Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekali Lagi Soal Situs Sumur Pitu

16 Februari 2021   08:17 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:35 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bagian terdahulu sudah disinggung bahwa Situs Sumur Pitu adalah situs yang bersifat Buddhistik, dan diduga sebagai "asrama" tempat para bhiksu mengasingkan diri masuk dan bersemedi di dalam hutan.  Hal ini didasarkan pada lokasi situs yang terletak di antara dua puncak bukit pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Kondisi di sekitar situs ditumbuhi semak belukar dimana areal tersebut merupakan jalur sungai musiman yang hanya berair ketika musim penghujan.  Di areal perbukitan dan ditemukan sumur sumur penampungan air serta votive ,stupika dan materai tablet dari sekitar abad ke---10 M.  Gerakan masuk ke dalam hutan serta bersemedi ini dikenal sebagai sramana pada zaman Gautama. 

Jadi,  sekitar abad ke-6 SM, perkembangan agama Weda  di India menimbulkan kebencian semua golongan terhadap golongan Brahmana karena peraturan kasta dan keistimewaan yang dimiliki oleh kaum Brahmana.  Golongan Ksatria adalah golongan yang paling kuat dalam menentang dominasi kaum Brahmana.  Pada akhirnya menimbulkan gerakan penentangan terhadap ajaran agama Weda yang dipimpin oleh Mahavira dan Siddartha Gautama. 

 Gerakan penentangan yang dilakukan oleh Mahavira kemudian melahirkan agama Jaina yang membebaskan pengikutnya dari kekuasaan Weda, berzuhud dan melatih diri dengan tidak perduli kepada kenikmatan dan kepedihan (Shalaby, 2001:88-94). Gerakan penentangan yang dikenal sebagai gerakan ramana ini pada intinya  menolak Weda dan dominasi para Brahmana dengan cara meninggalkan kehidupan bermasyarakat dan memilih jalan hidup religius ( Ray, 1994: 65).

Gerakan penentangan lainnya dilakukan oleh Siddartha Gautama  sehingga dia dikenal sebagai Mahramana.  Murid-muridnya dikenal juga sebagai ramana dan banyak ciri dari Buddha awal merefleksikan hal umum yang ditemukan dalam gerakan ramana.  Gerakan ramana di dalam agama Buddha kemudian berkembang menjadi dua aliran yang berbeda. 

Teks Nikay menyebutkan bahwa aliran pertama merupakan satu kelompok ramana yang dipimpin oleh seorang guru, bergerak dalam kelompok yang besar, hidup secara komunal yang memiliki aturan hidup sendiri, tinggal di dekat kota atau desa dan menghabiskan waktunya dengan berdiskusi dan berdebat tentang doktrin.  Aliran kedua adalah ramana yang hidup menyendiri dengan mengasingkan diri dan melakukan meditasi dan berjuang untuk mendapatkan kelepasan. 

Aliran ini dikenal di India sebagai pertapa yang meninggalkan keduniawian dan berusaha mendapatkan kelepasan dengan cara meditasi dan tapa (austerity) dan mereka hidup di dalam hutan. Beberapa generasi setelah kematian Buddha, aliran pertama memainkan peran kunci di dalam kehidupan perkotaan dan pedesaan di India.  Aliran ini awalnya tinggal di pinggir kota atau desa, mendapatkan pengikut dari sana dan kehidupannya tergantung dari sedekah yang diberikan penduduk kemudian menetap dan berkembang menjadi kerahiban dan tempat mempelajari agama Buddha (Ray, 1994: 66).

Tradisi ramana yang hidup menyendiri dengan mengasingkan diri dan melakukan meditasi di dalam hutan dan gua ini kemudian juga menyebar ke kawasan Asia Tenggara seperti Burma, Thailand, dan Indonesia.  Inskripsi yang berasal dari periode Pagan, Burma menyebutkan adanya golongan Sangha mengacu pada kata as taw klon ( biara di dalam hutan) yang berkembang dan mendapat sumbangan dari istana pada akhir Pagan (abad ke-13 M).  Mereka tinggal di dalam hutan dan gua-gua,di tempat yang terpencil sebagai tempat pertapa dan mencetak votive tablet sebagai usaha memperoleh merit (pahala) (Guy, 2002: 23).

Di distrik Anherst, Burma, ketika survei arkeologi dilakukan di gua-gua  alam, dari 40 gua yang didatangi 21 gua di antaranya ditemukan deposit votive tablet.  Salah satu di antara gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal para pertapa ini adalah Gua Kaw-gun.  Bagian dalam gua dihiasi oleh votive tablet dalam jumlah yang sangat banyak (Guy, 2002: 23).

 Tradisi hidup di dalam hutan dan melakukan semadi serta segala hal yang berkaitan dengan keagamaan juga tercermin di dalam salah satu relief Karmawibangga no.105 di Candi Borobudur.   Di dalam relief tampak empat orang dalam posisi duduk vajrasana dengan kedua tangan sikap dhyanamudr, sikap orang bersemadi. Tampak di sekitarnya penuh pepohonan yang menggambarkan suasana hutan.

Jadi, jangan heran jika suatu saat ditemukan atribut atribut kebuddhaan di areal hutan atau perbukitan seperti yang ditemukan pada Situs Sumur Pitu atau mungkin juga seperti temuan relief stupa bercattra di kawasan Watu Layar, Desa Bonang  Rembang.  Mungkin dahulunya tempat ini adalah asrama bagi pertapa Buddha yang mengasingkan diri dari kehidupan dunia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun