Ketika awal virus Korona menyebar di Indonesia, desakan pada pemerintah untuk melakukan lockdown begitu kuat. Mereka beranggapan bahwa lockdown merupakan satu-satunya cara untuk memutus mata rantai penyebaran virus Korona. Anggapan ini didasarkan pada beberapa langkah yang diambil negara lain.
Desakan ini ternyata tidak ditanggapi oleh pemerintah. Bahkan sempat terjadi perbedaan pandangan antara Anies Baswedan selaku gubernur DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Desakan untuk minimal melakukan semacam langkah karantina wilayah tidak diijinkan oleh pemerintah pusat. Dikatakan bahwa kewenangan tersebut berada di tangan pemerintah pusat.
Sikap gamang pemerintah untuk melakukan lockdown, tentu saja bukan sikap yang asal berbeda. Pemerintah pasti telah mempunyai berbagai pertimbangan mengenai desakan penerapan lockdown. Karena konsekuensi dari penerapan lockdown sangat besar, berkaitan antara satu sektor dengan sektor yang lain. Contoh yang saat itu ada adalah penerapan lockdown di India yang berakhir dengan kerusuhan dimana-mana.
Lain halnya dengan langkah lockdown yang dilakukan di beberapa negara sosialis. Data di lapangan langkah ini berhasil menekan angka penyebaran virus Korona dengan signifikan. Sehingga dalam waktu relatif singkat, wabah ini dapat dikendalikan. Namun yang perlu diingat adalah sistem sentralistik yang mereka terapkan menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Arti lockdown secara sederhana adalah kuncian. Dalam kamus Cambridge, lockdown adalah sebuah situasi dimana orang tidak diperbolehkan untuk masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan dengan bebas karena alasan sesuatu yang darurat (kompas.com, 22 Marert 2020). Jika dikaitkan dengan penyebaran virus Korona, maka lockdown dapat diartikan untuk mengunci suatu daerah agar tidak terjadi penyebaran virus tersebut. Langkah yang dilakukan adalah menutup seluruh akses keluar masuk di wilayah tersebut.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya pemerintah mengambil langkah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Langkah ini diambil dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini diungkap oleh Menko Polhukam, Mahfud MD kepada wartawan pada tanggal 27 Maret 2020 (m.detik.com).
Produk dari kebijakan itu adalah penerapan PSBB di beberapa wilayah. Wilayah pertama yang mendapat kesempatan menerapkan PSBB adalah DKI Jakarta terhitung mulai tanggal 10 April 2020 hingga 14 hari ke depan. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa wilayah di sekitar DKI Jakarta, setelah mendapatkan ijin dari Kementrian Kesehatan.
Harus diakui bahwa penerapan PSBB di DKI Jakarta mulai menampakkan hasil. Hal ini terungkap dari konferensi video yang dilakukan oleh Doni Monardo, ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Menurut paparan yang disampaikan pada tanggal 27 April 2020 penambahan kasus baru mulai melambat pada periode 21 -26 April 2020. Meskipun hal ini baru proses berjalan, namun menjadi sebuah kabar yang menggembirakan.
Kemajuan yang menggembirakan berkaitan dengan PSBB ini, ternyata harus berjalan beriring dengan beberapa permasalahan berkaitan PSBB itu sendiri. Kisruh dalam pembagian bantuan sosial bermunculan di beberapa tempat. Mulai dari distribusi yang lambat, pendataan yang tidak tepat maupun muncul beberapa nama yang belum mendapat bantuan tersebut.
Seiring dengan penerapan PSBB, muncul pula langkah nekat dari beberapa warga DKI untuk melakukan mudik. Walaupun secara tegas pemerintah melarang adanya mudik, namun dengan alasan ekonomi mereka melakukan berbagai cara.