dalam tahap prakontrak dengan prinsip bahwa suatu janji yang diucapkan yang kemudian tidak ditepati dan menimbulkan kerugian kepada pihak lain melahirkan kewajiban bagi yang bersangkutan untuk memulihkan hak-hak pihak yang dirugikan tersebut. Konsep ini yang kemudian dikenal dengan istilah promissory estoppel, yaitu larangan bagi seseorang menarik janji yang telah diucapkan dan menimbulkan kerugian pada diri orang lain. 

Perbedaan tradisi civil law dan common law terhadap makna dan penerapan iktikad baik lebih kepada perbedaan terminologis namun identik dari sisi substansi. Ini disebabkan karena esensi dari kedua konsep tersebut pada dasarnya sama, yaitu kewajiban para pihak untuk beriktikad baik dalam negosiasi prakontrak (precontractual negotiation) serta adanya pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada pihak yang melanggar prakontrak (precontractual liability). Asas iktikad baik sebagai salah satu landasan janji prakontrak, merupakan asas yang lahir dari pandangan yang mengkaitkan hukum dan moral. 

Asas iktikad baik merupakan cerminan bahwa dalam hukum, aspek moral merupakan fundamen hukum dan karenanya hukum tidak dapat dilepaskan dari aspek moral. Pembahasan moralitas sebagai esensi hukum merupakan refleksi dari penerapan iktikad baik dalam prakontrak sebagaimana dikemukakan tersebut di atas. Iktikad baik merupakan representasi dari kewajiban moral seseorang dalam menjaga hubungan baik dengan sesamanya, terutama sekali dalam kegiatan negosiasi untuk mewujudkan kontrak tertentu. 

Karena sifat kontrak pada dasarnya merupakan media dalam pemenuhan kebutuhan hidup (yang berarti pula sebagai wujud dari relasi yang mutualis), maka sangat beralasan iktikad baik -- yang merupakan representasi moral -- menjadi landasan bagi para pihak dalam bernegosiasi untuk mewujudkan kontrak yang mereka kehendaki secara bersama. 

Hukum menurut sifatnya memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah bahwa hukum ada dan berlaku dalam lingkup moral. Tatanan hukum pada akhirnya dipandang sebagai tatanan moral. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum sejatinya representasi moral; moral yang bermakna dan bermuara pada "keadilan". 16 Sekalipun Kelsen menolak moralitas absolut sebagaimana yang dikemukakan eksponen hukum alam, namun Kelsen tidak menampik bahwa hukum berlandaskan pada moral. Moral yang melandasi hukum bersifat relatif dalam arti bahwa standar moral di suatu masyarakat tertentu dapat berbeda dengan standar moral di masyarakat lainnya. Namun demikian, berbagai standar moral yang berbeda tetap mengarah pada satu postulat, yaitu moral berkaitan dengan "doing good thing"

Hubungan fungsional antara moral dan hukum terjalin dalam kerangka pembentukan hukum dan penegakan hukum. Terhadap pembentukan dan penegakan hukum, moralitas memiliki beberapa fungsi, yaitu : 

1) Sumber etik (nilai) pembentukan hukum positif

2) Sumber kaidah bagi hukum positif

 3) Instrumen evaluatif bagi substansi kaidah hukum

4) Sumber rujukan justifikasi bagi penyelesaian kasus-kasus hukum yang tidak jelas aturan hukumnya

 Dalam konteks saat ini, mungkin masih sering menjadi perdebatan di antara penganut hukum alam dengan kaum positivisme terkait hubungan hukum dan moral. Pada satu sisi, kaum positivisme melihat bahwa hukum dan moral merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling terkait satu sama lain. Kaum positivis menolak pandangan penerimaan hukum dari sisi moral. Hukum merupakan entitas yang berbeda. Pada sisi lain, banyak contoh kasus yang menunjukkan kepada kita bahwa hukum secara intrinsik sarat dengan muatan nilai-nilai moral. 

