Kembali pada kasus Ahok. Awalnya, meskipun tidak suka terhadap Ahok yang statusnya double minoritas (suku dan agama), seseorang bisa saja menerimanya sebagai Gubernur DKI. Â Ini sebagai bentuk konsekwensi berdemokrasi.
Namun, seiring berjalannya waktu, kearoganan Ahok dalam memerintah menjadi input awal bagi orang tersebut untuk memutuskan ketidaksetujuannya pada Ahok. Orang tersebut kemudian aktif mencari dan membaca informasi tentang kejelekan dan ketidakpantasan Ahok sebagai Gubernur.
Di sinilah algoritma berperan. Setiap informasi digital yang dibaca, setiap status, like, share dan tweet di media sosial, direspon oleh algoritma dengan meyodorkan kembali informasi yang mendukung pola pikirnya. Akan muncul artikel, berita atau tweet dari tokoh tertentu yang menguatkan ketidaksukaannya kepada Ahok.
Di samping itu, Ahok sendiri dengan sikap dan ucapannya, juga ikut berperan menyuplai algoritma dengan data negatif. Berita Ahok menista agama, yang kemudian diperkuat dengan pendapat MUI dan ancamannya terhadap KH Ma’ruf Amin, adalah data yang oleh algoritma dialirkan ke orang-orang yang tidak suka dan berpotensi menguatkan ketidaksukaannya pada Ahok. Mindset bahwa Ahok seorang yang jahat, penista agama dan pantas dimusuhi akan semakin kuat tertanam.
Selanjutnya, orang tersebut akan digiring untuk dipertemukan dengan fans page atau account medsos yang sehaluan guna saling menguatkan. Pada akhirnya, ketika emosi sudah terlibat terlalu dalam, orang yang awalnya hanya tidak suka, namun masih menerima Ahok sebagai Gubernur, tergiring oleh algoritma dan berubah menjadi membenci. Ahok dipandang sebagai musuh Islam yang pantas dihukum.
Meskipun demikian, banyak juga orang yang terlepas dari alur algoritma yang menyudutkan Ahok tersebut dan tidak ikut-ikutan membenci. Hal ini disebabkan memang banyak juga berita-berita tentang kebaikan Ahok, yang bisa dijadikan second opinion, sebelum memutuskan membenci, netral atau menyukai Ahok. Anda termasuk yang mana??
Cara Bijak Agar Tidak Terjerat Algoritma
Algoritma, selain memudahkan aktivitas sehari-hari, namun bila tidak hati-hati, bisa membuat pola pikir menjadi sempit. Bahkan, di masa mendatang diprediksi bisa mempertajam perbedaan, sekaligus  menyekat masyarakat dalam kelompok-kelompok.
Dalam aktivitas digital, setiap respon terhadap sebuah berita atau status di medsos, akan diartikan pilihan decision dari kita oleh sebuah alur algoritma yang sedang berjalan. Selanjutnya, kita akan disodori data lain untuk menguatkannya. Semakin kita respon setuju, semakin banyak data  mengalir untuk menguatkan keyakinan kita, sehingga apabila emosi sudah terlibat, tanpa sadar akan terjebak dalam alur algoritma.
Untuk itu, saat emosi tinggi, kita perlu mengurangi aktivitas digital, terutama media sosial, agar tidak terjebak dalam alur algoritma yang berpotensi mempersempit pola pikir. Kita harus selalu berpikiran terbuka, dengan mengedepankan logika dan nurani untuk menilai kebenaran dan manfaat suatu informasi sebelum menanggapi.
Akhirnya, semoga bisa bijak dalam berinteraksi di dunia digital, agar terhindar dari potensi dikerucutkan oleh algoritma, yang bisa mempersempit ‘dunia’ kita sendiri. Sekian.