Mohon tunggu...
agus sutiadi
agus sutiadi Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Kebijakan Publik, Praktisi Good Governance

Praktisi Good Governance di bidang perencanaan, SDM dan pembiayaan pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lebaran Ganjil Genap

21 Februari 2023   07:50 Diperbarui: 21 Februari 2023   08:00 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap menjelang puasa, ada beban berat yang harus ditanggung oleh umat Islam Indonesia. Bukan menahan lapar dan haus, atau inflasi yang kian melonjak, namun lebih mendasar dari itu,  yaitu kepastian kapan puasa itu dimulai? Jelas, bahwa puasa bulan Ramadhan. Masalahnya kapan Ramadhan itu dimulai.

Penentuan bulan (month) baru dalam Islam sebenarnya sudah sangat jelas. Yaitu apabila bulan (moon) sabit telah "terlihat" di ufuk barat.  Meskipun sudah sangat jelas, bukan berarti mudah. 

Para ahli kemudian memperdebatkan kriteria "terlihat". Perdebatan ini melahirkan ukuran-ukuran baru mengenai kata "terlihat". Dengan ukuran "terlihat" yang berbeda, dapat dipahami jika terjadi perbedaan dalam menentukan waktu mulai berpuasa maupun lebaran. 

Pemerintah memiliki otoritas menetapkan penanggalan seperti lebaran. Faktanya, selama lebih dari 20 tahun terakhir, Pemerintah menetapkan lebaran, selalu sama dengan kalender, dengan jumlah hari puasa 30 hari. Padahal, sejatinya puasa itu 29 hari, dan digenapkan 30 hari apabila bulan (moon) belum terlihat. 

Berdasar fakta ini, ada anggapan seolah-olah Pemerintah hanya menjadi "pembenar" saja atas ketetapan yang sudah dicetak dalam kalender. Jadi, yang menetapkan awal puasa maupun  Lebaran adalah percetakan kalender, lalu Pemerintah  menjustifikasinya. Alasan Pemerintah sebenarnya juga masuk akal, sebab lebaran berbeda dengan kalender akan banyak mudhorotnya seperti kekacauan dalam acara kenegaraan.

Di saat sebagian masyarakat bingung karena perbedaan ini, sebagian lainnya menganggap perbedaan ini sebagai rahmat. Ada keberkahan yang patut disyukuri. Sejauh ini, perbedaan tidak menyebabkan perpecahan. Masyarakat terlatih untuk menghargai perbedaan, dan didorong untuk mempelajari ilmu serta teori pengambilan keputusan.

Berkah lainnya, bagi pengguna lebaran H-1 akan mendapati lalulintas yang lengang saat  mudik di hari H. Bagi pasangan suami istri yang keluarga besarnya berlebaran di waktu berbeda, dapat bersilaturahmi pada hari lebaran pertama di hari yang berbeda. Bagi para khotib juga terbuka lebar kesempatan untuk mendapat salam templek dua kali.

Ini adalah keberkahan bagi negeri ini, yang tidak didapatkan di negeri lain. Untuk itu, dari pada berdebat tentang masalah ukuran yang tak kan pernah berakhir, sebaiknya kita mengambil rahmatnya saja. Caranya, Pemerintah  menetapkan keputusan lebaran (H)  dan secara resmi mempersilahkan jika ada fihak yang akan lebaran terlebih dahulu (H-1).  

Jadi kedua lebaran itu benar.  Semacam lebaran ganjil genap. Niatnya adalah untuk menhilangkan mudhorot. Biarkan masyarakat dengan segala pengetahuan yang dimiliki memilih lebaran masing masing.

Dunia ini ada yang mengatur tak perlu repot turut mengaturnya, Begitu pula dengan perbedaan yang sama-sama benar.  Sikapi dengan santai dan gembira.  Tidak perlu ada ketegangan dan kekhawatiran, sehingga semua muslim Indonesia bisa menjadi wali yang tidak ada kekhawatiran dan tidak pernah bersedih hati.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun