Tak dapat disangkal, wabah Korona yang saat ini terjadi merusak segala tatanan kehidupan yang ada. Dan luar biasa, dampak ini dirasakan oleh tak kurang 210 negara di belahan bumi ini, berarti 99% negara harus menerima dampak ini. Denyut jantung dunia ini seakan terhenti sesaat. Semua urusan fokus pada penanganan wabah ini.
Salah satu sektor yang juga terkena dampak wabah Korona adalah sektor pendidikan. Kebijakan yang ditempuh semua negara hampir seragam, yaitu meliburkan semua sekolah maupun kampus. Tindakan ini dianggap sangat ampuh untuk menghentikan laju penyebaran virus Korona. Sehingga praktis sektor pendidikan pun terpaksa menghentikan denyut kehidupannya.
Tak jauh berbeda dengan negara lain, Indonesia dengan segala keterbatasan melakukan alternatif pembelajaran dengan menggunakan internet sebagai media komunikasi. Berbagai aplikasi dipergunakan oleh kalangan pendidikan, mulai dari yang bersifat pembelajaran on line maupun off line. Tentu saja semua disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Kondisi geografis wilayah Indonesia yang demikian beragam membuat setiap wilayah harus mampu melakukan improvisasi berkaitan dengan pola pembelajaran ini.
Setelah hampir satu bulan penerapan pembelajaran dari rumah, ternyata muncul beberapa kesadaran baru dalam dunia pendidikan. Kesadaran ini terutama berkaitan dengan penggunaan internet sebagai media pembelajaran. Sebuah kesadaran yang selama ini tak pernah ada sama sekali oleh siapapun, baik oleh sekolah, guru bahkan orang tua sendiri.
Pertama, kesadaran dari guru akan keberadaan pembelajaran on line sebagai alternatif cara pembelajaran. Meskipun belum belum ada data pasti, hampir sebagian besar guru sangat awam dengan cara pembelajaran ini. Bagi mereka yang masih menggunakan paradigma lama, beranggapan bahwa proses belajar mengajar itu harus dilakukan dengan tatap muka langsung. Dan ada pula sebagian besar guru yang tidak menguasai teknologi ini.
Dengan penerapan model pembelajaran ini, maka sisi positif yang dapat diambil adalah mereka dipaksa untuk menguasai model ini. Sehingga dengan segala keterbatasan yang ada, para guru tersebut harus pontang-panting untuk menguasai teknologi tersebut.
Kedua, Â kesadaran lain juga muncul dari kalangan orang tua. Kesadaran ini muncul manakala mereka harus mendampingi anak dalam belajar. Jujur harus diakui, bekal ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para orang tua jelas tidak mencukupi. Sehingga manakala mereka harus mendampingi anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, akan muncul berbagai kesulitan. Hal ini tidak hanya menimpa para orang tua yang memiliki pendidikan rendah, mereka yang mempunyai pendidikan tinggi pun mengalami hal yang sama.
Keluhan orang tua tidak hanya muncul disebabkan oleh bekal pengetahuan mereka, tapi juga metode pengajaran. Proses transfer ilmu yang selama ini dilakukan oleh guru tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Tanpa dibekali ilmu pendidikan yang mencukupi tentu saja menjadi kesulitan besar bagi orang tua. Mereka mengalami kesulitan bagaimana harus menjelaskan sebuah konsep, atau juga menjelaskan sebuah proses penyelesaian sebuah soal matematika misalnya. Kalaupun mereka tahu dengan hasilnya, tapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan.
Ketiga, kesadaran akan arti penting kehadiran guru dalam sebuah proses belajar mengajar. Tak dapat dipungkiri, ketika pembelajaran on line dilakukan terasa ada sesuatu yang kurang. Atmosfer suasana kelas yang hidup tidak tampak dalam proses tersebut.Â
Meskipun harus diakui suasana dalam kelas tidak selamanya menyenangkan bagi guru maupun murid, tapi itulah romantika belajar di kelas. Rasa senang, jengkel, marah dan lain-lainnya menjadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah proses pembelajaran. Tak heran jika sang guru yang suka marah-marah di kelas, tetap merindukan kelasnya lagi. Demikian pula dengan anak-anak bengal yang sering membuat keributan di kelas, juga merindukan suasana kelas.
Keberadaan teknologi yang menjadi jembatan dalam proses pembelajaran ternyata tidak bisa menggantikan peran guru. Sisi kemanusiaan tidak dapat tampil dengan alami dalam proses ini. Interaksi dengan menggunakan teknologi tetap tidak mampu menghadirkan nilai-nilai tersebut.