Saya bukan ahli sepak bola. Apalagi ahli me-manage kegiatan kompetisi sepakbola. Tapi, karena memberanikan diri, akhirnya saya dapat belajar banyak tentang sepak bola. Dan tulisan ini merupakan hasil saya berkutat selama hampir 1 bulan lebih membantu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) mengorganisir kegiatan Liga Desa Nusantara 2017 atau LDN.
Bicara sepak bola, adalah berbicara tentang bisnis. Bisnis yang di mana seluruh elemen yang terkait dengan kegiatan ini mampu untuk memanfaatkan momen sepak bola sebagai event meriah, penuh pernak-pernik keterlibatan warga desa. Emang bisa?
Spirit LDN bagian dari upaya mendorong implementasi UU Desa, lebih spesifiknya dalam hal pemberdayaan masyarakat, ketersediaan sarana olahraga di Desa serta memberikan ruang kepada masyarakat khususnya anak-anak dan pemuda desa untuk menyalurkan bakat, hobi bahkan tradisinya, karena sepak bola bagi sebagian banyak masyarakat di Indonesia sudah menjadi tradisi dan hiburan bagi di antara sekian banyak jenis olahraga yang ada.
Secara sederhana, upaya untuk meramaikan sebuah turnamen sepakbola di desa harus berawal dari inisiatif para pegiat olahraga di desa dalam melakukan komunikasi intensif dengan pihak Pengurus Desa. Komunikasi ini tentu diawali dengan adanya publikasi awal terkait penyelenggaraan turnamen LDN dari Kemendes selaku penyelenggara.Â
Dalam materi publikasi harus jelas, terkait jadwal mulai dari seleksi, pendaftaran hingga screening harus tertata dengan rapi. Hal lain yang ada dalam publikasi ini juga adalah kuota. Iya, kuota yang diperebutkan di level kecamatan dan kabupaten agar tim sepak bola dari desa mampu mengira-ngira waktu yang diperlukan, sumber daya yang dibutuhkan agar tim yang nanti akan dia kirim mampu untuk berkompetisi hingga level nasional.
Disisi penyelenggara, posisi koordinator regional sebenarnya vital. Vital dalam artian bukan hanya melakukan koordinasi komunikasi dengan pihak Kemendes, Koordinator Regional dalam sebuah manajemen kompetisi dituntut mampu untuk menjadi manager yang nantinya akan bertanggung jawab atas kebutuhan dan tingkat survival tim sepak bola yang akan bertanding di wilayah tanggung jawab koordinator regional.
Agar koordinator regional bisa bekerja dan cari duit untuk mempersiapkan seri provinsi/seri nasional, maka pihak Kemendes harus menyiapkan berbagai tools yang dibutuhkan agar koordinator regional bisa survive dan tertib administrasi dalam hal pelaporan kegiatan.Â
Tools-tools ini diantaranya template proposal cari dana di level desa, level kecamatan, dan level kabupaten misalnya. Lalu template pelaporan, listequipment minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah pertandingan bola dan FAQ yang berisikan informasi-informasi penting terkait problem dan cara menghadapi masalah tersebut.
Pemilihan koordinator regional pun ndak boleh asal tunjuk. Harus ada sebuah syarat minimal agar koordinator region ini mampu untuk menjadikan subsidiary fund dari Kemendes sebagai modal awal bagi dia untuk bergerak, mencari sumber pemasukan dari pihak ketiga. Agar tidak overlapping, batasan-batasan dalam upaya kreatif koordinator regional menggali dana juga harus diuraikan satu persatu.
Hal lain yang tak kalah penting adalah manajemen kompetisi sepakbola. Dalam pelaksanaan LDN 2017, Â problem pemenuhan kebutuhan pembiayaan bagi perangkat, pengawas pertandingan menjadi isu sentral. Hal ini harus terpecahkan pada penyelenggaraan LDN 2018.Â
Gampangnya, untuk kebutuhan pertandingan sepakbola yang diselenggarakan di desa, sebenarnya syarat minimalnya itu seperti apa? Apakah harus saklek mengikuti aturan PSSI? Toh sementara liga ini juga belum mendapatkan pengakuan dari PSSI sebagai sebuah turnamen rutin atau harus ngikutin standar FIFA?