Profesi guru, dahulu sekitar 30 - 40 tahun lalu bukan profesi idaman. Latar belakang ekonomi biasanya yang mendorong anak-anak saat itu masuk ke sekolah guru. Entah SPG, PGA, dan IKIP. Sehingga dapat dipastikan penghuni sekolah-sekolah tersebut homogen alias hampir sama semua. Mereka adalah anak-anak dari keluarga ekonomi bawah dan anak-anak desa atau pinggiran kota.
Jarang kita temukan anak-anak kota dari ekonomi menengah ke atas memilih sekolah ini. Pandangan mereka lebih jauh ke depan, kata orang visioner. Mereka memilih SMA, jenjang pendidikan yang lebih menjanjikan. Jenjang pendidikan yang menawarkan kesempatan menggapai masa depan lebih cerah. Melalui jalur SMA, pilihan masa depan jauh lebih terbuka. Berbeda dengan sekolah keguruan yang mau tidak mau hanya bisa mnelanjutkan ke IKIP.
Kondisi semacam inilah yang membuat sekolah guru maupun profesi guru tidak diminati. Bahkan ketika mereka terjun di masyarakat, gaji mereka yang kecil membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada saat itu gaji seorang guru dengan sopir atau pun kernet sangat jauh.
Kini zaman telah berubah. Profesi yang dulu 'diemohi' masyarakat, kini menjadi profesi yang dicari. Tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik, Â menjadi salah satu penyebabnya. Ketika pemerintan membuka formasi CPNS Guru, dapat dipastikan peminatnya membludak, beberapa kali dari kuota yang ada. Sehingga dapat dipastikan persaingan pun sangat ketat.
Kondisi itu dirasakan juga pada beberapa perguruan tinggi yang 'mencetak' guru. Jika dahulu dipandang sebelah mata, kini kebanjiran peminat. Ketika aturan seorang guru tidak harus dari mereka yang lulusan program studi kependidikan, peminat pun makin bertambah. Banyak calon guru dari ilmu murni, berbondong-bondong menempuh Program Akta (sekarang PPG), sebagai persayaratan untuk menjadi guru. Setelah 1 atau 2 tahun menempuh kuliah, dan mengantongi Akta Mengajar, mereka pun menjadi guru. Padahal boleh jadi dahulu mereka tidak melirik profesi ini.
Perubahan yang begitu hebat itu harus diakui adalah adanya peningkatan kesejahteraan guru. Saat ini para guru menurut para ahli ekonomi menduduki posisi ekonomi kelas menengah. Artinya penghasilan mereka dari gaji dan tunjangan lain-lain, dianggap sebagai ukuran kemampuan ekonomi mereka.
Perubahan ini bagi sebagian guru mungkin menjadi hiburan saat dahulu mereka menyesal memilih profesi guru. Pendapatan yang terhitung lebih baik, seakan menjadi akhir indah dari 'penderitaan' mereka selama ini. Secara ekonomi, mereka mampu menyesuaikan diri dengan sekitarnya.
Lalu apakah hal ini yang membuat kita tidak menyesal menjadi guru? Seharusnya tidak. Rasa tidak menyesal kita bukan karena itu. Rasa tidak menyesal itu datang karena kita mampu membersamai anak-anak kita menemukan jalannya. Membimbing mereka mencapai masa depannya. Ilmu yang kita titipkan, Insyaallah, menjadi amal jarizah kita.
Selamat berjuang Teman Guru. Jalani semua dengan keikhlasan, agar semua indah pada waktunya.
Lembah Tidar, 2 Februari 2023