Judul di atas tidak ada maksud apa-apa di dalamnya. Bukan pula bermaksud merendahkan profesi mulia ini. Karena bagaimanapu juga guru adalah profesi yang mulia sejak zaman dahulu. Bahkan sosok guru selalu menempati posisi terhormat di belahan dunia mana pun.
Istilah panggilan atau keterpaksaan saya ambil dari kondisi profesi ini pada tahun 1980-an ke bawah. Saat itu profesi guru bukanlah sebuah pilihan pekerjaan yang menjanjikan.Â
Profesi ini hanya menarik bagi golongan ekonomi menengah ke bawah. Kalaupun ada dari golongan ekonomi cukup mapan, biasanya datang dari masyarakat pedesaan.
Kondisi semacam inilah yang menyebabkan sekolah-sekolah guru pada saat itu lebih diminati oleh golongan ekonomi tersebut. Taruhlah SPG, SGO, maupun PGA.Â
Dapat dipastikan siswa-siswi yang ada di sekolah-sekolah tersebut adalah dari golongan tersebut di atas. Hal ini terjadi pula pada jenjang perguruan tinggi, seperti di IKIP.
Pilihan menjadi guru bagi golongan ekonomi tersebut, dianggap pilihan yang paling baik. Harapan yang diusung setiap orang tua pada saat itu sangat sederhana. Tiga tahun mereka menempuh pendidikan di jenjang sekolah tersebut, diakhiri dengan episode indah, diangkat menjadi PNS Guru.Â
Dengan pengangkatan ini, maka sedikit banyak beban ekonomi para orang tua terangkat. Kalaupun penghasilan mereka tidak seberapa, paling tidak si anak sudah mampu mendapatkan penghasilan itu sendiri.
Harapan indah yang begitu sederhana pada sebagian besar orang tua itu, ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang ada di benak anak-anak mereka.Â
Sebagian besar dari anak-anak itu tidak berminat untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut. Sebagian besar dari mereka masuk dengan keterpaksaan. Jika pun tidak, karena mereka sudah tidak punya pilihan lain, selain sekolah keguruan.
Apa yang ada di benak anak-anak pada saat itu tetap ingin menempuh pendidikan di jalur umum. Sekolah di SMA mereka anggap jauh lebih keren dibandingkan di sekolah keguruan.Â