Memperdebatkan hal ini tentu saja akan melahirkan 2 blok yang berseberangan. Di satu sisi mengatakan bahwa yang penting bukan bentuk, tapi isi yang dikandung dalam tulisan itu. Sedangkan di sisi lain pasti mengatakan sebaliknya. Tata tulis yang baik dan benar akan menambah nilai tulisan.
Kalau ditanya lagi, mana yang benar? Jawabannya yah, tergantung pada siapa yang menjawab. Kalau dia orang yang perfeksionis, pasti menganggap itu penting banget. Bahkan dia akan merasa risih saat menemukan tulisan yang acak adul. Ujung-ujungnya dia enggan membaca tulisan itu. Padahal mungkin saja isinya bagus.
Dalam pengamatan saya pribadi, Kompasiana memang tidak pernah melakukan kurasi tata tulis. Setiap tulisan yang selesai dibuat oleh seorang kompasianer, begitu dikirim pasti akan langsung tayang. Kalau pun admin melakukan kurasi hanya berkaitan dengan tema atau konten yang dikhawatirkan menimbulkan kehebohan. Kalau enggak, yah tayang apa pun bentuknya.
Hal ini berbeda dengan sebagian media online. Mereka menerapkan standar ketat terkait dengan tata tulis maupun penggunaan gambar. Pelanggaran terhadap dua hal ini, akan berakibat dengan gagal tayang buat tulisan tersebut. Beberapa media bahkan memberikan alasan penolakan terhadap artikel tersebut, sehingga si penulis dapat memperbaikinya.
Dampak dari kurasi tata tulis ini, ternyata tampak pada tulisan-tulisan yang tayang di media tersebut. Kesan rapi sangat tampak pada setiap tulisan. Demikian juga ada kesan puas bagi penulis yang berhasil menembus tembok kurasi tersebut. Semakin sering tulisan mereka tayang, jaminan bahwa tata tulis mereka sudah keren.
Suasana berbeda tampak di Kompasiana. Ketiadaan kurasi, membuat semua orang dapat memposting tulisan tanpa takut ditolak. Sehingga penulis pemula pun berani menampilkan tulisan-tulisan mereka. Nah, di sinilah sisi kelebihan Kompasiana. Kompasiana menjadi ajang bagi siapa pun untuk mengasah bakat menulis mereka. Bukan tidak mungkin mereka-mereka ini nanti akan lahir menjadi penulis besar.
Situasi semacam ini sebenarnya sih oke-oke saja. Keleluasan para penulis mencurahkan apa yang ada di benaknya, tanpa harus berpikir tentang tata tulis membuat mereka bebas berekspresi. Namun akan lebih baik lagi jika secara pelan mulai melakukan peningkatan kualitas tulisan, terutama berkaitan dengan tata tulis. Hal ini terutama jika seorang penulis "memaksakan" diri membuat tulisan yang memuat dialog.
Penggunaan dialog dalam sebuah tulisan, terutama cerpen bukan hal yang gampang. Banyak aturan main di dalamnya. Jauh berbeda dengan tulisan dalam berbentuk kolom, yang cenderung longgar. Bagi orang-orang yang mengenal tata tulis dalam pembuatan cerpen, pasti akan merasa tidak nyaman saat membaca sebuah cerpen yang menabrak aturan tata tulis yang ada.
Nah, kalau dalam tulisan berbentuk kolom, adakah hal yang harus diperhatikan. Secara umum tidak banyak. Mungkin patut diperhatikan adalah kemampuan penulis bercerita secara baik. Dalam artian runtut dalam menyusun logika, dan penggunaan kalimat-kalimat yang efektif atau tidak terlalu panjang. Sebab kolom itu tak ubahnya kita sedang ngobrol atau bercerita pada orang lain. Penggunaan tanda baca titik dan koma sama dengan saat kita menghela nafas di tengah percakapan, dan menghentikan sebuah percakapan.
Tapi semua tentu butuh proses. Seorang penulis yang baik, sudah seharusnya mulai meningkatkan kualitas tulisannya. Baik dalam hal kualitas konten tulisan, atau pun tata tulis. Sebab bagaimanapun juga, sebuah tulisan dapat menjadi branding bagi penulisnya.