Selalu ada narasi yang menarik saat seorang publik figur tersandung masalah hukum. Masalah yang mereka hadapi biasanya adalah masalah narkoba atau prostitusi. Narasi ini dibangun oleh pihak-pihak tertentu. Dalam narasi itu dibangun bahwa si pelaku adalah korban dalam peristiwa tersebut.
Narasi menempatkan sosok tersebut sebagai korban, tentu saja patut untuk dicermati. Sebab, narasi itu tidak hanya akan berhenti sampai di situ. Dengan narasi sebagai korban maka paling tidak ada 2 hal yang dapat kita lihat. Pertama, sosok tersebut sebagai pihak yang dirugikan. Sedangkan yang kedua, sosok tersebut pasif dalam peristiwa itu.
Dua hal ini secara nalar menyatakan bahwa sosok tersebut tidak bersalah. Atau dengan kata lain pihak yang dirugikan. Bangunan opini inilah yang dimunculkan saat kasus itu mencuat. Tentu saja muara dari bangunan  ini adalah melepaskan sosok tersebut dari jerat hukum atau setidak-tidaknya menringankan hukuman yang akan diterimanya.
Dalam penalaran dari kaca mata awam, penyebutan korban terasa menjadi sesuatu yang menarik. Menganggap diri sebagai pihak yang dirugikan, di sisi lain menuding pihak penjual sebagai pihak yang memanfaatkan si korban menjadi tanda tanya besar.
Sebagai contoh dalam kasus prostitusi on line yang pernah menimpa beberapa artis. Menumpahkan kesalahan pada pihak mucikari tentu saja sesuatu yang aneh. Pertama si artis yang menyatakan diri sebagai korban adalah perempuan dewasa, dan melakukan dalam keadaan sadar. Hal ini saja sudah bisa menggugurkan penyebutan diri sebagai korban.
Akan lain halnya jika si pelaku adalah anak di bawah umur. Prostitusi yang dijalaninya bisa jadi karena paksaan pihak lain, atau dengan kata lain dieksploitasi. Atau bisa juga peristiwa tersebut terjadi saat dia dalam keadaan tidak sadar akibat sesuatu, entah pengaruh narkoba atau minuman beralkohol. Dalam kasus ini status korban dapat saja kita sematkan.
Di sisi lain hukum ekonomi pun pasti berlaku. Relasi antar si artis dengan mucikari adalah relasi "bisnis". Di dalamnya ada hukum penawaran dan permintaan. Jika deal, kedua belah pihak setuju, maka transaksi pun terjadi. Dan semuanya dilakukan dalam keadaan sadar.
Demikian pula dalam kasus narkoba. Seseorang yang dengan sadar menikmatinya, maka tidak dapat dikatakan sebagai korban. Terkecuali dia anak di bawah umur yang mengkonsumsi tanpa tahu sebab dan akibatnya. Itu pun masih dapat dipertanyakan jika pemakaiannya hingga berulang-ulang.
Relasi yang terjadi antara penjual dan pembeli dalam kasus narkoba ini pun adalah relasi "bisnis". Relasi antara penjual dan pembeli, dan kembali semua dilakukannya secara sadar. Jika si pemakai sudah dalam tahap ketagihan, itu pun karena sebuah proses. Di mana si pemakai mengalami ketergantungan untuk mengkonsumis benda tersebut.
Hal-hal semacam inilah yang kadang mengusik alam sadar masyarakat awam. Penyebutan sebagai korban membuat kita mengerutkan dahi, apakah sudah pas sebutan itu, jika kenyataannya tidak seperti itu. karena disadari atau tidak langkah ini termasuk bagian dalam membangun opini public. Dan syukur-syukur akan berpengaruh dalam proses peradilan nanti.
Lepas dari pas atau tidak penyebutan status ini, hal ini memang yang harus dilakukan oleh pihak pembela. Bagaimanapun ini sebuah upaya. Permasalahan penyebutan status sebagai korban dalam permasalahan tersebut akan membuahkan hasil  atau tidak, pengadilanllah yang menentukan. Berbagai bukti dan kesaksian akan menjadi alat untuk menguji status tersebut.
Lembah Tidar, 10 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H