Contoh yang dapat dikemukakan misalnya konsep hukum tentang pertanggungjawaban (liability), kesalahan (fault), ganti rugi dan kewajiban (compensation and duty). Dworkin bahkan menganggap setiap tindakan hukum tidak dapat dilepaskan dari dimensi moralnya (inescapable of moral dimension). Lord Steyn juga berpandangan sama dengan menyatakan bahwa, dalam kasus McFarlane and Another v. Tayside Health Board, sekalipun Pengadilan Negara bukanlah Pengadilan moral, namun pandangan moral Hakimlah yang menjadi dasar jawaban terhadap suatu kasus maupun upaya mewujudkan keadilan dalam kasus tertentu. Dasar moral ini yang kemudian dianggap membentuk sistem dan kekuatan memaksa dari hukum di Negaranegara common law. 20 Penulis sendiri berpendapat bahwa sekalipun ada perbedaan pandangan bagaimana relasi hukum dan moral, hal tersebut sama sekali tidak dapat mempertegas peran penting moral dalam pembentukan dan penegakan hukum. Penulis lebih cenderung sepakat dengan pandangan yang mengakui peran penting moral terhadap hukum.

 Perbincangan mengenai prakontrak sampai pada topik relasi hukum dan moral. Dalam perbincangan relasi hukum dan moral, telah dipahami bahwa moral menjadi dasar sekaligus bahan bagi pembentukan kaidah dan aturan hukum serta dalam kerangka penegakan hukum. Hal yang tidak kalah mendasar untuk dibahas dalam korelasinya dengan hukum dan moral adalah landasan etik dari suatu perbuatan baik yang diwajibkan maupun perbuatan buruk yang dilarang secara moral. 

Perbincangan mengenai landasan etik atas diwajibkan atau dilarangnya suatu perbuatan secara moral yang kemudian menjadi perbuatan yang wajib dan dilarang menurut hukum adalah perbincangan yang sangat mendasar. Karena sebagaimana teori hukum alam yang mendahului dan menjadi bahan bagi perkembangan teori-teori hukum selanjutnya, landasan etika merupakan dasar berpikir yang mendahului dan menjadi bahan bagi para perumus aturan dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum dan peraturan-peraturan hukum yang baru. Sebutlah misalnya dalam etika, setiap orang dilarang untuk melanggar janji. Perbuatan melanggar janji dilarang oleh karena dua hal. Pertama, melanggar janji, menurut sifatnya adalah perbuatan tercela, baik oleh standar etika itu sendiri maupun dalam ajaran agama. Kedua, perbuatan melanggar janji dilarang karena dapat menimbulkan akibat atau dampak buruk pada orang lain atau dengan lain perkataan tidak dapat memberikan manfaat kepada pihak yang dijanjikan. Kedua alasan tersebut merepresentasikan dua kutub pemikiran tentang landasan etika suatu perbuatan yang dianggap baik atau buruk, yaitu deontologi dan teleologi. 

Pentingnya pembahasan mengenai etika dalam kaitan dengan pembentukan dan penegakan hukum dikarenakan etika mengkaji perilaku atau perbuataan manusia berdasarkan standar atau nilai-nilai moral yang ada. Etika memberikan suatu preskripsi perbuatan mana yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan berdasarkan standar-standar moral tadi. Dari sini etika kemudian menghasilkan kaidah-kaidah baru yang lebih praktis dan menjadi pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari 

Perbuatan Melawan Hukum ,Istilah perbuatan melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut dengan fort. Kata tort berakar pada istilah dalam bahasa latin torquere atau tortus yang secara etimologis bermakna "salah" atau "kesalahan" 

William C. Robinson4 mendefinisikan perbuatan melawan hukum ke dalam tiga definisi pokok, yaitu:

 a. Nonfeasance, yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak melakukan suatu perbuatan yang diwajibkan menurut hukum.

 b. Misfeasance, yaitu perbuatan yang dilakukan tidak menurut yang diperintahkan

 c. Malfeasance, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak berhak.

