Ketika aku kelaparan; tidak kau perhatikan. Aku harus menahan seribu tekanan dalam perut dan tekanan perasaan; kenapa sahabatku mementingkan rokoknya daripada mentraktirku makanan.
Ketika aku kesakitan; tidak kau perhatikan. Aku harus menahan rasa sakit kepala hebat yang menyerang. Aku harus tetap siuman; dan berlari ke rumah tanpa ada satupun pertolongan. Dan aku menamakannya kemandirian.
Ketika aku terdesak dalam suatu urusan; tertindas dalam suatu perseturuan, terancam oleh suatu kesalahan. Tak ada satupun kata-kata pembelaan. Dan kau diam seperti bagaimana seharusnya. Aku menamakanya kesetiaan.
Lalu untuk apa lagi aku berbuat sesuatu yang bisa membuatmu ingat padaku; sedang tak satu persen pun pertolonganku kau sebut bala bantuan. Dan kau menjunjung tinggi rasa simpati.
Aku masih bisa bertahan. Mungkin inilah caranya agar aku mempunyai teman. Mungkin ini lah teman yang kutemukan. Aku harus menghormatinya.
Aku harus menghormati cara berpikirnya, bersekutu dengan musuh-musuhku, menjadikanku bahan tontonan dan menghendakiku menjadi alas kaki orang. Aku menghormati bagaimana caramu memperlakukan teman.
Mungkin aku yang berlebihan menganggapmu dewa penolong; hingga aku dibutakan bagaimana caraku menyerang. Untuk alasan inilah aku mau mempersiapkan buku catatan agar suatu ketika kau ingat dan tak akan menyesal melepaskan seseorang yang jadi bayangan.
Dan jarum jam kembali berdetak ke arah semula.
Mungkin aku tak lagi sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H