Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Algoritma, Membuat Ahok Semakin Dimusuhi

3 Februari 2017   15:43 Diperbarui: 4 Februari 2017   10:39 9347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, gerakan masyarakat yang menolak Ahok semakin membesar, terlebih setelah sikap kasarnya kepada Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin di persidangan beberapa hari lalu. Ahok semakin disudutkan. Dia yang sudah menjadi tersangka penista agama, sekarang bertambah menjadi penghina ulama NU. Meskipun Ahok sudah minta maaf dan dimaafkan, namun tetap saja masih banyak orang yang tidak suka dan marah padanya.

Di balik kemarahan banyak orang terhadap Ahok dengan berbagai alasan, sebenarnya sikap mereka tidak lepas dari peran algoritma yang bekerja mempengaruhinya. Algoritma, atau dulu disebut Aljabar, pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi, dalam bukunya al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa'l-muqabala, atau "Buku rangkuman untuk perhitungan dengan menyelesaikan dan menyeimbangkan”.

Peran Algoritma Dalam Kehidupan Sehari-hari.

Arti sederhana dari algoritma adalah susunan langkah-langkah logis dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mencapai tujuan tertentu. Pada era internet saat ini, algoritma secara otomatis dan terus menerus dijalankan oleh sebuah program. Sejak dari kapan harus mulai, arah aliran program, input dan output data, proses, decision, hingga pengahiran, untuk kemudian diulang kembali.

Yang dimaksud program adalah rangkaian intruksi yang ditulis untuk melakukan fungsi spesifik pada komputer. Sedangkan metode dan tahapan sistematis dalam program adalah algoritma.

Dengan algoritma, manusia dimudahkan untuk melakukan segala aktivitasnya. Algoritma yang terpasang pada Maps, bisa memberi tahu jalan tercepat untuk pulang ke rumah. Kita juga mudah mencari segala macam informasi dengan Search Engine, hanya dengan memasukan beberapa input kata saja.

Dalam dunia marketing, algoritma dipakai untuk menyasar customer secara tepat. Sering kita menerima bermacam penawaran masuk ke email kita. Gadget kita mendapat kiriman iklan promo yang rasa-rasanya pas dengan yang diinginkan. Saat membuka sebuah halaman berita atau artikel pada sebuah situs, muncul iklan yang terasa cocok dan bahkan kita pernah melakukan transaksi.

Mengapa bisa terjadi? Hal ini terjadi karena, sebelumnya kita telah melakukan aktivitas-aktivitas digital yang terhubung dengan internet. Kita pernah menginput data diri, mulai dari nama, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, hoby, alamat email, nomor handphone dan lain-lain, sehingga terekam secara digital di dunia maya.

Kebiasaan dalam beraktivitas di media sosial dan kebiasaan browsing hal-hal tertentu, serta aktivitas belanja dengan menggunakan kartu kredit adalah merupakan input data bagi algoritma untuk memprofiling diri kita. Selanjutnya, kita akan mendapatkan kiriman-kiriman berupa penawaran iklan, rujukan artikel, berita, fans page, aplikasi dan lain-lain, yang sesuai dengan keinginan.

Namun, tanpa disadari algoritma juga berpotensi mempersempit cara berpikir kita (BBC : Algorithms are making us small-minded, by Sydney Flinkelstein). Ini disebabkan kita terus disodori hal-hal yang disukai saja. Dalam jangka panjang, kita hanya akan percaya pada ‘dunia’ kita saja. Informasi yang datang dari luar akan langsung ditolak, karena kita sudah terkungkung rapat dan terlena di zona nyaman kita sendiri.

Algoritma Dalam Kasus Ahok

Kembali pada kasus Ahok. Awalnya, meskipun tidak suka terhadap Ahok yang statusnya double minoritas (suku dan agama), seseorang bisa saja menerimanya sebagai Gubernur DKI.  Ini sebagai bentuk konsekwensi berdemokrasi.

Namun, seiring berjalannya waktu, kearoganan Ahok dalam memerintah menjadi input awal bagi orang tersebut untuk memutuskan ketidaksetujuannya pada Ahok. Orang tersebut kemudian aktif mencari dan membaca informasi tentang kejelekan dan ketidakpantasan Ahok sebagai Gubernur.

Di sinilah algoritma berperan. Setiap informasi digital yang dibaca, setiap status, like, share dan tweet di media sosial, direspon oleh algoritma dengan meyodorkan kembali informasi yang mendukung pola pikirnya. Akan muncul artikel, berita atau tweet dari tokoh tertentu yang menguatkan ketidaksukaannya kepada Ahok.

Di samping itu, Ahok sendiri dengan sikap dan ucapannya, juga ikut berperan menyuplai algoritma dengan data negatif. Berita Ahok menista agama, yang kemudian diperkuat dengan pendapat MUI dan ancamannya terhadap KH Ma’ruf Amin, adalah data yang oleh algoritma dialirkan ke orang-orang yang tidak suka dan berpotensi menguatkan ketidaksukaannya pada Ahok. Mindset bahwa Ahok seorang yang jahat, penista agama dan pantas dimusuhi akan semakin kuat tertanam.

Selanjutnya, orang tersebut akan digiring untuk dipertemukan dengan fans page atau account medsos yang sehaluan guna saling menguatkan. Pada akhirnya, ketika emosi sudah terlibat terlalu dalam, orang yang awalnya hanya tidak suka, namun masih menerima Ahok sebagai Gubernur, tergiring oleh algoritma dan berubah menjadi membenci. Ahok dipandang sebagai musuh Islam yang pantas dihukum.

Meskipun demikian, banyak juga orang yang terlepas dari alur algoritma yang menyudutkan Ahok tersebut dan tidak ikut-ikutan membenci. Hal ini disebabkan memang banyak juga berita-berita tentang kebaikan Ahok, yang bisa dijadikan second opinion, sebelum memutuskan membenci, netral atau menyukai Ahok. Anda termasuk yang mana??

Cara Bijak Agar Tidak Terjerat Algoritma

Algoritma, selain memudahkan aktivitas sehari-hari, namun bila tidak hati-hati, bisa membuat pola pikir menjadi sempit. Bahkan, di masa mendatang diprediksi bisa mempertajam perbedaan, sekaligus  menyekat masyarakat dalam kelompok-kelompok.

Dalam aktivitas digital, setiap respon terhadap sebuah berita atau status di medsos, akan diartikan pilihan decision dari kita oleh sebuah alur algoritma yang sedang berjalan. Selanjutnya, kita akan disodori data lain untuk menguatkannya. Semakin kita respon setuju, semakin banyak data  mengalir untuk menguatkan keyakinan kita, sehingga apabila emosi sudah terlibat, tanpa sadar akan terjebak dalam alur algoritma.

Untuk itu, saat emosi tinggi, kita perlu mengurangi aktivitas digital, terutama media sosial, agar tidak terjebak dalam alur algoritma yang berpotensi mempersempit pola pikir. Kita harus selalu berpikiran terbuka, dengan mengedepankan logika dan nurani untuk menilai kebenaran dan manfaat suatu informasi sebelum menanggapi.

Akhirnya, semoga bisa bijak dalam berinteraksi di dunia digital, agar terhindar dari potensi dikerucutkan oleh algoritma, yang bisa mempersempit ‘dunia’ kita sendiri. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun