Setiap menjelang akhir semester, kalangan guru pasti sibuk dengan pencapaian KKM. KKM atau akronim dari Kriteria Ketuntasan Minimal adalah kriteria terendah yang harus dicapai oleh siswa dalam mencapai ketuntasan. Kesibukan para guru adalah dalam upaya mencapai kriteria tersebut terhadap siswa yang diajar.
Sejarah KKM berawal dari penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Sebuah inovasi baru, dimana setiap guru diberikan target nilai terendah yang harus dicapai oleh siswa untuk mendapatkan predikat tuntas. Dikatakan inovasi, karena sebelumnya sistim penilaian yang digunakan sangat sederhana. Sebelum penerapan KKM, nilai di bawah 6 dianggap tidak tuntas dan dituliskan dengan tinta merah.
Penentuan KKM dilakukan pada setiap awal tahun pembelajaran oleh setiap guru. Adapun komponen perhitungannya terdiri dari kompleksitas, daya dukung dan intake. Kompleksitas, adalah tingkat kesulitan materi yang akan disampaikan. Daya dukung mengarah pada ketersediaan sarana dan prasarana sekolah untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Sedangkan intake, merupakan tingkat kemampuan rata-rata siswa. Intake dapat diambil dari rata-rata nilai yang dicapai siswa pada semester sebelumnya.
Sampai disini, semua nampak baik-baik saja. Penentuan target oleh seorang guru, diharapkan akan mampu memacu atau memotivasi sang guru untuk mencapai target tersebut. Sedangkan bagi siswa yang belum mencapai batas ketuntasan,maka disediakan ruang remidi bagi mereka. Dengan catatan sang guru telah melakukan analisa terhadap hasil ulangan yang telah dilaksanakan. Sehingga akan terjalin benang merah dari mulai penentuan target, proses pembelajaran, evaluasi atau ulangan, analisa, remidi dan predikat tuntas.
Namun seiring waktu berjalan, KKM justru menjadi racun bagi dunia pendidikan. Dengan alasan-alasan tertentu beberapa sekolah melakukan penentuan KKM yang tidak masuk akal. KKM bukan lagi didasarkan pada kondisi riil di lapangan, akan tetapi didasarkan pada kepentingan sekolah itu sendiri. Akhirnya tak dapat dihindarkan, terjadi perlombaan penentuan KKM.
Sebagai salah sebuah contoh di lapangan. Salah satu orang tua siswa harus geleng-geleng kepala, saat ia mengambil buku rapor anaknya. Pada salah satu mata pelajaran tertera predikat belum tuntas. Padahal nilai yang dicapai sang anak adalah 79. Dia tak habis pikir, nilai setinggi itu dikatakan tidak tuntas. Usut punya usut, ternyata KKM di sekolah tersebut adalah nilai 80!
Fenomena semacam ini ternyata terjadi hampir di setiap sekolah. Arena jor-joran dalam penentuan KKM tinggi  menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari oleh sekolah. Karena hal ini berkaitan dengan 2 hal. Pertama, menentukan nasib siswa saat harus melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.  Kedua, sebagai bentuk prestige sekolah di mata masyarakat. Sungguh miris jika hal ini yang terjadi.
Sisi lain yang tak kalah rumit adalah pada pelaksana di lapangan, kalangan guru. Penentuan KKM yang tinggi oleh sekolah, tidak urung membuat kalangan guru kesulitan dalam mencapainya. Nilai yang tinggi pada jenjang sebelumnya, otomatis akan berpengaruh pada penentuan KKM berikutnya. Sebab nilai tersebut menjadi salah satu komponen perhitungan KKM.
Sementara itu penetapan KKM, sering berbanding balik dengan kemampuan anak. Sering ditemukan di lapangan, siswa yang memiliki nilai 80 ternyata kemampuan dalam mata pelajaran tersebut sangat jauh. Sehingga hal yang semula sepele ini justru memberikan dampak simultan yang luar biasa. Jangan heran jika kita temukan angka-angka besar pada buku rapor anak-anak kita. Jangan pernah harapkan akan terpampang angka 60 pada buku rapor, terkecuali anak tersebut dalam kategori istimewa.
Kesulitan yang dihadapi para guru bukan tanpa alasan. Materi pembelajaran yang semakin sulit dan begitu luas menjadi kendala utama. Di sisi lain kemampuan siswa tidak seperti yang diharapkan. Ruang remidi yang disiapkan bagi mereka yang tidak tuntas tidak menjadi solusi. Sebagian besar siswa mengikuti remidi dengan seenaknya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa pelaksanaan remidi hanya formalitas belaka. Mereka yakin pasti lulus dengan predikat batas tuntas.
Kekacauan yang demikian rumit akhirnya memaksa  sebagian besar guru melakukan manipulasi terhadap nilai yang mereka berikan. Dengan berbagai alasan, mereka harus mengatur nilai yang akan dicantumkan pada buku rapor.