Mohon tunggu...
Agus Setyadi
Agus Setyadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan Banda Aceh dan Kuliah di komunikasi unsyiah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jemari Lentik di Balik “Perang Rakyat”

5 September 2012   11:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Agus Setyadi MALAM masih terlalu muda ketika dentuman suara ‘senjata’ sahut-menyahut. Dari kejauhan, suara takbir sayup-sayup terdengar. Malam itu, puluhan orang berkumpul di bantaran sungai Krueng Baro. Ada remaja tanggung, pemuda paruh baya, anak-anak, anak gadis, hingga perempuan dewasa. Di antara mereka, terdapat meriam yang telah berjejer rapi: menghadap ke seberang sungai.

R.A. Karamullah/ACEHKITA.COM

Suasana malam itu riuh oleh dentuman salakan meriam karbit yang dijejerkan rapi di bantaran sungai. Di tengah dentuman suara letusan yang menggema, sejumlah gadis mengatur posisi rapi. Para gadis yang hadir malam itu tak mau ketinggalan. Para perempuan ini adalah operator meriam karbit. Mereka bahu-membahu dengan lelaki dalam menyalakan meriam karbit pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Suara yang dihasilkan meriam yang disulut oleh jemari lentik mereka bak suara bom saat konflik masih mendera Aceh. Dengan penuh semangat, menggunakan tiga jari tangan, meriam-meriam itu diledakkan. Saling serang antara dua kubu di atas bantaran sungai yang tenang pecah. Kedua kubu terlibat saling serang. Sayang, “perang rakyat” di malam lebaran itu tidak ada yang mengenai sasaran. Hanya tepuk tangan, dan suara sorakan penonton yang terdengar. Ini adalah “perang” antardesa yang berada di sepanjang bantaran sungai Krueng Baro. Malam itu, terlihat Desa Gampong Aree, Kecamatan Delima, Pidie, “bertempur” dengan Garot, Kecamatan Indrayaja, perkampungan yang berada di seberang sungai. “Pertempuran” ini hanya dibatasi sungai yang luasnya sekitar enam meter. Pesta semalam suntuk yang sudah digelar saban malam lebaran kedua Hari Raya Idul Fitri itu dilaksanakan untuk memeriahkan suasana lebaran. Biasanya, di desa di Kecamatan Indrajaya dan Delima, kebanyakan operator meriam menggunakan kayu sebagai alat untuk menyalakan meriam karbit. Tapi tidak dengan Gampong Aree. Warga di desa ini hanya menggunakan tiga jemari tangan untuk menyalakan meriam yang terbuat dari sejumlah drum minyak yang ditanam tersebut. Putri, satu di antara sekian gadis yang berani menyalakan meriam menggunakan jemari lentiknya. Tiga jemari tangannya dilapisi pasta gigi. Dengan sangat antusias ia menyalakan meriam karbit. “Tiap lebaran selalu ikut untuk bakar karbit,” kata Putri saat ditemui acehkita.com di lokasi peperangan, Minggu (19/8). Ia terlihat sudah mahir menjadi operator meriam karbit, yang sejatinya “tugas” kaum Adam. Meski menggunakan tangan, namun semangat Putri untuk menyalakan meriam karbit tidak padam. Saat meriam itu siap untuk diledakkan, tiga jemarinya dicelupkan ke dalam bensin yang sudah disiapkan. Berselang beberapa saat kemudian, jarinya yang sudah dipenuhi bensin dibakar dengan korek. Api dari jari tangan yang dibakar itu diletakkan di atas lubang meriam. Ketika api mengenai lubang, tiba-tiba “dum,” suara ledakan karbit menggema. Suara tepuk tangan, dan riuh penonton kembali terdengar. Walau dibakar, namun tangan para pembakar meriam itu tidak mengalami luka bakar. “Alhamdulillah tangan saya tidak apa-apa dan tidak ada rasa sakit,” ungkap gadis asal Gampong Aree itu. Setelah suara meriam menggema, jemari tangan mereka dilapasi pasta gigi, lagi. Panitia menyediakan pasta gigi untuk diolesi pada jemari tangan warga yang menyalakan meriam. Aswan, salah seorang warga Garot, menyebutkan pembakaran meriam karbit menggunakan tangan hanya dilakukan di Gampong Aree. Sedangkan di desa lain, warga menggunakan kayu untuk menyalakan meriam. Menyalakan meriam menggunakan tangan maupun dengan kayu tidak jauh beda. Suara yang dihasilkan pun mampu memekakkan telinga. Namun, menyalakan meriam dengan menggunakan tangan mempunyai tantangan tersendiri bagi siapa saja yang hendak menyalakan meriam karbit. “Kalau bakar pakai kayu, anak kecil pun bisa. Tapi hanya di sini (Gampong Aree) yang menggunakan jari tangan” jelas Aswan. Tak hanya gadis dan lelaki dewasa yang menyalakan meriam karbit itu. Anak- kecil pun tetap ikut ambil bagian dalam pesta semalaman suntuk itu. Dengan penuh keberanian, mereka menyalakan meriam itu. “Setelah api dinyalakan