Masih tak habis pikir diri ini dengan apa yang terjadi di negara ini. Hari berganti hari, tapi tak juga lebih baik, namun lebih terasa menyedihkan. Semakin hari yang terlihat dan terdengar hanyalah bangsa yang semakin lama semakin menjadi sebuah bangsa yang "barbar". Main hakim sendiri, main bakar sendiri, tak memperdulikan lagi apa yang namanya manusia beradab. Sia-sia para pejuang dahulu mengorbankan segalanya untuk negeri ini. Mungkin jika mereka sanggup bangkit dari kubur mereka dan berteriak, mereka akan berteriak, "Menyesal ! Menyesal kami berjuang jika hanya untuk dihancurkan oleh kalian sendiri ! Korupsi, anarkis, teroris dan lain sebagainya yang membuat hati ini hanya semakin miris ! Masih dengan sejuta pikiran di kepalaku, kuayunkan langkah ini menaiki sebuah bis yang sedianya akan mengantarku pulang. Dan duduklah aku di sebelah seorang Ibu yang sedang menggendong anaknya. Kucoba untuk menikmati perjalanan pulangku yang akan memakan kurang lebih 2 jam perjalanan. Sambil berusaha untuk tidur, sayup-sayup kudengar perbincangan Ibu dengan anaknya yang duduk disebelahku. Anak                      : " Bu, buat apa cih agama?" Ibu                          : "Agama itu digunakan untuk mengatur agar hidup kita lebih baik, Ndok juga menjadi petunjuk arah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita tidak tersesat. Contohnya, seperti peta yang ada di undangan pernikahan anaknya Pak Budi hari Sabtu kemarin. Nah, dengan peta tersebut kita sekeluarga tidak kesasar, bukan?" Anak                      : "Kalo agama buat itu, kenapa cih, koq kemalen tipi lame belitain tentang olang-olang yang nyelbu olang-olang Ahmadiyah? Telus hali ini, tipi juga beritain lagi olang-olang yang lucakin pengadilan cama geleja-geleja di Te.... Te... apa ya? Lupa?! Koq bangsa kita jadi kejam ya, Bu?" Ibu                          : "Temanggung, Sayang." Anak                      : "Iya! Ibu pintel! Tapi Ibu lebih pintel lagi kalo bisa jawab pertanyaan Dedeh yang tadi..." Si Ibu terdiam membisu dengan hanya sanggup mengelus rambut anak putrinya tersebut. Ia mencoba untuk menyusun jawaban yang akan dia berikan untuk pertanyaan putrinya tadi. Pertanyaan yang menurut ku pun, tidak mudah dijawab. Sambil menghela nafas panjang, lalu berkatalah si Ibu kepada anaknya yang masih menunggu jawaban dari Ibunya. Ibu                          : "Ndok, masih ingatkah engkau ketika Ibu menyuruh anak Ibu Siti untuk ke sekolah ketika kemarin ia masih bermain dengan engkau sampai siang?" Anak                      : "Iya, Bu. Si Putli memang cuka males kalo diculuh cekolah cama Ibunya. Padahal cekolah kan buat kita pintal ya, Bu?" Ibu                          : "Betul, Nak. Nah, apakah engkau juga masih ingat dengan apa yang Ibu jawab ketika ia tanyakan alasannya mengapa setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu, ia dipaksa sekolah oleh Ibunya?" Anak                      : "Masih, Bu. Kata Ibu waktu itu supaya pintel. Supaya bisa mempelbaiki keadaan Indonecia." Ibu                          : "Nah, begitulah Ndok. Jika semakin banyak yang seperti Putri, malas sekolah, maka akan semakin banyak kejadian-kejadian yang menyedihkan yang engkau lihat di televisi akan terjadi. Mengapa? Karena akan semakin banyak orang-yang tidak mengerti apa artinya saling menghormati satu sama lain, toleransi antar umat beragama dan agama itu sendiri, Ndok." Anak                      : "Mmmmmm.... jadi nanti Putli bakal ikut-ikutan kayak yang di tipi itu ya, Bu kalo dia gak lajin ke cekolah?" Ibu                          : "Iya Nak, mereka semua itu tidak bisa bersikap baik karena mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya mengerti apa yang diperintahkan oleh orang-orang jahat kepada mereka." Anak                      : "Olang-olang jahat?" Ibu                          : "Iya Nak. Di luar sana banyak orang-orang jahat yang hanya ingin negara ini hancur dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Seakan-akan hanya mereka yang nantinya akan masuk surga dan bertemu Tuhan di sana. Padahal tanpa mereka sadari, mereka hanya membuat Tuhan menangis dengan semua yang mereka lakukan. Tuhan tak perlu dibela, Nak. Jika Tuhan perlu dibela, maka Ia bukanlah Tuhan yang Maha Segalanya." Anak                      : "Begitu ya, Bu? Jadi banyak olang-olang yang gak pintel di lual sana ya, Bu? Cemua kalna males cekolah cepelti Putli, ya Bu?" Ibu                          : (tersenyum dan mencium kepala putrinya) Ada yang memang malas seperti Putri, tapi ada juga yang memang tidak punya uang untuk membiayai sekolahnya, Nak." Anak                      : "Oooooo.... jadi kalo cemua anak lajin dan cemua cekolah glatis, maka kejadian-kejadian nyelemin di tipi gak ada lagi ya, Bu?" Ibu                          : "Iya, Nak. Karena semua orang menyadari apa artinya saling menghormati satu sama lain, toleransi antar umat beragama dan agama itu sendiri, Ndok." Anak                      : "Baik, Bu. Mulai becok, kalo Putli macih males cekolah, nanti Dede kaci tau ya Bu. Cupaya Putli jadi lajin ke cekolah." Ibu                          : "Nah, itu baru anak Ibu. Ingat baik-baik kata-kata Ibumu ini, Nak. Sampai kapan pun engkau hidup, jangan mau dibodohi oleh ketidaktahuanmu. Carilah ilmu sebanyak mungkin dan gunakanlah ilmu yang engkau peroleh itu hanya untuk kemulian dan menyenangkan hati Tuhan dan sesama. Tuhan tidak perlu dibela Nak, karena tanpa pembelaanmu pun, Dia masih tetap berkuasa dan kekal selamanya. " Anak                      : "Baiklah, Bu. Dede akan ingat cepanjang umul Dede. Makaci, Ibu." Sambil tersenyum sang Ibu kembali mencium kepala putrinya yang dengan nyaman menyandarkan kepalanya semakin dalam ke pelukan Ibunya. Dan tanpa sengaja, kulihat ada air mata yang menetes dari wajah sang Ibu yang segera dikeringkannya dengan tangannya. Mungkin karena sang Ibu tak ingin putrinya melihat ia menangis. Ya Tuhan, jawaban dariMu sungguh syahdu dan indah adanya. Memang hanya Engkau yang sanggup dan mampu menjawab semua kegelisahan hati ini. Kutengadahkan kepala ini kepadaNya sambil berdoa di dalam hati ini, "Ya Tuhan, tolong bantu bangsa ini, agar segera menyadari kesalahan yang ada dan menjalani hidup hanya untuk kemulian dan menyenangkan hati Engkau dan sesama. Amien." Dan tanpa sengaja, air mata ini pun jatuh menetes. multiply.com/tisesa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H