Mohon tunggu...
Agus Satriadi
Agus Satriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang santri dan sekaligus pemerhati masalah sosial di banten

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melawan Teror Penguasa

3 Desember 2011   00:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ane mencoba kembali untuk memasuki ranah benturan peradaban. Mengingat begitu kuatnya konspirasi, tangan gelap, dan pemain di belakang layar. Semoga pula tulisan ini bisa menjadikan perlawanan di belakang layar terhadap teror yang dilakukan penguasa.

“barangsiapa bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka  (kaum muslimin).” (HR  Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah ra.)

Riwayat lain dikatakan “Siapa saja yang bangun pagi harinya, dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berarti apa-apa di sisi Allah SWT. Dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslim, maka dia tidak termasuk golongan mereka” (HR. Thabrani dari Abu Dzar al-Ghifari)

DEFINISI SUBYEKTIF TERORISME

sebelum kita berbicara tentang terorisme yang bukan merupakan perkara kriminal semata, marilah kita definisikan terlebih dahulu makna terorisme yang ada. Menurut Wikipedia, Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak.

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif [Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.].

Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi [IMuhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 35.].

Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut [Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal.19.].

DEFINISI AMERIKA TERHADAP TERORISME

Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi[M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Mizan Bandung, 1991, hlm. 94.], mendefinisikan terorisme sebagai :

(a) Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;

(b) Sebuah pemaksaan tingkah laku lain;

(c) Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas;

(d) Tindakan kriminal bertujuan politis;

(e) Kekerasan bermotifkan politis; dan

(f) Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.

Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki "biang teroris" karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti peluru kendali.

Sementara Encyclopedia Americana [Glorier Incorporated, USA, 1993] menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.

Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan "teror" merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara "terorisme" dan "teror" tidak selalu jelas.

Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky [Menguak Tabir Terorisme Internasional, Mizan Bandung, 1991, hlm. 19-20.], mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.

Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi "pembalasan" (retaliation).

Mengemukakan perbedaan pendapat mengenai siapa yang dianggap teroris, Martin Indyk, mantan Duta Besar Amerika di Israel yang sekarang menjadi analis senior Lembaga Brookings mencontohkan konflik Israel Palestina. Menurutnya, orang yang dianggap teroris oleh Israel, adalah pejuang kemerdekaan bagi orang Palestina.

Laporan Ariel Cohen –yang pernah tinggal di Israel selama sebelas tahun dan lulusan Bar Ilan University Law School di Tel Aviv– dipublikasikan oleh the Heritage Foundation yang dikenal luas sebagai think-tank Konservatif yang dekat dengan kelompok neo-Konservatif. Sementara Zeyno Baran –Direktur Program Energi dan Keamanan Internasional Nixon Centre– ternyata memiliki hubungan yang dekat dengan perusahan-perusahan minyak AS yang beroperasi di Asia Tengah dan rezim otoriter di Asia Tengah (lihat, Who is Zeyno Baran, www.khilafah.com) .Wajar kalau kemudian banyak muncul ketidakakuratan, inkonsistensi, generalisasi keliru, bahkan kebohongan dalam tulisan-tulisan tersebut. Alhasil definisi terorisme -yang dimainkan oleh barat- tidak lain adalah untuk melanggengkan dominasinya di negara lain, khususnya untuk kepentingan ekonomi, hukum, dan politik.

Dalam pernyataannya pada pertemuan ke 89 legiun veteran Amerika di Reno, Nevada, (28/08/2007), Presiden Bush mencoba untuk menghubungkan perjuangan Khilafah dengan aksi kekerasan, terutama yang terjadi di Irak.

"Para ekstrimis ini berharap untuk menentukan visi gelap yang sama di sepanjang Timur Tengah dengan menegakkan sebuah kekerasan dan khilafah radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia." ("These extremists hope to impose that same dark vision across the Middle East by raising up a violent and radical caliphate that spans from Spain to Indonesia.")

Mengapa Definisi Ini Dibiarkan Kabur

Dalam buku Teroris Melawan Teroris, Abu Umar Basyir, PBB telah menerbitkan beberapa resolusi –dalam jangka waktu yang sangat singkat—yang menyatakan perang terhadap terorisme dan para teroris. Namun pernyataan perang ini tanpa disertai definisi, sifat, jenis, dan bentuk teror yang hendak diperanginya. Selanjutnya lembaga itu mengharuskan seluruh Negara anggotanya menyepakati perang terhadap terror tersebut. (halaman 43)

1. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi serta pembatasan ciri-ciri dan sifatnya akan menjadikan semua yang berada di luar definisi dan ciri-ciri ini tidak termasuk terorisme. Semua yang bergerak diluar lingkup definisi dan ciri-ciri –khususnya dari kalangan Islamis—tidak mungkin diburu dengan tuduhan sebagai teroris. Berbagai aktifitas yang dilakukannya tidak mungkin dikategorikan sebagai aktifitas terorisme. Mereka tidak ingin hal semacam ini terjadi!

2. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi bisa jadi akan dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia –yang jumlahnya sangat banyak—dalam perjuangan mereka untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan kedzoliman kaum imperalis penjajah. Hal itu disebabkan gerakan-gerakan tersebut beraktifitas di luar kerangka terorisme yang disepakati untuk dihukum. Mereka juga tidak ingin hal semacam ini terjadi!

3. Pendefinisian terorisme yang harus diperangi dan disepakati, akan mencegah banyak Negara agresor untuk melakukan berbagai bentuk yang dikehendakinya terhadap bangsa-bangsa lemah, khususnya Amerika Serikat sebagai pelindung terorisme internasional dan anak tirinya, Zionis Yahudi. Mereka tidak menginginkan hal in terjadi!

Pengaburan definisi terorisme yang harus diperangi ini akan menjadikan kekuatan-kekuatan adidaya dan tirani dimuka bumi ini –dalam skala luas—untuk melakukan campur tangan terhadap urusan Negara dan bangsa lain, serta menggunakan teror berskala luas dengan atas nama “Perang Terhadap Terorisme” dan “Pembururan Terhadap Para Teroris”!

Pengaburan definisi terorisme juga bisa menjadikan istilah ini seperti karet yang bisa dibentuk sesuai kemauan para politikus yang berkuasa. Mereka bisa memasukkan siapa saja yang mereka kehendaki ke dalam golongan teroris dan dibawah payung perburuan terhadap para teroris, sekalipun sebenarnya orang tersebut bukan teroris. Sebaliknya mereka bisa mengeluarkan siapa saja yang mereka kehendaki dari lingkaran terorisme, sekalipun ia benar-benar dan terbukti sebagai seorang teroris dan penjahat!

4. Pendefinisian makna terorisme yang harus diperangi bisa jadi akan menampakkan bahwa jihad dan perlawanan rakyat Palestina terhadap Zionis Yahudi sebagai sebuah perjuangan legal yang tidak termasuk kategori terorisme. Ini berarti merupakan pengakuan tidak langsung bahwa Negara Zionis Yahudi merupakan Negara penjajah dan penjarah hak-hak bangsa lain, tidak memiliki legalitas, layak dilawan dan diperangi hingga mereka benar-benar terusir. Mereka tidak menginginkan hal ini terjadi, sama sekali!

5. Pendefinisian makna terorisme dan kesepakatan internasional mengenainya akan memunculkan konsekuensi dipersalahkannya Negara-negara agressor yang menggunakan semua jenis terorisme.

Tanggal 29 Oktober 2002 muncul sebuah dokumen CIA yang menyebutkan, bahwa akar terorisme adalah ketidakstabilan di Afganistan, usaha Iran dan Suriah untuk membangun persenjataan, memburuknya konflik Israel-Palestina, dan generasi muda yang menggeliat di negara-negara berkembang yang sistem ekonomi dan ideologi politiknya di bawah tekanan yang berat.

