Mohon tunggu...
Agus Setiadi Sihombing
Agus Setiadi Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Stay humble and being life-long learner!

Mewujudkan impian dengan menghadirkan mimpi bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Era Disrupsi, Ancaman atau Peluang terhadap Ketahanan Budaya Lokal?

1 Mei 2020   23:03 Diperbarui: 1 Mei 2020   23:49 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadirnya era disrupsi yang salah satunya ditandai dengan semakin derasnya distribusi budaya lintas negara menjadi 'ancaman' sekaligus 'peluang' tersendiri bagi bangsa Indonesia. Era disrupsi yang disebut juga sebagai era digitalisasi (digital age) membebaskan setiap orang untuk bertukar ide, nilai, ideologi dan budaya tanpa mengenal sekat atau batas-batas wilayah. Era disrupsi adalah fenomena yang tidak terelakkan lagi oleh setiap umat manusia. Semua golongan, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa era disrupsi merupakan sebuah virus mematikan yang bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budaya-budaya lokal atau sebuah obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tradisional yang berakar pada kemalasan, kejumudan, dan ketertinggalan (Mubah, 2011:302). Dalam konteks kebudayaan saat ini, era disrupsi di satu sisi dapat menjadi momentum untuk memperkenalkan budaya lokal Indonesia ke mata dunia, namun di sisi lain era disrupsi bisa menjadi ancaman serius bagi kelestarian nilai-nilai budaya lokal yang ada.

Jay Smith dalam bukunya "All Disruption Starts with Introspection" (yang dikutip dalam majalah iMagz bertajuk Disruption Era, 2018) mengemukakan bahwa sederhananya era disrupsi dapat didefinisikan sebagai sebuah "inovasi". Namun suatu inovasi yang sifatnya very progressive karena akan menggantikan secara luar biasa cepat atas seluruh sistem yang lama dengan cara-cara yang baru, sehingga motivasi melakukan change management tidaklah cukup, tetapi menghadirkan sustaining innovation justru telah menjadi kewajiban utama bagi siapapun (organisasi apapun) bila ingin survive di zaman "now".

Namun, hingga saat ini fakta di lapangan menunjukkan, upaya membangun ketahanan budaya bangsa Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan hingga dewasa ini (Romadhoni dan Witir, 2019:25). Ketahanan budaya bangsa Indonesia masih rentan seiring dengan semakin derasnya arus persaingan bebas dunia. Hal lain yang menyebabkan rentannya ketahanan kebudayaan Indonesia adalah karena adanya disorientasi tata nilai, krisis identitas, dan rendahnya daya saing bangsa. Mubah (dalam  Romadhoni dan Witir, 2019:26) berpendapat bahwa upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin 'memudar'. Lebih lanjut, Mubah menilai bahwa situasi atau keadaan seperti itu akan menjadi ancaman serius terhadap budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia.
 
Krisis ketahanan budaya bangsa Indonesia merupakan indikasi dari adanya krisis identitas negeri ini. Budaya lokal yang sesuai karakter bangsa semakin sulit ditemukan, sementara budaya global yang lebih 'merusak' cenderung mendapat ruang yang luas untuk melakukan ekspansinya. Dalam situasi demikian, kesalahan dalam merespon era disrupsi bisa berakibat pada lenyapnya budaya lokal. Lenyapnya budaya lokal sama artinya dengan terancamnya ketahanan budaya nasional. Sebab, budaya lokal merupakan representasi sekaligus cerminan identitas budaya nasional. Oleh karenanya, kesalahan dalam merumuskan strategi mempertahankan eksistensi budaya lokal bisa mengakibatkan budaya lokal semakin ditinggalkan masyarakat yang kini kian gandrung pada budaya yang diboncengi oleh arus disrupsi.

 Di sisi lain, seiring dengan berbagai peristiwa pencurian dan penetrasi budaya dari negara lain yang semakin menggerus budaya lokal Indonesia, maka seharusnya perlu ada upaya inovatif untuk mengembalikan eksistensi budaya lokal. Sebab, kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah bekal awal negara ini dalam menghadapi persaingan dengan negara lain di berbagai bidang di samping sumberdaya manusia yang berkualitas dan ketahanan politik dalam negeri. Era disrupsi dalam hal ini harus dimaknai sebagai peluang dan disikapi dalam kacamata yang optimis. Indonesia mestinya tidak gentar mengingat bangsa ini kaya akan budaya lokal yang dapat dijadikan peluang untuk unjuk gigi di mata dunia internasional. Keragaman budaya Indonesia merupakan modal besar untuk membawa bangsa Indonesia maju sejajar dengan negara-negara besar lainnya (Citrawan dalam  Romadhoni dan Witir, 2019:25). Belum lagi potensi industri MICE (Meeting, Incentive, Confference, and Exhibition) yang memanfaatkan kebudayaan lokal turut serta memberikan peluang besar perekonomian Indonesia dalam menghadapi pasar bebas dunia (Harison dalam Romadhoni dan Witir, 2019:25).