 Makna perbuatan melawan hukum semula hanya pada pengertian perbuatan yang bertentangan dengan perundang- undangan semata. Namun setelah tahun 1919, makna perbuatan melawan hukum mengalami perluasan

 Wanprestasi, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana pihak-pihak atau salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian". Dalam bahasa yang lebih sederhana, wanprestasi adalah kelalaian pihak atau salah satu pihak untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya (prestasi) seperti yang tertuang dalam butir-butir perjanjian yang telah disepakati 

Pertanggungjawaban prakontrak merupakan konsep yang dapat dikatakan telah cukup lama dalam perbincangan mengenai "pertanggungjawaban" dalam pranata hukum perdata. Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban prakontrak muncul di akhir abad ke- 19 saat praktisi hukum Jerman. R. Jhering mengembangkan doktrin culpa in contrahendo. Diskursus yang berkembang selanjutnya ternyata belum menemukan satu bentuk pemahaman yang unifikatif karena tajamnya perbedaan cara pandang mengenai akar dari bentuk pertanggungjawaban prakontrak. Sementara itu, bentuk pertanggungjawaban ini (precontractual liability) tidak dikenal di negara-negara yang menganur sistem common law 

Pendekatan terhadap tanggung jawab prakontrak di civil law didasarkan pada penekanan asas iktikad baik sejak tahapan prakontraktual, sementara di common law pendekatan yang digunakan berdasarkan doktrin promissory estoppel yang melarang seseorang menarik suatu janji yang telah disampaikan kepada pihak lain dalam prakontrak. Namun demikian, patut dicatat bahwa pendekatan berbeda tersebut tetap mengarah pada satu tujuan yaitu memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak dalam prakontrak dengan mengintrodusir konsep pertanggungjawaban prakontrak (precontractual liability) 

Pranata hukum kontrak Indonesia secara normatif masih belum menempatkan prakontrak sebagai bagian penting dari proses pembentukan suatu kontrak (formation of a contract) 

Precontractual Liability di Negara-Negara Common Law ,konsep pertanggungjawaban prakontrak di negara-negara common law memiliki akar yang berbeda dengan negara-negara civil law. Common law tidak mendasarkan konsep pertanggungjawabannya pada asas iktikad baik, namun pada doktrin promissory estoppel. Sekalipun demikian, tujuan dari keduanya adalah sama, yaitu melindungi para pihak dari kesewenang-wenangan pihak lain dalam prakontrak serta untuk memberikan jalan bagi pihak yang dirugikan dalam prakontrak menuntut kompensasi atas kerugian yang dideritanya. 

Di Inggris, tindakan salah satu pihak yang bertentangan dengan hukum (mis: melanggar janji) selama proses perundingan melahirkan tanggung jawab perdata (delictual civil liability). Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti ganti rugi terhadap tindakan pihak lain yang bertentangan dengan hukum, misalnya perbuatan menghentikan perundingan secara sepihak yang menimbulkan kerugian. Beberapa perbuatan yang dianggap sebagai civil delicts dalam perundingan menurut V Mikelnas adalah misrepresentation (menyembunyikan fakta-fakta penting), undue influence (tipu muslihat), dan breach of confidence (melanggar janji atau kepercayaan).

 Penerapan pertanggungjawaban prakontrak di negara-negara common law cenderung seragam, baik dari sisi konsep maupun bentuk pertanggungjawabannya. Sebagai contoh, dalam kasus Hoffman Red Owl Stores (133 N.W.2d at 267 (Wis. 1965), calon pembeli waralaba (franchisee) yaitu Hoffman selaku Penggugat memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat perilaku Tergugat yang meminta uang kontrak lebih besar dari perundingan sebelumnya sehingga Hoffman tidak sanggup melanjutkan kontrak mereka.8 Sebelumnya, dalam perundingan telah disepakati nilai investasi untuk pemberian franchise adalah USD 18.000 (delapan belas ribu dolar Amerika) namun kemudian Red Owl Stores melanggar janjinya dengan menaikkan nilai investasi yang tidak disanggupi oleh Hoffman sehingga kontrak waralaba tidak terwujud .

Pertanggungjawaban janji prakontrak (Precontractual Liability) berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, penerapan precontractual liability berbeda di negara-negara common law dan civil law (khususnya Belanda). Pertama, di negara-negara common law, precontractual liability didasarkan pada doktrin promissory estoppel yaitu doktrin yang melarang seseorang untuk menarik janji yang telah disampaikan kepada pihak lain dalam tahap perundingan kontrak Sementara itu, negara-negara civil law mendasarkan precontractual liability pada prinsip bahwa setiap pihak harus memiliki iktikad baik tidak hanya dalam tahap kontrak dan pasca kontrak, namun juga dalam tahap prakontrak (preliminary negotiation). Kedua, terkait dengan damages (kerugian) yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya. negara-negara common law menetapkan kerugian yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan (injured party) akibat dihentikannya perundingan oleh pihak lain adalah negative interest berupa biaya- biaya yang telah dikeluarkan selama dilakukannya perundingan (reliance loss). Negara-negara civil law juga secara umum menentukan hal yang sama, kecuali Belanda. Penerapan hukum di Belanda menentukan bahwa dalam hal tertentu, tidak hanya negative interest yang dapat dituntut, melainkan juga positive interraitu kerugian akibat hilangnya keuntungan yang diharapkan (expectation loss). 

Pertanggungjawaban janji prakontrak (Precontractual Liability) berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sistem hukum kontrak indonesia pada dasarnya menekankan asas iktikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan kontrak Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tegas menyatakan hal tersebut. Artinya bahwa, sistem hukum kontrak Indonesia sangat mengdepankan iktikad baik para pihak dalam menjalankan hubungan kontraktual dengan pihak lain. Prinsip ini seharusnya dapat menjadi dasar bagi Hakim dalam menilai apakah dalam prakontrak (preliminary negotiation) pihak-pihak yang terlibat telah melakukan perundingan dengan iktikad baik atau tidak. Jika tidak, maka seharusnya pihak yang tidak beriktikad baik dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita pihak lain.

Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain yang mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. 

Pertanggungjawaban prakontrak berdasarkan konsep wanprestasi dapat mengacu pada putusan Mahkamah Agung Belanda terhadap kasus Plas v. Valsburg seperti yang telah dikemukakan tersebut di atas. Penerapan pertanggungjawaban prakontrak berdasarkan wanprestasi dilakukan terhadap kasus prakontrak dimana negosiasi sudah mencapai tahap ketiga, yaitu negosiasi hampir rampung dan kontrak seharusnya sudah dapat ditandatangani. Pelanggaran prakontrak berupa penghentian negosiasi pada tahap akhir negosiasi dengan iktikad buruk menyebabkan pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi atas hilangnya keuntungan yang diharapkan (expectation interest) maupun kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses negosiasi. 

Salah satu isu yang banyak diperbincangkan terkait dengan pertanggungjawaban prakontrak adalah pertanggungjawaban prakontrak untuk melindungi kepentingan konsumen yang dirugikan. Diskursus mengenai hal ini muncul dikarenakan dalam praktiknya, banyak pelaku usaha, baik di bidang jasa maupun pengadaan atau penjualan barang, melakukan praktik usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan konsumen. 

Ketentuan mengenai perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK). Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 UUPK adalah segala upaya yang dilakukan guna menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen menurut Janus Sidabalok mencakup upaya memberikan jaminan atau kepastian pemenuhan hak-hak pada konsumen.

Ada beberapa alasan (argumentasi) mengapa konsumen perlu mendapatkan perlindungan yang layak oleh negara, yaitu:

 a. Perlindungan konsumen merupakan upaya yang mencerminkan perlindungan terhadap seluruh elemen bangsa Indonesia yang merupakan amanat dari pembangunan nasional

b. Perlindungan konsumen dimaksudkan untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi. 

c. Perlindungan konsumen bertujuan untuk melahirkan individu- individu yang sehat jasmani dan rohani sebagai pelaku pembangunan ekonomi nasional. 

d. Perlindungan konsumen perlu untuk menjamin ketersediaan dan penggunaan sumber dana pembangunan yang berasal dari masyarakat konsumen untuk kepentingan konsumen pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Force Majeur: Alasan Pemaaf Terhadap Precontractual Liability Pada setiap system hukum kontrak, baik di negara-negara common law maupun civil law, termasuk pula di Indonesia, ada keadaan dimana suatu prestasi atau kewajiban tidak dapat dilaksanakan disebabkan oleh keadaan-keadaan di luar perkiraan atau kemampuannya. Keadaan ini disebut dengan overmacht atau force majeure (keadaan memaksa)". 

Konsep force majeure (superior force) berasal dari sistem hukum Romawi (Roman Law). Keadaan memaksa dalam sistem hukum Romawi disebut dengan istilah "vis major" atau "vis divina", yaitu keadaan dimana debitur dimaafkan atas tidak dilaksanakannya kewajiban kepada kreditur. Konsep ini kemudian diadopsi oleh negara-negara civil law.

Pengaturan mengenai force majeure termuat dalam Buku II KUHPerdata pada Pasal 1244, 1245, dan 1444. Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan: 

"Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya" 

Pasal 1245 KUHPerdata mengatur: "Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya" 

Kemudian dalam Pasal 1444 ditegaskan: "Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah iserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dari kewajiban untuk mengganti harga" 

Sistem civil law menerapkan konsep force majeure dalam pelaksanaan suatu kontrak. Force majeure merupakan keadaan dimana pihak yang dibebani suatu prestasi dalam kontrak dibebaskan dari kewajiban atas pelaksanaan prestasi tersebut.

ubjek hukum utama dalam doktrin ilmu hukum adalah orang. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa konsep orang dalam hukum memegang kedudukan sentral. Ini dikarenakan semua konsep hukum yang lain seperti hak, kewajiban, penguasaan, pemilikan, hubungan hukum, dan konsep hukum lainnya, pada akhirnya akan berpusat atau merujuk kembali kepada konsep orang. Orang sebagai subjek hukum meamngku titel hak dan kewajiban.

 Bahwa sekalipun orang (natuurlijke persoon) dianggap sebagai konsep sentral dari pembahasan mengenai hukum, hukum turut membuat konstruksi fiktif mengenai orang yang kemudian dapat diterima, diperlakukan, dan dilindungi selayaknya perlakuan sama terhadap manusia. Konstruksi inilah yang dikenal dengan badan hukum (rechts persoon).

Dalam lapangan hukum perdata, subjek hukum merupakan konsep yang tidak hanya penting, namun juga menjadi dasar atau melandasi konsep-konsep hukum perdata lainnya, seperti hukum tentang kepemilikan benda, hukum keluarga, hukum perikatan, dan lain-lain arketip hukum perdata. Subjek hukum perdata dapat dikatakan sebagai sumbu dari keseluruhan dinamika hukum perdata.

Subjek hukum adalah segala entitas yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan untuk bertindak18. Riduan Syahrani mengemukakan bahwa pada prinsipnya, subjek hukum dalam hukum perdata ada dua, yaitu orang atau manusia dan badan hukum. Orang (natuurlijke persoon) dalam pengertian yuridis adalah gejala dalam hidup bermasyarakat. Sebagai subjek hukum, orang memiliki titel hak dan kewajiban (pendukung hak dan kewajiban). Sementara itu, badan hukum (rechts persoon) merupakan pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa manusia, melainkan institusi yang diatribusi hak dan kewajiban sebagaimana atribusi yang sama kepada orang atau manusia (natuurlijke persoon).

Dalam negosiasi prakontrak, pihak-pihak yang terlibat dapat merupakan orang perorang. Artinya bahwa mereka yang terlibat dalam negosiasi prakontrak merupakan individu atau pribadi yang bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian, maka berlaku ketentuan mengenai orang (natuurlijke persoon) beserta segala titel hak dan kewajibannya serta perbuatan hukum yang dapat dilakukannya. 

Dalam negosiasi prakontrak, pihak-pihak yang terlibat dapat merupakan orang perorang. Artinya bahwa mereka yang terlibat dalam negosiasi prakontrak merupakan individu atau pribadi yang bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian, maka berlaku ketentuan mengenai orang (natuurlijke persoon) beserta segala titel hak dan kewajibannya serta perbuatan hukum yang dapat dilakukannya. 

Badan hukum dapat mempunyai sejumlah titel hak dan kewajiban tertentu. Selain itu, badan hukum dalam kedudukannya sebagai subjek hukum dapat pula melakukan hubungan hukum (rechtsbetrekking), baik dengan badan hukum lainnya maupun dengan subjek hukum orang. Pada prinsipnya, badan hukum dapat melakukan tindakan maupun hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermoegen recht), kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan.

Hukum perdata Indonesia mengenal beberapa jenis badan hukum. Pasal 1365 KUHPerdata membagi tiga jenis badan hukum sebagai berikut: 

a. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

b. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah, misalnya perkumpulan, organisasi, dan sebagainya

c. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, yaitu      Perseoran Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun