PBB telah mencanangkan Sustainable Development Goals (SDG) Â yang mencakup 17 bidang target yang diupayakan tercapai pada tahun 2030 mendatang untuk memperbaiki kemaslahatan umat manusia. Kesehatan merupakan salah satu bidang dari SDG yang menjadi sorotan, karena berdampak langsung pada kualitas SDM dan kesejahteraan manusia pada tahun 2030. Kazakhstan, Nigeria, Swaziland dan Timor-Leste merupakan negara dengan perbaikan kesehatan yang pesat. Perbaikan yang sangat pesat ini disebabkan oleh karena Universal Health Coverage (UHC) dan angka kematian anak di negara ini utamanya karena telah memenuhi target diterapkannya yaitu program keluarga berencana dengan menggunakan alat kontrasepsi modern dan adanya bantuan tenaga terampil dalam melahirkan.
Prestasi Indonesia dalam pencapaian target SDG dalam bidang kesehatan tahun 2030 ini memang tidak masuk kelompok terbaik dan terburuk. Permasalahan kesehatan yang terjadi semakin komplek dan memerlukan perhatian khusus dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakatnya dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Cakupan UHC/JKN/KIS (di Indonesia dikelola oleh BPJS) di Indonesia sudah mencapai 80% tahun 2018, hal ini harus ditingkatkan sampai 95-100% seperti di Negara lainnya. Pencapaian UCH sampai 95-100% akan meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS juga harus diikuti dengan upaya preventif yang optimal pula, agar beban BPJS untuk menanggung pasien dengan penyakit degeneratif tidak meningkat di tahun 2030. Indonesia masuk dalam negara yang jika tidak dilakukan upaya khusus, maka akan masuk dalam kelompok negara yang tidak dapat mencapai target SDG 2030.
Tiga indikator upaya pembangunan kesehatan tersebut antara lain: Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Ibu / Maternal Mortality Rate (AKI/MMR), dan Angka Kematian Bayi / Infant Mortality Rate (AKB/IMR). World Health Organization (WHO) memperkirakan sebanyak 830 ibu di dunia meninggal setiap harinya, sedangkan di Indonesia sebanyak 38 ibu jika didasarkan pada AKI 305 akibat penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan persalinan. Sebagian besar kematian tersebut seharusnya bisa dicegah dan diselamatkan. Meningkatkan AKI menunjukkan bahwa banyak Ibu yang seharusnya tidak meninggal, tetapi meninggal karena tidak mendapatkan upaya pencegahan dan penanganan yang seharusnya (World Health Organization (WHO), 2019).
Secara umum telah terjadi penurunan kematian ibu selama periode 1991-2015 dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu, namun tidak berhasil mencapai target MDGs yang harus dicapai yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Hasil survey tahun 2015 memperlihatkan angka kematian ibu tiga kali lipat dibandingkan target MDGs. Target penurunan AKI ditentukan melalui tiga model Average Reduction Rate (ARR) atau angka penurunan rerata kematian ibu seperti pada gamabr di atas. Dari ketiga model tersebut, Kementerian Kesehatan menggunakan model kedua dengan rata-rata penurunan 5,5% pertahun sebagai target kinerja. Berdasarkan model tersebut diperkirakan pada tahun 2030 AKI di Indonesia turun menjadi 131 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2018).
Bali merupakan provinsi dengan AKI terendah (47). Seluruh Jawa dan pulau-pulau di barat memiliki AKI <200/100.000 kelahiran hidup (KH). Provinsi Gorantalo merupakan provinsi dengan AKI tertinggi (tujuh kali lipat lebih tinggi dari Bali: 371 kematian per 100.000 KH). Angka yang sangat tinggi juga terlihat di luar pulau lainnya. Dokter per kepala populasi umumnya lebih tinggi di provinsi dengan AKI yang rendah dan lebih rendah di provinsi dengan AKI yang sangat tinggi (kecuali Sumatera Barat dan Sulawesi Utara) (Cameron L; Suarez DC; Cornwell K, 2019; Kemenkes RI, 2018).
Akses ke layanan kesehatan dan tenaga kesehatan sangat bervariasi di seluruh nusantara. Rerata perempuan tinggal dengan jarak 12 kilometer dari RS dan 3 kilometer dari Puskesmas/Klinik. Rerata jarak ke RS sangat bervariasi dari 0,5 kilometer di Jakarta hingga 29,0 kilometer di Sulawesi Tengah. Puskesmas rata-rata memiliki 10-11 bidan dan 2-3 dokter. Angka ini sangat bervariasi dengan angka median adalah dua dokter dan yang tertinggi 60. Hampir semua desa memiliki pos kesehatan tetapi banyak yang tidak memiliki bidan (rerata jumlah bidan 0,43). Tiga puluh persen desa memiliki pos persalinan, tetapi hanya 6% yang memiliki fasilitas rawat inap (Cameron L; Suarez DC; Cornwell K, 2019).
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, dan pelayanan keluarga berencana termasuk KB pasca persalinan (Kemenkes RI, 2018). Penyebab utama dari kematian ibu adalah perdarahan (perdarahan postpartum dan perdarahan akibat solusio plasenta, plasenta previa, ruptur uterus, serta penyebab lainnya), penyakit hipertensi kehamilan (preeklamsia/eklamsia), dan sepsis ibu. Hal ini menjadikan pencegahan dan tatalaksana kondisi-kondisi di atas dapat terlaksana (Sulmezoglu AM; Lawrie TA; Hazelgrave N; et al, 2016).
Masalah kesehatan lainnya yang ada di Indonesia adalah masalah penyakit infeksi, terutama TB paru. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular utama dan telah menjadi perhatian kesehatan masyarakat di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 8,6 juta kasus TB dan 1,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit tersebut. Lebih dari setengah juta kasus terjadi pada anak-anak dan 320.000 kematian dilaporkan di antara orang yang terinfeksi HIV (Schwartz et al., 2020; WHO, 2019; World Health Organization (WHO), 2017). Sebagian besar orang yang mengalami TB pada tahun 2019 berada di wilayah Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), dengan persentase yang lebih kecil di Mediterania Timur (8,2%), Amerika (2,9%) dan Eropa (2,5%). Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total kasus global, antara lain: India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh ( 3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%) (WHO, 2021).
Dua negara kontributor terbesar kasus TB adalah India dan Indonesia, dua negara tersebut menempati peringkat pertama dan kedua di dunia dalam hal estimasi jumlah kasus per tahun. Jumlah orang yang baru didiagnosis TB di India meningkat dari 1,2 juta menjadi 2,2 juta antara tahun 2013 dan 2019 (+74%), sedangkan di Indonesia jumlahnya naik dari 331.703 pada 2015 menjadi 562.049 pada 2019 (+69%) (WHO, 2021). Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017. Jumlah kasus baru TB tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018a). Kasus TB paru rencananya harus dieliminasi pada tahun 2030. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak. Fokus penanganan TB paru adalah pada deteksi dan pengobatan. Slogan penanganan TB di Indonesia adalah TOSS TB atau "Temukan TBC Obati Sampai Sembuh".
Adapun pemeriksaan TB harus dilakukan pada mereka yang mengalami batuk lebih dari dua minggu, penurunan berat badan, keringat malam, serta pada mereka dengan kontak erat dengan pasien TB. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah uji BTA yang dapat dilakukan di Puskesmas terdekat. Pengobatan TB harus dilakukan sampai tuntas selama empat sampai dengan enam bulan (Organization, 2022).