Dalam beberapa hari ini jenjang Pendidikan SMA dan SMK tengah mengadakan ujian. Ujian sebagai akhir perjalanan peserta didik selama hampir tiga tahun menjalani proses pembelajaran. Ujian ini dianggap sebagai ujian atas pencapaian selama ini mereka menempuh Pendidikan di sekolah masing-masing.
Namun pemandangan yang terjadi jauh berbeda dengan sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu negara masih menggunakan Ujian Nasional atau entah apapun namanya untuk menentukan seorang peserta didik dinyatakan lulus dari jenjang Pendidikan SMA atau SMK.
Suasana yang tersaji di ruang ujian sangat jauh berbeda. Tidak tampak sama sekali anak tertekan dengan soal yang tengah mereka hadapi. Bahkan sebagian lagi terkantuk-kantuk menghadapi lembaran soal yang ada di hadapannya.
Tampak tidak ada 'greget' sama sekali. Ujian akhir yang seharusnya menjadi tahap akhir proses pembelajaran yang mereka jalani, dipandang biasa saja. Tidak ada upaya untuk mencoba berpikir keras menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.
Giliran ketika hasil pekerjaan mereka diperiksa para guru, hasilnya sangat jauh dari harapan. Nilai tinggi yang seharusnya mereka dapatkan, jarang ditemukan. Yang ada adalah nilai-nilai dalam kategori menengah ke bawah.
Padahal soal yang disajikan dibuat oleh guru mereka sendiri. Soal yang dibuat pasti telah disesuaikan dengan materi yang diajarkan. Dan mungkin juga mereka telah mendapat kisi-kisi dari guru bersangkutan.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Nilai-nilai yang mereka dapatkan sama sekali tidak mencerminkan perjalanan mereka selama ini menerima berbagai materi pelajaran dari para guru.
Saat guru memberitahu nilai yang mereka peroleh jelek, tidak ada rasa penyesalan dari mereka. Mereka menanggapinya dengan santai, barangkali keyakinan pasti lulus telah terpatri di hati mereka.
Gambaran inilah yang kini terpampang di dunia Pendidikan tanah air. Ujian akhir tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, mereka anggap sebagai formalitas saja. Buktinya nilai berapa pun yang diterima peserta didik tetap lulus.
Dalam kondisi semacam ini, para guru hanya dapat mengelus dada. Mereka tidak punya lagi alat untuk memaksa peserta didiknya untuk bersungguh-sungguh dalam menghadapi ujian. Memberikan gambaran tentang masa depan yang akan  mereka hadapi pun, tidak banyak ada gunanya.