Istilah God-of-the-gaps biasanya diterapkan pada fenomena tentang alam semesta yang belum  bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, yang kemudian diasumsikan sebagai karya Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan hanya berperan dan berkarya hanya pada 'celah' atau 'lobang' yang belum bisa ditutup oleh ilmu pengetahuan. Makanya timbul istilah God of the gaps.
God of the gaps ini sebenarnya juga sebagai kritik kepada pihak yang dengan mudahnya selalu menghubungkan dengan penjelasan supernatural, yaitu peran Tuhan terhadap segala fenomena alam yang belum ada penjelasaannya secara ilmiah, alias masih misteri. Idenya adalah bahwa ketika penelitian ilmiah berlangsung, dan semakin banyak fenomena alam bisa dijelaskan secara natural, maka peran Tuhan akan berkurang dengan sendirinya.
Seperti nenek moyang dahulu yang menganggap bahwa gunung meletus sebagai akibat dari marahnya 'sang gaib' penunggu gunung, sehingga diperlukan 'sesajen' guna meredam amarahnya. Begitu juga ketika orang menganggap bahwa 'sang penunggu' tebing-tebing menjulang selalu menirukan secara persis teriakan seseorang, maka ada nasehat bahwa kita harus diam saat melintasi tebing-tebing tersebut. Namun, kedua hal tersebut bukan lagi sebagai hal yang supernatural lagi, tetapi sebagai hal yang natural.
Dalam bidang kosmologi juga terjadi hal yang sama. Hingga pertengahan abad 20, manusia masih belum mengetahui bagaimana alam semesta ini tercipta. Saat itu orang masih mengandalkan ajaran agama untuk menjawab ketidaktahuan mereka, dan tentunya sebagai jawabannya adalah adanya peran Tuhan sebagai pencipta.
Jadi, kalau diibaratkan, maka alam semesta ini bagaikan sebuah dinding puzzle yang besar, dimana pada mulanya sebagian besar tempatnya masih kosong, belum diisi dengan kepingan puzzle. Untuk mendapatkan satu keping puzzle yang bisa menutup dinding, dibutuhkan usaha yang besar dari manusia. Manusia butuh kecerdasan dan sumber daya yang cukup untuk menemukan keping demi keping puzzle tersebut.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dinding tersebut sudah diisi oleh kepingan-kepingan puzzle, dan dan menyisakan bidang kosong atau celah yang sedikit?
Fakta menunjukan, meskipun sudah banyak sekali keping-keping puzzle yang dihasilkan oleh usaha manusia, namun ternyata ruang kosong masih luas. Bahkan, celah atau ruang kosong yang ada semakin rumit dan meluas. Sepertinya di balik ruang kosong tersebut terdapat ruang kosong yang lain. Ada misteri lain yang bakal muncul di balik misteri yang ada.
Kasus yang teranyar adalah pencarian Theory of Everything, suatu teori yang digadang-gadang akan mampu menjawab segala pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa alam semesta ini ada. Sebuah teori yang diharapkan bisa menggabungkan teori mekanika kuantum yang menjelaskan 'jagat renik' dengan materi sub atomiknya, dengan teori gravitasi yang menjelaskan 'jagat besar' dengan benda besarnya.
Akan tetapi hingga kini Theory of Everything tersebut masih sebatas teori. Belum ada yang mampu mewujudkan secara faktual dan eksperimental teori tersebut. Memang ada beberapa ilmuwan yang menyodorkan String Theory sebagai jawaban. Namun, teori yang mendasarkan pada asumsi bahwa partikel elementer alam semesta ini berupa dan berperilaku seperti dawai yang bergetar, masih juga diragukan kesahihannya. Masih belum mampu menjadi sebuah keping puzzle yang menutup dinding secara tuntas.
Justru Teori Dawai atau String Theory ini malah memunculkan implikasi adanya alam semesta lebih dari satu, atau multi universe. Satu alam semesta saja masih belum tuntas untuk dipahami, apalagi multi alam semesta. Sepertinya alam semesta masih akan menyisakan celah-celah misteri yang makin kompleks dan rumit.
Akan tetapi, keingintahuan manusia untuk terus menguak misteri demi misteri tentang alam semesta semakin besar dan menggelora, meski tidak semua orang punya tujuan, keinginan, prioritas dan hasrat yang sama untuk menguak misteri tersebut.