Belakangan ini ramai diperbincangkan penghapusan data Surat Tanda Nomor Kendaraan atau yang biasa dikenal sebagai STNK. Kebijakan tersebut saat ini sedang diperbincangkan oleh banyak pihak, karena belum banyak masyarakat yang aware. Saat ini Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia sedang melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan bertemu langsung dengan pimpinannya, seperti diantaranya di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Penghapusan data STNK yang mati pajak 2 tahun ini bukan berarti 2 tahun data kendaraan bermotor yang tidak bayar pajak, maka data STNK akan dihapus dan kendaraan bermotor akan jadi bodong, namun maksud dari kebijakan ini menurut undang-undang yang berlaku adalah, ketika terdapat STNK yang sudah 5 tahun mati kemudian ditambah lagi 2 tahun tidak diurus administrasi dan pemilik kendaraan tidak membayar pajak, maka data tersebut dapat berpotensi untuk dihapus yang kemudian tidak akan dapat diregistrasikan kembali, dan kemungkinan terburuknya akan berpotensi menjadi kendaraan bodong atau ilegal, jelas Brigjen Polri Yusri Yunus selaku Direktur Regident Korlantas Polri dalam wawancaranya dengan MetroTV.
Prosedur penghapusannya pun tidak dilakukan secara sepihak dan langsung dilakukan cut off, akan tetapi dilakukan secara bertahap sebagaimana telah diatur mekanismenya dalam Peraturan POLRI No. 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. Terdapat tiga tahapan yang diatur dalam peraturan tersebut, diantaranya jika pemilik kendaraan tidak membayar pajak selama lima bulan maka polri akan memberikan surat peringatan. Kemudian selama satu bulan setelahnya jika tidak ditindaklanjuti, polri akan memblokir registrasi kendaraan bermotor selama 12 bulan, dan jika tidak ada tindak lanjut, polri baru akan menghapus data registrasi kendaraan bermotor. Â
Kebijakan ini banyak dikritisi, pasalnya kebijakan ini termasuk dalam kebijakan lama yang tertera pada Pasal 74 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sehingga muncul pertanyaan, undang-undang sudah ada sejak dulu namun penerapannya baru sekarang. Setelah ditelusuri kembali, hal ini dikarenakan adanya gap atau jarak yang signifikan antara kebutuhan dana pemerintah yang diperoleh dari pajak terhadap realisasi penerimaan pajak yang ada. Menurut data Jasa Raharja (2021), hingga akhir tahun 2021 diketahui terdapat 103 juta kendaraan yang tercatat di kantor bersama Samsat, namun hanya 40 juta kendaraan atau setara dengan sekitar 39% dari total pemilik kendaraan yang belum membayar pajak atas kendaraan bermotor. Data lapangan juga menunjukkan, di salah satu Provinsi di Indonesia, Jawa Barat, yang membayar pajak baru menunjukkan angka 58%, dalam arti lain hampir 20 triliun pengguna jalan tidak membayar pajak. Â
Gap ini yang menjadi kegelisahan tersendiri bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, karena pemerintah sering mendapatkan keluhan mengenai fasilitas dan infrastruktur jalan, namun masyarakat sendiri banyak yang belum patuh pajak. Ketidaksinergian antara keinginan dan perilaku masyarakat ini yang membuat pihak kepolisian, Kemendagri dalam hal ini Dispenda, dan jasa raharja, bersama-sama mendorong masing-masing Pemda untuk melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009 pasal 97 ayat 2 dan Pergub tentang Petunjuk Pelaksanaan Daerah terkait Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), sehingga dapat menerapkan kebijakan penghapusan STNK. Pihak-pihak tersebut juga bersama-sama untuk menyatukan validasi data dalam bentuk single data, supaya dari data tersebut dapat dianalisis dan dievaluasi, kemudian untuk menentukan strategi apa yang perlu ditingkatkan agar membuat masyarakat dapat patuh pajak.
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah hanya dengan sosialisasi saja cukup untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait penerapan kebijakan baru ini, serta apakah dengan meningkatnya tingkat kepatuhan pajak, akan menjamin meningkatnya fasilitas juga infrastruktur di daerah. Dalam wawancaranya dengan MetroTV, Darmaningtyas, pengamat transportasi, menjelaskan bahwa sosialisasi saja tidak cukup. Mengingat banyaknya pengguna kendaraan di jalan, sehingga perlu adanya sinergi dari banyak pihak, agar selain mensosialisasikan tapi juga memberikan edukasi dan penegakan hukum secara masif, baik kepada pemilik kendaraan untuk melakukan registrasi dan pembayaran pajak, ataupun kepada pemerintah daerah sendiri untuk melakukan penagihan pajak kepada pengguna kendaraan yang tidak patuh pajak.Â
Kebijakan ini belum bisa dilihat efektivitasnya, namun apabila kebijakan ini dapat dijalankan dengan baik dan efektif, tentu akan memberikan dampak yang positif bagi penerimaan pajak, sehingga masyarakat juga dapat menerima dan memanfaatkan fasilitas serta infrastruktur di daerah. Program pembangunan daerah membutuhkan sumber pendanaan yang besar, salah satunya dari pendanaannya yang didapat dari penerimaan perpajakan. Hal ini juga berlaku di hampir semua negara, dimana porsi penerimaan negaranya didominasi dari perpajakan yang kemudian digunakan untuk pembangunan daerah. Jika dilihat lagi, kepatuhan masyarakat dan sumbangan wajib baru mencapai sekitar 60% lebih yang membayar, sisa pajak yang seharusnya dapat diterima oleh negara adalah 100 triliunan rupiah. Sehingga seharusnya pemerintah daerah dapat menyediakan fasilitas dan melakukan pembangunan dengan lebih maksimal demi kesejahteraan masyarakat.Â
Karena pembangunan adalah tugas seluruh komponen bangsa (Edward Nainggolan, 2022 dalam Kemenkeu.go.id). Sehingga setiap masyarakat di Indonesia dapat mendukung pembangunan untuk memajukan daerah dengan membayar pajak sesuai ketentuan. Karena setiap rupiah yang dikumpulkan dari penerimaan perpajakan akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H