Mantan Menlu RI Ali Alatas pernah menyatakan, "Terorisme bisa berawal dari ketidakadilan, juga rasa ketidakadilan secara ekonomi dan politis."

Kita bertanya,

(1) siapa yang menciptakan ketidakstabilan di Afghanistan?

(2) Mengapa Suriah dan Iran membangun persenjataan?

(3) Kenapa konflik Israel-Palestina memburuk?

(4) Kenapa generasi muda menggeliat dalam situasi ekonomi dan ideologi yang tertekan?

Kita tahu jawabannya. Afghanistan tidak stabil karena AS tidak ingin ada rezim Islam yang kuat di sana. Suriah dan Iran membangun persenjataan karena merasa terancam oleh kehadiran Israel yang didukung penuh AS. Konflik Israel-Palestina memburuk karena AS selalu berada di belakang Israel. Kaum muda di negara-negara berkembang, khususnya negara Muslim, melakukan perlawanan karena mereka menyadari kuatnya kendali AS terhadap penguasa.

Singkatnya, dari arah mana pun kita mencari akar terorisme, kita akan menemukan penyebab utamanya adalah Amerika Serikat. Wajar, jika dunia akan aman-damai jika kekuatan AS lemah, bahkan hancur, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi acuan peradaban dunia, bukan materialisme-kapitalisme yang selama ini dicekokkan AS kepada warga dunia.

Perebutan Proyek Terorisme

Banyak pengamat yang mencurigai adanya koalisi antar para teroris dengan negara. Seperti dugaan mantan napol kasus Woyla yang juga peneliti di Centre for Democracy and Social Studies (CeDsos) mengatakan, pelaku berasal dari kelompok teroris yang sudah terkooptasi oleh intelijen Indonesia. "Jaringan itu sering keluar masuk di Pejaten," ujarnya enteng. Hanya saja, dia tidak menyebut secara gamblang bahwa yang dimaksud adalah markas Badan Intelijen Negara (BIN) yang berada di Pejaten, Jakarta Selatan dalam sebuah diskusi bertema 'Apa dan Bagaimana Teroris' yang digelar di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (25/7/2009). Talkshow  ini juga disiarkan jaringan radio Trijaya FM.

Presiden SBY juga bersikeras memasukkan TNI dalam lahan yang selama ini didominasi oleh kubu gories mere. Yang merupakan investigator bom JW Marriott dan 'boss' pertama densus 88. Lebih lanjut Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramowardhani, Jumat (21/8) ketidakjelasan alasan soal mengapa militer diterjunkan untuk menangani terorisme dapat memunculkan kecurigaan masyarakat kalau yang terjadi sebenarnya adalah saling berebut peran dan kekuasaan antara aparat keamanan (polisi) dan pertahanan (TNI). Tambah lagi, TNI memang memiliki kemampuan intelijen, tempur, dan penjinakan bahan peledak. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memburu para teroris dan mengantisipasi serangan mereka. Tidak cuma itu, keterlibatan militer juga dijamin melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama terkait aturan tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Senada dengan pernyataan peneliti LIPI Ketua Moderat Muslim Society, Zuhairi Misrawi dalam diskusi Trijaya di Jakarta, Sabtu (25/7) mengatakan. "Kalau memang benar ternyata para teroris sering keluar masuk ke kantor BIN, jangan sampai ada perselingkuhan antara aparat negara dengan gerakan teroris. Dengan adanya bom ini kan negara terima duit dari negara lain, jangan-jangan ini malah dijadikan proyek negara untuk mendapatkan duit,"

Sebenarnya sejak tahun 2008, gories mere telah dicopot dari polri. Selama tiga tahun menjabat Wakil Kepala Bareskrim, Gories punya kewenangan yang sungguh besar, sehingga mampu menembus semua lini menggunakan otoritasnya, termasuk mengerahkan Pasukan Anti Teror. Sehingga dengan pencopotan ini, Gories kehilangan semua kewenangan yang sangat besar itu.