di tangan, tangan ditaruh saja di atas lubang, ya,” kata seorang pemuda saat bocah kecil itu hendak ambil bagian untuk menyalakan meriam. “Iya,” jawabnya. “Oke. Kamu siap?” tanya pemuda itu. “Buka penutup lubang.” “Dum,” gelegar suara letusan dari dalam drum minyak yang ditanam itu memekakkan telinga. Membakar meriam di malam lebaran sudah menjadi tradisi di Kecamatan Indrajaya dan Delima. Tradisi ini dibiayai secara meuripee (patungan). Bahkan, tak sedikit pemuda Garot atau Delima yang tengah merantau di Malaysia –saat lebaran saweue gampong/mudik—menjadi “pemodal” merayakan tradisi itu. Tradisi ini tak sepenuhnya disukai warga. Sebab, orang yang telah berusia lanjut dan anak-anak acap tak nyaman berada di kampong kala “pesta perang” itu digelar. “Orang tua dan anak balita harus diungsikan, karena tidak tahan dengan dentuman bom karbit,” kata Antoni Sulaiman, ketua pemuda Ulee Teutue, Gampong Aree, seperti dikutip dari Serambi. Tradisi teut bude trieng perlahan bergeser. Warga kini lebih memilih menggunakan meriam yang terbuat dari drum minyak. Drum ini disulap menyerupai rudal atau meriam sungguhan. Mesiu yang digunakan adalah karbit. Dengan material ini, gelegar suaranya bisa mencapai radius enam kilometer. Sementara bude trieng hanya digunakan sekelompok kecil saja, seperti anak-anak. Meriam karbit dibuat dari drum minyak. Drum ini disulap menyerupai meriam atau rudal. Malam itu, suara bude trieng ikut memberikan irama tersendiri di sela-sela dentuman keras bude karbet, seperti suara kontak tembak yang diselingi dentuman bom. Bude trieng dipasang di atas tempat setinggi dua meter di bibir sungai. Hanya sejumlah anak kecil yang menjadi penembak “jitu” di malam itu. “Suara meriam bambu tidak besar karena kalah dengan suara karbit. Tapi kalau diibaratkan sedang terjadi kontak tembak, suara meriam bambu yaitu seperti suara senjata. Sedangkan suara karbit yaitu suara bom yang dilemparkan di sela-sela suara letusan senjata,” ujar Zainal salah seorang pengunjung. Pada awal peperangan dimulai, meriam bambu yang disediakan hanya sedikit. Namun, di tengah-tengah perang, warga kembali membawa meriam tambahan. Meriam-meriam tambahan itu diletakkan di atas tempat setinggi lebih kurang dua meter. Tempat yang digunakan untuk perang itu terbuat dari bambu yang diikat-ikat. Meriam-meriam itu disusun di atas tempat itu. Para pembakarnya pun dengan santai menyalakan meriam bambu itu. Aneka macam jenis senjata diciptakan dari bambu. “Tank, dan minimi” terlihat di dua kecamatan itu. Namun, pengunjung lebih memilih untuk menyesaki area meriam karbit. Di tengah-tengah menyalaknya suara “perang”, tiba-tiba lampu yang menjadi alat penerang dimatikan. Pengunjung panik. “Tum.. Tum..” suara letusan kembang api pecah. Aneka macam warna kembang api menghiasi angkasa Kecamatan Delima dan Indrajaya malam itu. Pesta kembang api bak malam pergantian tahun Masehi itu mampu menghipnotis. Pengunjung yang datang dari berbagai kecamatan di Pidie untuk menyaksikan perang rakyat yang sudah menjadi tradisi warga di kecamatan itu pun terhibur. Tak sedikit di antara mereka yang mengabadikan momen-momen saat kembang api itu dinyalakan. Pengunjung yang menyaksikan pesta “peperangan” pun tak hanya warga dari Kabupaten Pidie. Namun, warga luar Pidie juga banyak yang berdatangan. Mereka yang penasaran dengan bom meriam karbit dan bude trieng itu rela datang hanya untuk menyaksikan secara dekat. Ada juga pengunjung yang hadir untuk mencari pengalaman baru dengan ikut membakar meriam-meriam itu. Salah satunya adalah Rizal. Ia pergi bersama temannya dari Lhokseumawe untuk bisa ikut menyalakan karbit. “Saya datang untuk mencari pengalaman baru. Saya datang dari Lhokseumawe,” aku Rizal, salah seorang pengunjung. Menjelang tengah malam, pengunjung yang hadir disuguhkan dengan semangkuk kanji. Kanji itu juga sudah menjadi tradisi warga Gampong Aree dan sekitarnya saban pesta “perang rakyat” itu. Kanji-kanji itu dibuat di sebuah masjid yang tak jauh dari area perang. Kanji yang sudah siap untuk disantap itu kemudian diantar dengan menggunakan becak mesin ke area “peperangan”. Pesta semalam suntuk itu berakhir ketika muazzin mengumandangkan azan subuh. Kecamatan Delima dan Indrajaya kembali sunyi. Tak lagi terdegar suara letusan karbit dan bude trieng setelah azan subuh dikumandangkan. [dimuat di acehkita.com]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun