Istilah panic buying seketika menjadi viral bersamaan dengan kedatangan sang virus Corona ke tanah air kita. kedatangan yang ibarat tamu tak diundang ini seakan menyentakkan kita semua.Â
ika selama ini kita hanya menyaksikan lewat berbagai media tentang kepanikkan tersebut di China, Hong Kong, Singapura dan beberapa negara lain, kini kita mengalaminya sendiri.
Istilah panic buying sendiri berawal dari ketakutan masyarakat akan terjadinya suatu peristiwa. Secara nalar, hal ini tentu saja wajar-wajar saja. Nafsu belanja yang menggila, dengan membeli segala keperluan baik bahan pangan, obat-obatan maupun kebutuhan lain sebagai langkah antisipasif.
Ketakutan akan kelangkaan barang-barang tersebutlah yang menjadi pemicunya. Yang tidak wajar tentu saja adalah volume barang-barang yang mereka beli, dikaitkan dengan kebutuhan.
Seiring dengan kepanikan tersebut adalah melambungnya berbagai harga barang. Dan tidak jarang melahirkan para opportunitis yang memanfaatkan kesempatan. Kepanikan yang terjadi di kalangan masyarakat menjadi lahan empuk bagi mereka. Dan kembali lagi secara pure bussines sebenarnya hal ini wajar-wajar saja.
Hukum penawaran dan permintaan berlaku dalam kasus ini. Tingginya angka permintaan secara langsung akan mengerek harga barang-barang, alasannya berkaitan dengan stok barang yang tersedia. Semakin langka barang tersebut atau semakin banyak peminatnya otomatis akan terkerek harga barang tersebut.
Segala kewajaran tersebut akan berubah manakala dikaitkan dengan etika dalam bermasyarakat. Suka atau tidak, manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang dikaruniai dengan hati nurani. Makhluk yang seharusnya mengedepankan empati dan simpati pada pihak-pihak lain. Menghargai hak dan kebutuhan pihak lain mestinya yang dikedepankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI