Mohon tunggu...
Agus Sukoco
Agus Sukoco Mohon Tunggu... -

Pria kelahiran Purbalingga, 3 September 1976 memulai keaktifannya di masyarakat di organisasi kepemudaan di Purbalingga. Sejak muda menyukai buku-buku bertema sufiistik, sosial dan politik. Hingga saat ini menggiati Forum Maiyah Juguran Syafaat di Purwokerto. Beberapa tulisannya dimuat di koran lokal Banyumas. Bersama komunitasnya merintis mini album berjudul ‘Tahta Cinta’, sebuah karya musik independen yang bercerita tentang perjalanan hidup. Aktivitas kesehariannya menjadi staf di salah satu perusahaan daerah di Purbalingga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cita-Cita dan Air Mata

29 Maret 2016   08:22 Diperbarui: 29 Maret 2016   08:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KALAU ANAK KECIL ditanya tentang cita-citanya, dengan gagah dan percaya diri ia akan mengatakan ingin jadi presiden, minimal pilot atau dokter. Siapapun dan anak siapapun memiliki keyakinan yang sama. Jawaban jujur anak kecil yang belum mengerti tentang kasunyatan sosial yang cenderung bengis dan tidak sehat. Anak tukang becak sanggup se-optimis anak menteri sekalipun dalam bercita-cita. Tetapi ketika usianya mulai remaja dan akalnya mulai bisa memahami realitas hidup, anak tukang becak akan berubah drastis soal cita-cita. Bahkan mungkin malu jika harus memiliki cita-cita.

Cita-cita anak kecil itu ibarat benih yang membutuhkan media untuk tumbuh dan menancabkan akarnya. Benih tidak tumbuh di atas angin, ia memerlukan tanah penyedia energi hidup. Begitu benih-benih tidak disediakan media tumbuh, matilah harapan tunas menyongsong matahari.

Hari ini anak saya masih dengan gagah menggenggam cita-cita sedemikian tinggi. Sebagai orang tua hati saya sedang cemas dan berdebar-debar menemani perjalanannya menjadi remaja. Saya tidak bisa membayangkan anak saya harus terpaksa menanggalkan cita-cita di pojok kenangan masa kecilnya setelah ia paham ternyata orang tuanya bukan siapa-siapa.

Untuk soal yang menyangkut anak, saya mungkin terlalu over romantik sehingga air mata kerap menjadi sahabat di saat-saat sepi ketika teringat wajah anak lelaki satu-satunya. Bertahanlah dengan cita-citamu Nak...! nyawa babakmu ini akan saya sedekahkan untuk masa depanmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun