Â
Badan Penyelenggara Jaminan Soaial atau yang kita kenal dengan BPJS merupakan badan yang dibentuk negara di tahun 2014 untuk pencapaian Universal Health Coverage (UHC). Tujuan dari pembentukkan badan ini sangatlah mulia, yaitu untuk pemerataan keterjangkauan pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk Indonesia. Dalam ulasan ini yang mau kita bahas adalah BPJS Kesehatan, bukan BPJS Ketenagakerjaan (jadi setiap kata BPJS dalam ulasan ini adalah BPJS Kesehatan ya)
Kepesertaan BPJS ini terdiri dari Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti mereka yang mendapatkan bantuan KIS (Kartu Indonesia Sehat) maupun dari APBD. Peserta PBI tidak perlu membayar premi bulanan dengan surat sakti dari Kepala Desa/Lurah/Camat dan Dinas Sosial. Sistem yang diciptakan sebenarnya sangat baik, Pemerintah juga telah membuat kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH), dimana setiap anggota PKH akan otomatis akan mendapatkan KIS dan KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Kepesertaan Non-PBI seperti mereka yang menrima upah (PNS maupun swasta) dan Non-PBI Mandiri yang bukan penerima upah seperti kami para dokter, pengacara, notaris, dan lain sebagainya. Sayangnya, realita di lapangan masih banyak mereka yang sebenarnya dari kalangan menengah ke bawah yang malah "nyasar" mengurus BPJS Non-PBI yang mandiri karena status mereka yang tidak jelas. Misalnya mereka buruh tani, pekerja serabutan, maupun buruh kebun dengan gaji di bawah UMR yang seharusnya mendapatkan Jaminan Sosial di BPJS-TK.
Kenaikan iuran BPJS sebenarnya tak lain karena empat masalah yang pernah di sampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan, antara lain: iuran BPJS yang sebelumnya rendah tidak sebanding dengan pemakaiannya, tingkat keaktifan peserta Non-PBI bukan penerima upah yang rendah, peserta hanya membayar ketika membutuhkan (sakit), dan pembiayaan penyakit katastropik. Keempat alasan di atas yang akhirnya membuat kesimpulan bahwa "Premi BPJS harus dinaikkan"
Salah satu pentolan dari Persatuan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. Patrianef, Sp.B-KV juga pernah menyampaikan kajiannya mengenai BPJS. Beliau berpendapat bahwa, "BPJS sebenarnya sudah mengalami surplus dari peserta PBI (mereka yang preminya dibayarkan oleh negara), sedangkan penyebab kerugian adalah dari tunggakan peserta Non-PBI, dan defisit BPJS akan berubah menjadi surplus ketika tunggakan tersebut terbayar".Â
Selain itu, beberapa regulasi yang dibuat oleh BPJS juga sebenarnya malah menghamburkan uang/biaya pelayanan kesehatan. Contohnya: pasien dengan kasus peritonitis maupun apendisitis harus menjalani pemeriksaan penunjang dulu sebelum di operasi, padahal kenyataannya kedua penyakit tersebut dapat confirm hanya dengan pemeriksaan fisik. Jangan sampai di kasus selanjutnya harus memeriksa foto rongsen pada pasien dengan tension pneumothoraks, karena akan berdampak pada tertundanya tatalaksana.
Dari permasalahan di atas, kenaikan Premi BPJS seolah-olah diibaratkan "menumbalkan orang-orang yang rajin bayar premi". Kenapa saya katakan seperti itu? Sangat jelas dari kedua pendapat di atas, salah satu yang menyebabkan kenaikan premi BPJS adalah karena ada yang tidak bayar atau lemahnya sistem penagihan yang dibuat oleh BPJS. Jadi, premi dinaikkan dua kali lipat seolah-olah kita yang aktif membayar premi harus membayar premi mereka yang pasif. Pertanyaannya sekarang, bagaimana ketika nanti BPJS tetap mengalami defisit setelah menaikkan premi karena lemahnya sistem mereka?? apakah premi BPJS kita akan dinaikkan lagi? Mungkin suatu saat premi BPJS kita bisa mencapai 500 ribu per kepala.
Kondisi seperti ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan. DPR RI dan Kementerian Kesehatan jangan memanjakan BPJS dengan langsung meng-aamiin-kan kenaikan premi, mereka juga harus muhasabah diri. Apakah dana kesehatan di APBN RI sudah mencapai 8%? Apa upaya yang telah dilakukan Kemenkes RI dalam mengandeng pihak swasta dalam sistem pelayanan kesehatan nasional? terutama yang sehubungan dengan keterjangkauan pelayanan kesehatan dari segi akses dan harga.
Sistem pemerintahan kita yang desentralisasi kenapa tidak juga diikuti oleh desentralisasi dalam pengurusan jaminan sosial kesehatan? Kita lihat dahulu ketika Aceh dengan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), atau Bangka dengan Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang, maupun Bali dan Sumatera Selatan dengan Jaminan Sosial Daerahnya yang merupakan janji politik kepala daerahnya, apakah menjadi polemik yang berlarut seperti BPJS sekarang? kenapa hal-hal seperti itu harus dihapuskan?