Mungkin sebagian Kompasianer mulai tidak asing dengan wajah yang ada pada tulisan saya kali ini. Yah, sosok yang memakai blangkon, pakaian khas Jawa, dengan senyum khasnya. Namanya Pak Cipto Lelono, sepintas namanya seperti Pak Tjiptadi.
Saya angkat sosok ini dalam tulisan saya, bukannya tanpa sebab. Di mata saya paling tidak sosok ini termasuk the rising star. Bintang yang mulai bersinar. Apa indikatornya? Sederhana saja. Umurnya yang baru seumur jagung di Kompasiana, ternyata tidak mengurangi kehebatannya.
Coba tengok saja kumpulan tulisannya! Tulisan-tulisan yang dibuatnya, selalu ditongkrongi lebih dari seratus pembaca. Dan itu terjadi pada setiap tulisan. Bahkan pernah yang sampai menyentuh 4 digit. Isi tulisannya pun berbobot. Bagi seorang pendatang baru, jelas ini sebuah pencapaian luar biasa.
Nah, kenapa saya iri? Saya yakin pasti teman-teman Kompasianer tidak banyak yang tahu. Pak Cip ini adalah teman sekantor saya, sama-sama guru di SMA Negeri 5 Magelang. Bahkan duduknya pun bersebelahan dengan saya. Nah, kaget, kan?
Benar, kami duduk berdampingan. Saya mengajar mata pelajaran Sejarah, sedang Pak Cip mengajar Sosiologi, sama-sama ilmu sosial. Persamaan yang lain, kami sama-sama suka menuls.
Nah, dalam segi menulis inilah perbedaan kami. Saya lebih banyak bergelut dengan karya-karya fiksi. Di meja saya bertumpuk 20-an buku antologi hasil menulis bersama teman-teman guru se Indonesia. Dan saya sebagai kurator sekaligus editor.
Pak Cip, sebaliknya. Dia lebih banyak berkutat dengan PTK dan penilaian angka kredit serta tulisan-tulisan ilmiah populer. Pemikirannya luar biasa. Pengetahuan keagamaannya pun sangat dalam. Namun tulisan-tulisannya tidak pernah terpublikasikan. Di kalangan teman-teman, Pak Cip lebih dikenal sebagai pakar PTK dan PAK.
Kadang-kadang teman-teman menertawakan kami. Sebab kami ibarat rel kereta api. Berjalan seiring tapi nggak pernah bersatu. Kami punya passion masing-masing. Saya termasuk tipe orang yang maaf, alergi dengan karya tulis ilmiah. Sebaliknya juga dengan Pak Cip yang tidak familiar dengan karya tulis fiksi.
Pernah ada sebuah kejadian menarik. Pada suatu ketika Pak Cip mendapat proyek membuat novel. Pada awal penulisan, semua baik-baik saja. Namun ketika menyentuh tata tulis, Pak Cip kelabakan. Bagaimana tidak, tata tulis karya fiksi jelas sangat jauh berbeda dengan karya tulis ilmiah. Akhirnya saya pun membantunya untuk menyelesaikan novel itu.
Rupanya, momen ini menjadi penyatu kami. Melihat potensi yang ada pada Pak Cip, saya sarankan untuk gabung di Kompasiana. Bukannya apa-apa, Bagaimanapun sebuah karya yang penuh ide akan mubazir, jika tidak terpublikasikan.