Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi konvensi PBB untuk hak-hak anak. Konvensi ini mengatur hal apa saja yang harus dilakukan negara agar tiap-tiap anak dapat tumbuh sesehat mungkin, bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya, dan diperlakukan dengan adil. Tidak perlu waktu lama, pada 26 Januari 1990 Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak. Selanjutnya, Presiden Soeharto mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum positif dengan meratifikasinya pada 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak (Unicef Indonesia, 2018).
Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28B Ayat (2) juga menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kini telah diubah menjadi Undang-Undang 35 Tahun 2014, yang mengamanatkan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak semua anak (to Fulfill), melindungi semua anak (to Protect) dan menghormati pandangan anak (to Respect). Hak dasar anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara yang meliputi; hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi. Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan individu yang hidup dalam wilayah publik sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sebagai amanah Tuhan, dan sebagai generasi penerus bangsa (Hani Sholihah, 2018). Selanjutnya Pasal 20 menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkepentingan pada kualitas anak, oleh karena itu pemerintah dibebani kewajiban untuk mendayagunakan seluruh sumberdayanya untuk melindungi anak dan hak-haknya. Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa tanggung jawab keluarga adalah mendukung peran orang tua dalam pemenuhan hak dan perlindungannya, dan tanggungjawab orang tua memberi dukungan hidup dan tumbuh kembang anak. Sementara masyarakat juga harus ikut berpartisipasi dalam tanggungjawab orangtua dan kewajiban negara (Kementerian P3A RI, 2020).
Semangat pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga tertuang pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dijelaskan pada peraturan tersebut bahwa perlindungan khusus anak meliputi; a).Pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak lingkup nasional dan lintas Daerah provinsi. b).Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional. c).Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat nasional dan lintas Daerah provinsi. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021, pasal 2 menjelaskan bahwa tujuan perlindungan khusus bagi anak antara lain: a).Memberikan jaminan rasa aman bagi Anak yang memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK); b).Memberikan layanan yang dibutuhkan bagi AMPK; c).Mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak Anak (KementerianPPPA RI, 2020).
Berdasarkan Buku Profil Anak Indonesia 2022 yang dirilis KemenPPPA, jumlah anak Indonesia (usia 0-17 tahun) mencapai 29,15 % atau diperkirakan sebanyak 79.486.424 jiwa, yakni sepertiga dari total penduduk Indonesia tahun 2021. Jumlah tersebut disinyalir akan memegang peranan strategis pada 100 tahun Indonesia merdeka di tahun 2045. Pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 menekankan kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan menciptakan negara ramah anak serta memperkuat sistem keuangan pemerintah yang responsif terhadap pemenuhan hak-hak anak sesuai keragaman budaya dan kondisi geografis. Kerangka konsep pembangunan manusia dilakukan berlandaskan pada Tiga Pilar, yaitu: (i) Layanan Dasar dan Perlindungan Sosial, (ii) Produktivitas dan (iii) Pembangunan Karakter.
Upaya pemerintah dalam memenuhi hak anak masih menghadapi beberapa kendala. Dari sisi perlindungan dan pengasuhan, masih terdapat 11,58% anak usia 0-17 tahun yang tidak mendapat akta kelahiran dan sebanyak 28,42% bayi usia kurang dari 6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif (BPS, 2021). Sebanyak 3,81% anak usia 5-17 tahun tidak bersekolah lagi (Profil Anak Indonesia, 2021), dan sebanyak 4,67% anak tidak tinggal bersama kedua orangtua nya (Susenas, 2020). Selanjutnya dari sisi kesejahteraan anak menunjukkan sebanyak 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya (SNPHAR, 2021), dan angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi, yaitu mencapai 11,2% (Child Marriage Factsheet, 2020).
Data pada Kemenkumham (2020) juga menjelaskan bahwa terdapat 1.137 anak tinggal   di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan masih ada 707 anak tinggal di Lapas/Rutan, dan sebanyak 1 dari 3 anak merupakan korban cyberbullying (Child Protectlon OnIine Advocacy Brief, 2019). Selanjutnya data Kementerian Sosial RI (2021) menunjukkan bahwa sebanyak 191.696 anak yang berada dalam pengasuhan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) anak (Panti asuhan/Yayasan/Balai). Hasil Susenas-Modul Sosial Budaya dan Pendidikan/MSBP (2018) juga menunjukkan sebanyak 7,04% anak yang tinggal bersama ibu kandung saja dan sebanyak 1,27% anak yang tinggal bersama bapak kandung saja.
Strategi yang diambil pemerintah dalam pemenuhan hak anak antara lain; a).Penguatan regulasi dan penegakkan hukum, b).Penguatan efektivitas kelembagaan, c).Peningkatan pemahaman masyarakat, d).Penguatan koordinasi dan jejaring antar stakeholders, e).Penguatan upaya pencegahan dan penanganan berbagai tindak kekerasan, dan eksploitasi termasuk isu pekerja anak, dan penelantaran pada anak dan f).Peningkatan akses layanan dasar dan layanan dan rehabilitasi terpadu bagi anak.Â
- Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya, namun ada beberapa tantangan yang harus dihadapi tantangan, antara lain; a).Perempuan kepala keluarga yang bekerja berpotensi merubah pola asuh anak, dimana anak diasuh oleh pengasuh pengganti, b).Adanya anak - anak dalam LPKA, LKSA/panti anak membutuhkan pengasuh pengganti. c).Adanya stigma bahwa pengasuhan hanya menjadi tanggungjawab perempuan sehingga perempuan memiliki beban ganda dan d).Perkembangan zaman dan gaya hidup berpengaruh terhadap munculnya perilaku berisiko pada anak dan remaja.
Kedepan, untuk mewujudkan pemenuhan hak anak, pemerintah perlu melakukan penguatan sistem data melalui pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sehingga para pemangku kepentingan mempunyai dasar dalam menentukan sasaran intervensi bagi keluarga rentan. Berikutnya pemerintah perlu melakukan kajian dan riset guna mengidentifikasi permasalahan dan menemukan best practices, sehingga intervensi yang dilaksanakan menjadi terarah dan terukur. Dan yang terakhir, diperlukan strategi penguatan yang komprehensif dan saling melengkapi dari hulu ke hilir, karena pemenuhan hak anak merupakan isu kompleks yang memiliki akar masalah dan target sasaran yang beragam. Maka. Semua kebijakan ini diharapkan dapat mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H