Pembangunan di Indonesia dibangun melalui sistem perencanaan nasional berbasis anggaran, idealnya. Seluruh outlook kebutuhan pembangunan diwacanakan mulai dari dari tingkat desa hingga nasional melalui lembaga musrenbang. Di tingkat nasional, program-program pembangunan yang telah tersusun rapi dikonsultasikan dengan Kementerian Keuangan untuk disusun satuan anggarannya. Agar tidak terkesan superior, Bappenas dengan Kementerian Keuangan duduk bersama, melakukan telaah atas rencana-rencana pembangunan yang disusun tersebut yang tentunya harus pula memperhatikan kebijakan pembangunan yang menjadi keputusan Presiden.
Permasalahan muncul, saat Presiden yang mempunyai janji politik melalui Nawacita mulai melakukan inkonsistensi atas janjinya. Nawacita yang harusnya dijalankan secara konsisten dan terukur, mulai terpinggirkan dikarenakan faktor kreatifitas Presiden dalam mengarahkan kebijakan pembangunan. Alur perencanaan pembangunan nasional yang sebenarnya disusun berdasarkan janji politik Presiden, akhirnya harus mengalah untuk kebijakan yang seketika muncul tanpa rencana. Nawacita hanya dilihat pada beberapa bagian saja, terutamanya yang terkait dengan indikator-indikator infrastruktur. Pembangunan yang lebih bersifat 'sosial' dan 'intangible' tidak lagi menjadi prioritas pembangunan.
Isu konsolidasi antara Kementerian Keuangan dengan Bappenas memang sempat mengemuka di awal pemerintahan Jokowi. Bappenas yang memang secara politik dihuni oleh orang-orang yang pro pada pemerintahan sebelumnya terkesan lamban dalam menyesuaikan derajat profesionalitasnya untuk follow behind the President Policy. Salah satu bukti bahwa Bappenas susah diatur, adalah terjadinya pergantian Menteri di Bappenas yang dilakukan di era Jokowi; mulai dari Andrinov Chaniago, Sofyan Djalil, dan yang terakhir Bambang Brodjo. Ini tentu membingungkan juga bagi aparatur pemerintahan Bappenas dalam menerjemahkan kebijakan-kebijakan Presiden.
Belum selesai satu menteri menyiapkan skema perencanaan yang mendukung kebijakan Presiden di internal bappenas, tiba-tiba diganti. Disisi lain, Kementerian Keuangan sebagai pembantu Presiden yang memegang anggaran, melihat ketidakjelasan kebijakan di Bappenas sebagai leading sector perencanaan nasional, akhirnya mengambil langkah tersendiri. Kementerian Keuangan dibawah Sri Mulyani lebih memilih mendukung Presiden dengan memprioritaskan penggunaan anggaran yang bersifat arahan taktis ketimbang memilih bersama-sama dengan Bappenas yang masih belum selesai melakukan konsolidasi internal kementeriannya.
Apa yang terjadi di Bappenas ini dampaknya terasa menjelang tahun terakhir masa kepemimpinan Jokowi. Kementerian/Institusi/ Lembaga dan daerah lebih memilih langsung melakukan pendekatan dengan Kementerian Keuangan untuk mendiskusikan kebutuhan anggaran mereka daripada bicara terlebih dahulu dengan Bappenas. Jikapun kemudian lembaga-lembaga ini harus memilih kepada siapa mereka perlu melakukan diskusi atas rencana dan kebutuhan penganggaran dilembaganya sebelum berkonsolidasi dengan Kementerian Keuangan, bisa dipastikan itu bukanlah ke Bappenas. Bisa jadi lembaga-lembaga ini lebih memilih melakukan pendekatan (lobby) ke Kementerian Koordinator atau Kantor Staff Presiden (KSP) yang notabene merupakan lembaga-lembaga adhoc dimana keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan Presiden.
 Jika hal ini diteruskan, bukan tidak mungkin Bappenas akan menjadi lembaga abal-abal perencana nasional. Bappenas hanya menjadi lembaga untuk menempatkan orang-orang yang dirasa sudah dianggap 'kurang' berguna bagi Presiden. Lalu, kalau ini terjadi di badan perencanaan pembangunan nasional, bagaimana nasib badan perencanaan pembangunan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota? Lalu bagaimana fungsi musrenbang yang kelembagaannya ada mulai ditingkat kecamatan dan kelurahan/desa? Kembali hanya menjadi simbol-simbol bahwa perencanaan itu ada?  Jawaban ini tentu akan kembali pada kemampuan Menteri Bappenas dan Presiden dalam menjadikan problem ini salah satu masalah yang harus diatasi segera. Jika tidak, bukan tidak mungkin Bappenas --yang human resourcesnyamumpuni dan cerdas-cerdas, menjadi lembaga tanpa fungsi. hiks (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H