Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa kita, ada 2 peristiwa besar yang selalu rajin tampil ke permukaan pada saat-saat tertentu. Dan yang mengherankan, hingga saat ini belum ditemukan sisi yang terang benderang terhadap kedua peristiwa besar itu. Kedua peristiwa itu adalah pemberontakan G 30 S/ PKI pada tahun 1965, dan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966.
Kedua persitiwa besar tersebut, sebenarnya bukanlah sebuah bagian yang terpisah. Ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Di mana Supersemar, merupakan episode berikutnya pasca peristiwa pada tanggal 30 September 1965 itu. Dan satu catatan penting juga, Supersemar menjadi penanda berakhirnya era Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, berubah ke era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto.
Untuk membongkar peristiwa 30 September 1965 secara terang benderang, hingga saat ini masih belum terlaksana. Padahal di belahan bumi lain, sebuah peristiwa yang telah terjadi 30 tahun yang lalu, pasti akan terungkap secara terang benderang. Dokumen-dokumen yang semula rahasia, pada umur 30 tahun, bisa dibuka untuk mencari kebenaran.
Namun di negeri ini, meski sudah 57 tahun peristiwa itu terjadi, belum juga terlihat sisi terang benderangnya. Setiap tahun selalu terjadi perdebatan sengit antara kedua belah pihak yang mengklaim benar. Sehingga tidak heran begitu banyak teori tentang apa sebenarnya peristiwa 30 September 1965 itu. Keinginan  rekonsiliasi hanya bermain di tataran wacana saja.
Keluanya Supersemar sendiri, secara tidak langsung merupakan akumulasi kekesalan berbagai elemen masyarakat. Dan dalam hal ini diwakili oleh KAMI dan KAPPI yang getol melakukan unjuk rasa pada masa itu. Situasi negara yang semakin kacau, ditandai dengan meningkatnya tingkat inflasi hingga mencapai 600% menjadi salah satu bukti.
Demikian pula suasana politik, pasca peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965, begitu liar. Permintaan segala elemen masyarakat agar Presiden Soekarno melakukan tindakan tegas terhadap PKI, ternyata tidak ada realisasinya. Presiden Soekarno mencoba berkelit dengan berbagai cara, termasuk di antaranya dengan pembentukan Kabinet 100 menteri yang masih menyertakan para menteri yang terindikasi terlibat peristiwa 30 September 1965.
Pada puncak unjuk rasanya, KAMI dan KAPPI mengeluarkan tuntutan, yang kemudian dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Tuntutan yang disampaikan pada bulan Februari 1966 memuat tiga hal penting: 1) pembubaran PKI, 2) perombakan Kabinet Dwikora, dan 3) penurunan harga.
Tuntutan dari mahasiswa dan pelajar ini, ternyata tidak direspon oleh Presiden Soekarno. Sebagai gantinya Presiden Soekarno malah mengadakan Sidang Kabinet Dwikora pada tanggal 11 Maret 1966. Tak pelak tindakan ini memicu rangkaian unjuk rasa dari elemen mahasiswa dan pelajar. Selain itu, entah dari mana, di sekitar tempat sidang, muncul pasukan misterius yang tidak jelas asal kesatuannya. Hal ini mendorong Brigjen Sabur sebagai Komandan Cakrabirawa mengungsikan Presiden Soekarno ke Istana Bogor menggunakan helicopter.
Ternyata pengungsian Presiden Soekarno inilah yang selanjutnya menjadi hulu dari peristiwa keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar. Sebab setelah pengungsian Presiden Soekarno, Letjen Soeharto selaku Menteri Panglima AD mengirimkan 3 orang utusannya menemui Presiden Soekarno. Ketiga utusan ini adalah Mayjen Amir Mahmud, Mayjen M. Yusuf, dan Mayjen Basuki Rahmat.