Hal yang perlu aware diperhatikan untuk membuat peluang budaya lokal mampu survive bahkan level up dalam menghadapi era disrupsi dewasa ini adalah sebagaimana disebutkan Clayton M. Christensen, pencetus istilah disrupsi (dalam iMagz, 2018) yang menyebutkan bahwa: "The concept of disruption is about competitive response; it is not a theory of growth. It's adjacent to growth. But it's not about growth." Dalam artian sederhananya, jika dikaitkan dengan kebudayaan, maka "level daya saing" merupakan sebuah keniscayaan bagi kebudayaan untuk dapat bertarung dalam era disrupsi yang berlangsung saat ini. Dengan demikian, hal ini akan mengamini pendapat Rhenald Kasali (dalam iMagz, 2018:5) yang mengemukakan bahwa: "Bagi masyarakat yang merayakan perubahan, disrupsi adalah masa depan. Namun, bagi mereka yang sudah nyaman dengan keadaan sekarang dan takut dengan perubahan, mereka akan berpikir bahwa ini adalah awal kepunahan".

Lantas, apakah era disrupsi akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan budaya lokal bangsa? Atau, peluang baik bagi budaya lokal untuk unjuk gigi dan level up di mata dunia? Jawabannya ada pada kita
.

Ketika era disrupsi dipandang sebagai sebuah peluang baik menuju masa depan, maka kita perlu untuk menentukan strategi untuk memaksimalkan peluang yang ada. Oleh karena itu, setiap kita harus mampu menjadi avant-garde (garda-depan) pemajuan budaya. Sebab, tugas pemajuan budaya bangsa sejatinya adalah tugas bersama segenap elemen bangsa. Di samping itu, budaya lokal yang dianggap kurang adaptif terhadap perkembangan yang ada, perlu dimodifikasi dan di-upgrade dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai atau budaya bangsa yang terkandung di dalamnya.

Pembaruan budaya lokal yang sifatnya fundamental juga perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan tanpa melunturkan ciri khas atau identitas lokal yang termaktub di dalamnya. Mengintegrasikan budaya bangsa dengan era disrupsi adalah alternatif yang bisa dilakukan untuk mempromosikan atau memperkenalkan budaya bangsa ke mata dunia sekaligus berusaha meningkatkan level daya saing budaya bangsa Indonesia dengan budaya bangsa lainnya. Bagi bangsa Indonesia sendiri, sedini mungkin masyarakat harus menanamkan rasa bangga dan mengapresiasi budaya lokal sebagai kekayaan bangsa dan national identity (jati diri bangsa) yang harus dilindungi, dirawat, dipertahankan, dan dilestarikan bersama. Jangan sampai keluhuran dan kekayaan budaya lokal yang selama ini menjadi kekayaan bangsa dan menjadi bagian jati diri bangsa tergerus eksistensinya, lantas terdegradasi atau bahkan punah akibat derasnya arus distribusi budaya lintas negara yang dibawa era disrupsi saat ini. Oleh sebab itu, pilihan yang sangat menentukan ketahanan budaya lokal ada di tangan kita.


"Apakah kita benar-benar mau bergandeng tangan untuk menjaga ketahanan budaya lokal bangsa atau malah menjadikannya sebagai bualan atau asumsi belaka, sepenuhnya ada di tangan kita."

REFERENSI
Kompasiana. 2016. Lunturnya Nilai-nilai Lokal di Indonesia. Diakses dari:

Mubah, A., S. 2011. Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus Globalisasi. Diakses dari:

Romadhoni, A., A.  Witir, D., W. 2019. Internalisasi Nilai Kearifan Lokal Indonesia Melalui Pembelajaran Sejarah Untuk Membangun Karakter Generasi Muda Jaman Now. Diakses dari:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun