Kasus bullying di Cilacap, masih mengisi sebagian ruang dengar masyarakat. Kisah Mario Dandy versi lain, seakan diputar ulang. Saat 'sang jagoan' dengan gagahnya menghajar korban, sekaligus diakhiri dengan sebuah selebrasi.
Kasus ini tak urung menimbulkan keprihatinan mendalam bagi semua pihak. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang luhur, tempat untuk menata perilaku siswa agar mempunyai pribadi luhur, tidak terbukti.
Semua pihak pun langsung saling tuding. Sebagian menyalahkan sekolah sebagai pihak yang gagal menjalankan fungsinya. Lembaga pendidikan yang dipercaya untuk membentuk perilaku luhur, ternyata tidak becus.
Menyalahkan sekolah tentu saja boleh-boleh saja. Namun perlu diingat bahwa ada regulasi di atasnya yang mengatur operasional sekolah tersebut.
Beban Belajar yang Sangat Berat
Salah satu regulasi yang ada adalah jumlah mata pelajaran yang begitu tambun di sekolah-sekolah Indonesia. Diakui atau tidak, kenyataan itu yang ada. Janji beberapa kurikulum yang ingin merampingkan mata pelajaran, pada akhirnya omong kosong.
Secara nalar, sangat sulit membayangkan seorang siswa yang dipaksa menelan 15-18 mata pelajaran dalam satu minggu. Seorang siswa diharuskan mahir di semua mata pelajaran. Bahkan saat Kurikulum 2013 masih berlaku, terdapat Program Lintas Minat, di mana seorang siswa diwajibkan mengambil mata pelajaran dari program lain.
Ironisnya di beberapa sekolah, pemilihan program pelajaran itu sudah diarahkan dengan alasan tertentu. Akibatnya ada beberapa sekolah yang mengharuskan siswa IPS untuk mengikuti pelajaran eksakta, seperti Fisika atau Kimia.
Jumlah mata pelajaran yang demikian padat, mulai dari paling remeh hingga sulit, menjadi beban tersendiri. Sementara para guru pengampunya menjejali anak dengan materi maupun pekerjaan rumah yang luar biasa banyaknya.
Di sisi lain, para guru pun menargetkan sang siswa menguasai mata pelajaran yang mereka ampu secara maksimal. Jika terjadi kesalahan, dengan mudahnya mereka memarahi siswa tersebut.