Kajian Ontologi dan Epistemologi: RTRW sebagai Dasar Administrasi Pertanahan dan Pemberian Hak atas Tanah Menurut Perpu 2/2022Â
oleh: Agus Suhariono
email: agus.suhariono@gmail.com
1. Kajian Ontologi: Hakikat RTRW sebagai Dasar Administrasi Pertanahan
Ontologi dalam konteks hukum mengkaji hakikat suatu norma sebagai entitas yang mengikat dan menentukan realitas yuridis. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dalam Perpu 2/2022 dinyatakan sebagai "dasar untuk kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan administrasi pertanahan". Dari perspektif ontologis, ketentuan ini menempatkan RTRW sebagai kerangka normatif yang mengikat antara perencanaan spasial dan pengaturan hak atas tanah.Â
Alasan ontologis RTRW sebagai dasar administrasi pertanahan:Â
a. Integrasi Ruang dan Kepemilikan:Â
RTRW merupakan dokumen perencanaan yang mengatur zona fungsi ruang (permukiman, pertanian, konservasi, dll.) secara spasial. Dalam ontologi hukum, integrasi ini menciptakan kesatuan antara hak atas tanah (sebagai objek hukum) dan fungsi ruang (sebatas wilayah geografis). Tanpa RTRW, hak atas tanah tidak memiliki acuan legal untuk menilai kesesuaian pemanfaatan.Â
b. Kepastian Hukum atas Alokasi Sumber Daya:Â
RTRW memetakan batas-batas legal pemanfaatan tanah, sehingga administrasi pertanahan (seperti penerbitan sertifikat atau izin lokasi) harus selaras dengan zonasi yang ditetapkan. Misalnya, tanah di zona lindung tidak dapat dialihkan menjadi hak guna bangun (HGB) untuk industri.Â
c. Eksistensi RTRW sebagai Norma Hierarkis:Â
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, RTRW kabupaten merupakan derivasi dari RTRW Nasional dan Provinsi (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). Dengan demikian, RTRW kabupaten berfungsi sebagai instrumen operasional yang mengikat administrasi pertanahan pada tingkat lokal.Â
2. Kajian Epistemologi: Dasar Pengetahuan dan Rasionalitas HukumÂ
Epistemologi hukum bertujuan mengungkap sumber pengetahuan dan rasionalitas yang melandasi ketentuan RTRW sebagai dasar administrasi pertanahan. Perpu 2/2022 tidak hanya mengadopsi prinsip teknis perencanaan ruang, tetapi juga doktrin hukum agraria dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.Â
Alasan epistemologis:Â
a. Doktrin Fungsi Sosial Hak atas Tanah (Pasal 6 UUPA 1960):Â
Hak atas tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, termasuk kesesuaian ruang. RTRW menjadi instrumen untuk memastikan pemberian hak atas tanah (misalnya, Hak Milik atau HGB) tidak melanggar fungsi sosial tanah, seperti perlindungan lingkungan atau ketahanan pangan.Â
b. Prinsip Keterpaduan Perencanaan dan Implementasi:Â
Kajian akademik oleh Boedi Harsono (2018) dalam Hukum Agraria Indonesia menegaskan bahwa administrasi pertanahan yang terpisah dari perencanaan ruang berpotensi menimbulkan konflik spasial. RTRW berfungsi sebagai basis epistemik untuk menghindari tumpang tindih kebijakan, misalnya antara izin tambang dan kawasan hutan lindung.Â
c. Rujukan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs):Â
SDGs 2030 (Goal 11: Sustainable Cities and Communities) menekankan pentingnya perencanaan tata ruang inklusif. Perpu 2/2022 menginternalisasi prinsip ini dengan menjadikan RTRW sebagai acuan administrasi pertanahan, memastikan pemanfaatan tanah selaras dengan pembangunan berkelanjutan.Â
d. Kajian Ekonomi Politik:Â
Penelitian Fitzpatrick (2006) dalam Land, Custom, and the State menunjukkan bahwa ketiadaan sinkronisasi antara tata ruang dan administrasi pertanahan memicu spekulasi dan monopoli lahan. RTRW dalam Perpu 2/2022 bertindak sebagai alat kontrol epistemik untuk mencegah distorsi pasar tanah.Â
3. Implikasi Hukum: RTRW sebagai Dasar Pemberian Hak atas TanahÂ
Berdasarkan kajian ontologi dan epistemologi di atas, RTRW kabupaten dapat ditafsirkan sebagai dasar pemberian hak atas tanah karena:Â
- Syarat Kesesuaian Fungsi: Permohonan hak atas tanah (Hak Milik, HGB, Hak Pakai) wajib memenuhi ketentuan zonasi RTRW (misalnya, tanah di zona pertanian tidak dapat dihakimiliki untuk permukiman).Â
- Legitimasi Administratif: Proses pendaftaran tanah (berdasarkan PP 18/2021) harus disertai rekomendasi kesesuaian RTRW dari instansi penataan ruang.Â
- Pencegahan Konflik: RTRW menjadi acuan untuk menyelesaikan sengketa tanah yang timbul akibat ketidaksesuaian pemanfaatan ruang.Â
4. Kesimpulan:
Kajian ini menegaskan bahwa RTRW kabupaten tidak hanya sebagai dokumen teknis, tetapi sebagai landasan filosofis-hukum yang mengintegrasikan aspek spasial, ekologis, dan sosial-ekonomi dalam administrasi pertanahan.
Daftar ReferensiÂ
- Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.Â
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).Â
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Harsono, B. (2018). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. hlm. 215-220.Â
- Fitzpatrick, D. (2006). Land, Custom, and the State in Post-Suharto Indonesia. Journal of Legal Pluralism, 52(1), 35-60. DOI: 10.1080/07329113.2006.10756588.Â
- United Nations. (2015). Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Diakses dari [https://sdgs.un.org/goals](https://sdgs.un.org/goals).Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI