Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Temuan Jarum Emas di Nusantara

14 September 2018   11:08 Diperbarui: 14 September 2018   12:32 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                                                                                                          Temuan Jarum emas di Palembang milik kolektor

Jarum adalah sesuatu yang umum biasa ditemukan di rumah-rumah kita, ianya dibutuhkan ketika ada pakaian/ celana yang jahitannya butuh perbaikan, biasanya anak kancing.  Namun kalau jarum emas, ini pasti sesuatu yang tidak umum dan mungkin belum tentu di antara 1000 rumah tangga memiliki jarum emas.

Adalah situs Pulau Sawah, sebuah situs Buddha yang terletak di Sumatra Barat,  tepatnya di Sijunjung, Dharmasraya, jarum emas pernah ditemukan di daerah ini.  Pada awalnya situs ini dikaitkan dengan keberadaan Adityawarman yang berkuasa sekitar abad ke-14 M.  Namun dalam perjalanan waktu, penelitian arkeologi yang dilakukan di situs ini menunjukkan bahwa situs ini sudah eksis sejak abad ke-9 M yakni ketika Sriwijaya berkuasa.  

Sriwijaya selain pusat kerajaan  juga menjadi pusat studi buddhisme di Asia Tenggara yang pengaruhnya cukup besar sehingga tidak heran It-Ching menganjurkan agar mereka yang ingin belajar agama Buddha di India (Nalanda) dianjurkan untuk belajar bahasa Sangsakerta dahulu di Sriwijaya.

  Tampaknya keberadaan situs ini di pedalaman Sumatra juga tidak terlepas dari pengaruh Sriwijaya karena temuan arca-arca di Situs Pulau sawah  juga memperlihatkan kemiripan dengan aliran buddhisme yang berkembang di Sriwijaya yakni Tantrayana.

                                                                                                        Temuan periuk digambar dan didokumentasi sebelum diangkat (Puslitarkenas)
                                                                                                        Temuan periuk digambar dan didokumentasi sebelum diangkat (Puslitarkenas)
Penelitian arkeologi yang dilakukan di Pulau Sawah tahun 2016-2018 lalu menemukan satu bangunan (stupa) yang di sekeliling pondasinya ditanam sejumlah periuk tanah liat tanpa tutup  yang terisi tanah.  Periuk yang ditanam di sekitar candi biasanya dikenali sebagai wadah peripih.  Beberapa periuk yang telah diangkat dan rencananya dikeluarkan lapisan tanahnya untuk diketahui isinya.  

Di dalam salah satu periuk yang telah dibuka, berisi satu jarum emas sepanjang 3 cm. Bagian atas jarum terdapat lubang kecil untuk memasukan benang dan pada bagian bawah  dibuat runcing sayangnya ujung jarum emas ini kelihatan sudah rusak/ terpecah dua.  Jarum tampak sudah tidak lurus dan melengkung di ujung bawah,  tetapi juga terlalu riskan untuk diluruskan mengingat setidaknya ada dua titik retakan (fraktura) di bagian batang jarum yang jika dipaksakan juga dapat mengakibatkan batang jarum menjadi patah.

                                                                                                             Jarum emas (Puslitarkenas)
                                                                                                             Jarum emas (Puslitarkenas)
Masalahnya kenapa jarum emas diletakan di dalam periuk ? Adakah ini terkait dengan upacara pensucian bangunan suci atau ada hubungannya dengan kematian tokoh Buddha tertentu?  Tujuan dari pembangunan stupa sebenarnya dimaksudkan untuk menyimpan relik dari tokoh Buddha, kitab suci, atau segala hal yang dapat memancarkan kekuatan suci. 

Di India, praktek mendirikan stupa merupakan suatu tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu bahkan sebelum zaman Sang Buddha yang dikenal sebagai caitya atau dhtugarbha.  Stupa kemudian diperuntukan menyimpan relik jasmaniah (dhtus) yang pembangunannya diperintahkan oleh Buddha di dalam Kitab Mahaparinibbana Sutta. (Dorjee, 2001:viii).

                                                                                                                UJung jarum emas yang rusak (Puslitarkenas)
                                                                                                                UJung jarum emas yang rusak (Puslitarkenas)
Praktek upacara penguburan di dalam agama Buddha dilakukan dengan melakukan kremasi. Tradisi mengkremasi seseorang yang meninggal sebelumnya tidak dikenal di Nusantara dan tradisi ini diperkenalkan oleh agama Buddha ke Nusantara.  Selain itu perlakuan mengkremasi jenazah juga dicontohkan pada  tubuh Buddha Gautama yang kemudian abu jenazahnya disimpan di delapan stupa berbeda di India (Blum, 2004:205).

Jika seorang tokoh Buddha wafat, semua benda-benda yang dimiliki oleh tokoh Buddha semasa hidupnya yang dalam ajaran Buddha disebut sebagai paribhoga dimasukkan ke dalam wadah terakota.  Wadah yang berisi abu dan paribhoga ini disebut  sebagai ritual vessel atau garbhaptra.  Garbhaptra biasa digunakan di dalam kegiatan pembangunan candi.  

Garbha memiliki arti benih atau rahim, jadi garbhaptra adalah wadah untuk menempatkan benih. Benih yang akan membuat sesuatu yang tidak berwujud menjadi berwujud.  Pengorbanan para bhiksu akan menjadi penyebab tumbuhnya benih yang akan menghidupkan candi (Kramrish, 1946: 126).  Abu jenasah beserta paribhoganya yang diletakan di dalam garbhaptra ini kemudian akan disimpan di dalam stupa.  

Praktek ini tampaknya ditemukan pada stupa-stupa kecil yang berjajar mengitari lapik Candi Kalasan yang berisi abu dan paribhoganya yang disimpan di dalam cupu.  Abu diduga juga sebagai abu jenazah yang diletakan di dalam stupa (Soekmono, 1974: 45). 

Dengan demikian ada kemungkinan temuan jarum emas di dalam wadah tembikar yang ditanam di sekeliling candi terkait dengan hal tersebut di atas yakni posisi jarum emas sebagai paribhoga tokoh yang reliknya tersimpan di dalam stupa tersebut. Jarum memang memiliki keterkaitannya dengan kehidupan para bhiksu.  Sudah diketahui secara umum bahwa mereka (para bhiksu) sangat disarankan untuk hidup serdehana termasuk di dalam memiliki peralatan hidup yang diperlukan. 

Delapan syarat (aha parikkhra) adalah delapan kebutuhan dasar yang bisa dimiliki oleh para biksu dan bhiksuwati Buddha sebagai milik pribadi mereka. Kedelapan benda itu adalah: (1) jubah luar, (2) jubah dalam, (3) jubah tebal tebal untuk musim dingin, (4) mangkuk sedekah untuk mengumpulkan makanan, (5) pisau cukur untuk mencukur, (6) jarum dan benang, (7) sabuk dan (8) saringan air untuk menghilangkan kotoran dari air minum. Jika demikian, adanya tiga puluh dua periuk lainnya yang masih tersimpan utuh juga harusnya berisi paribhoga sang tokoh.  

Hmm..kira-kira siapakah tokoh Buddha yang reliknya tersimpan di salah satu stupa di situs Pulau Sawah dan memiliki begitu banyak paribhoga?

Kemungkinan lain, keberadaan jarum emas di dalam salah satu wadah ini bisa juga simbol perwujudan boddhisattva di dalam agama Buddha.  Adalah Marici adalah tokoh boddhisattva yang di selalu digambarkan membawa jarum dan benang yang digunakan untuk menjahit mulut dan mata orang yang berbuat jahat.  

Arca Marichi cukup banyak ditemukan di India dan ditemukan juga di Tibet dan Cina (Bhattacharyya 1958 :208).  Jika demikian maka sudah seharusnya wadah-wadah periuk lainnya adalah berisikan "laksana" para boddhisattva lainnya yang banyak ditemukan pada Buddha Tantrayana.

Satu hal lagi, emas di dalam buddhisme melambangkan matahari dan api matahari atau api. Oleh karena itu, mencampur emas dengan unsur lain dianggap tidak menguntungkan karena mencairkan kecemerlangan alami emas.  Oleh karena itu, emas yang digunakan dalam seni rupa Buddha selalu murni.  Mengingat hubungannya dengan matahari, emas dalam Buddhisme berarti kemurnian, pengetahuan, pencerahan, kebahagiaan, dan kebebasan

                                                                                                          Temuan Jarum emas di Palembang milik kolektor
                                                                                                          Temuan Jarum emas di Palembang milik kolektor
 Temuan yang sama juga pernah dilaporkan dari Palembang tetapi tidak dalam konteks arkeologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun