Seminggu terakhir ini, gereja Katolik Pilipina dibuat tercengang, sedih, kecewa dan marah oleh presidennya sendiri. Bagaimana tidak, presiden Duterte dengan terang-terangan melecehkan Tuhan dan ajaran gereja.
"Jika anda bisa membuktikan Tuhan itu ada, maka saya akan mundur dari kursi presiden malam ini juga", sumpah Duterte, presiden Filipina, saat dia berbicara dalam Pekan Perayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional di SMX Convention Center di Lanang, Davao City, kampung halaman Duterte, pada Jumat (6/7) yang lalu. (Sumber)
Sebagai respon atas penghinaan tersebut, alih-alih melakukan demo, pimpinan gereja membalasnya dengan mengecam presiden dan menyerukan kepada umat untuk berdoa dan berpuasa tiga hari.(Sumber)
Apa yang dengan lantang Duterte tantangkan kepada umat Kristen, khususnya Katolik yang menjadi mayoritas di Pilipina tersebut, bukan mau menunjukan bahwa dia seorang ateis yang tidak percaya Tuhan. Dia percaya adanya Supreme God, yang dipandangnya sebagai sebuah kesatuan pemikiran universal di suatu tempat yang mengendalikan alam semesta.
Tantangannya tidak lebih dari ekspresi kegeraman dirinya terhadap tingkah polah penganut agama, terutama para rohaniawan yang berpandangan kolot, suka ribut dan lebih mementingkan kelompoknya beserta lembaga agamanya, dibanding kepentingan kemajuan negaranya.
Sebenarnya sudah beberapa kali presiden Duterte melontarkan kritikan-kritikannya terhadap lembaga keagamaan, terutama gereja Katolik. Mulai dari kritikan terhadap gereja yang dipandang tidak mendukung program-program pemerintah. Misalnya ketika gereja Katolik terang terangan mengkritik kebijakan perang narkoba yang dilancarkan oleh Duterte, yang dipandang sebagai pelanggaran HAM.
Gereja tegas menolak penghilangan nyawa manusia secara paksa, meski penjahat sekalipun. Duterte membalasnya dengan mencela gereja yang hanya bisa mengkritik, tapi tidak membantu dengan pengaruhnya mengatasi masalah kecanduan narkoba di masyarakat. Â Â
Karena merasa gereja masih belum juga membuka pintu dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah, maka kritikannya mulai masuk ke ajaran gereja. Duterte mengomentari kisah dalam kitab suci mengenai kejadian Hawa tergoda dengan sebuah apel di Taman Eden, sebagai hal yang bodoh. Tuhan bodoh karena membiarkan mereka jatuh ke dalam godaan yang merusak kesucian mereka.
Kegeraman Duterte terhadap sikap, pendirian dan pandangan gereja Katolik yang dianggapnya tidak mendukung, dan bahkan menentang dirinya semakin memuncak. Duterte merasa bahwa gereja Katolik yang mempunyai pengaruh sangat besar di kalangan masyarakat Pilipina, tidak berbuat apa-apa demi perbaikan kehidupan rakyat. Bahkan terkesan cenderung membiarkan kemiskinan dan kebodohan yang melanda masyarakat.
Karena itulah, Duterte lantang menantang kaum agamawan, terutama gereja Katolik untuk bisa membuktikan bahwa Tuhan itu ada.
*****
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Duterte begitu kecewa dan marah dengan gereja, khususnya gereja Katolik. Apakah gereja memang tidak memberi kontribusi dalam pembangunan dan perbaikan kehidupan masyarakat? Apakah gereja menutup mata, tidak peduli terhadap kesusahan ekonomi masyarakat sekitar dan hanya peduli dengan kemegahan fisik gereja, kemerihaan misa dan peribadatan, serta kemuliaan sekitar meja Altar saja?
Memang, selama dua ribu tahun berdirinya gereja Katolik sudah melahirkan ratusan orang-orang suci, para Santo dan Santa yang karyanya membantu banyak orang dan membela yang lemah. Kehidupannya mengispirasi banyak orang untuk selalu berbuat kebaikan.
Dari tangan para orang suci ini banyak nyawa diselamatkan. Harga diri manusia dimuliakan. Salah satunya adalah Bunda Teresa dari Kalkuta -- India. Karyanya banyak membantu orang-orang miskin, marjinal dan terpinggirkan di kota itu untuk diberikan tempat tinggal dan dimanusiakan kembali.
Namun, kalau melihat secara jernih dan interopeksi diri, maka harus diakui bahwa peran karya gereja terhadap pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat memang masih minim. Bukan berarti gereja harus membantu dengan dana segar dalam jumlah yang besar kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, selaku lembaga yang dipercaya dan punya pengaruh kuat di masyarakat, gereja diharapkan bisa berperan lebih untuk menggerakkan masyarakat agar mampu 'bangkit berdiri dan bergerak' demi perbaikan sosial ekonominya. Â Â Â
Sudah ratusan tahun gereja Katolik berkarya di Pilipina, namun  kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya masih jauh dari mapan. Begitu juga dengan wilayah di belahan dunia yang lain. Amerika latin juga sudah ratusan tahun menjadi ladang karya gereja Katolik, namun standard kehidupan rata-rata masyarakat di sana masih dibawah dari saudaranya yang berada di belahan utaranya.
Karya pastoral gereja katolik di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Sudah lebih dari seratus tahun, semenjak sebelum kemerdekaan, gereja Katolik berkarya di propinsi Nusa Tenggara Timur dan di Papua. Namun, meski mempunyai pengaruh yang sangat kuat di tengah masyarakat sekaligus sangat dihormati, gereja masih belum mampu mengubah pola dan cara hidup masyrakat untuk menuju peradaban yang lebih baik. Kedua propinsi dengan mayoritas Kristen tersebut masih tertinggal dalam bidang ekonomi dan pendidikan dari propinsi lainnya.
*****
Meski tidak bisa dibenarkan, presiden Duterte sudah berani terang-terangan melecehkan gereja Katolik. Jangan biarkan muncul seorang pemimpin lain melakukan hal yang sama ke depannya.
Untuk itu gereja Katolik perlu merespon dengan bijak 'tantangan dan pelecehan' tersebut. Mengajak umat untuk berdoa dan berpuasa selama tiga hari adalah respon yang bijak. Namun, mestinya lebih dari itu. Dalam jangka menengah dan panjang, gereja sebaiknya merespon dengan  merubah fokus kekaryaannya. Tidak terpaku lagi dengan karya di sekitar Altar saja, namun agar lebih berkarya di pasar, di luar gereja, karena di situ letak kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H