TARGET KAPOLRI

Patut dapat diduga, Kalakhar BNN yang berambisi jadi Kapolri atau Wakapolri ini “sempat” ingin membangun opini publik bahwa dirinya adalah korban kezaliman. Mengutip tulisan redaksi katakami.com "yang bersangkutan sudah terlempar dari TIM ANTI TEROR POLRI sejak setahun terakhir. Sudah digeser dan dipinggirkan dari penanganan terorisme di Indonesia. Kalau disebutkan ada ancaman bom untuk GORIES MERE, pertanyaannya adalah rumah yang mana yang diancam ? Sepanjang yang kami ketahui, yang bersangkutan ini mengumumkan secara resmi bahwa ia tinggal bersama ibunda yang melahirkannya yaitu BERTHA BLASIUS JOAKIM MERE di kawasan Tebet. Itu sebabnya, ayah dari dua orang anak ini — Robet Bobby Mere & Jesicca Buanita Mere — terdaftar sebagai anggota umat di Paroki Gereja Fransiskus Asissi Tebet Jakarta Selatan. Kalau ancaman itu di rumah dinas, rumah dinas mana ? Sepanjang yang kami ketahui, yang bersangkutan ini tidak pernah mendiami rumah dinasnya. Sepanjang yang kami ketahui juga, yang bersangkutan ini jika berpergian keluar akan dijaga oleh minimal pengawalnya dari Tim Anti Teror yang masih sangat loyal kepada dirinya. Patut dapat diduga, yang bersangkutan juga memiliki bisnis KEMAFIAAN di bidang SECURITY sehingga mustahil sekali ada pihak luar yang bisa memasuki wilayah RING SATU Gories Mere".

Jenderal (purn) Soetanto yang sebelumnya merupakan Kepala BNN (Badan Narkotika Nasional) bisa menduduki jabatan kapolri. Oleh karenanya dugaan gories mere memasuki pintu BNN sebagai batu loncatan promosi jabatan kapolri patut dicurigai.

NEGARA JANGAN KALAH DENGAN INVISIBLE HAND

Harus jujur diakui bahwa kesalahan terbesar dari MABES POLRI adalah membiarkan Komisaris Jenderal Gories Mere menguasai sendiri penanganan aksi terorisme sejak bom malam natal tahun 1999 sampai periode penangkapan Abu Dujana selaku Panglima Sayap Militer Al Jamaah Al Islamyah bulan Juni-Juli 2007. Mari kita hitung bersama-sama, sudah berapa lama ketertutupan penanganan aksi terorisme itu hanya dikuasai sepihak oleh segelintir oknum polisi yang patut dapat diduga sangat penuh semangat eksklusif yang kebablasan dan ego sektoral yang menyesatkan.

Jangankan kepada pihak eksternal semacam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara (BIN), kelompok eksklusif yang patut dapat diduga menggelorakan ego sektoral menyesatkan tadi, juga sangat tidak koordinatif dan cenderung larut dalam kepongahan mereka terhadap rekan sekerja di lingkungan Mabes POLRI sendiri. Sejak penanganan bom malam Natal 1999, POLRI membentuk Tim Satgas Bom. Tim inilah yang bergerak “under ground” atau dibawah tanah.

Namun atas kebaikan dan memanfaatkan misi “WAR ON TERROR” yang dikumandangkan Presiden AS George Walter Bush, maka dibentuklah Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror POLRI — yang patut dapat diduga memang dibiayai sepenuhnya pembentukan itu oleh AMERIKA SERIKAT –.

Tidak salah dan samasekali tak perlu dicurigai keikut-sertaan AMERIKA SERIKAT dalam mendukung gerak POLRI menangani aksi terorisme lewat pembentukan Densus 88 Anti Teror POLRI.

Dalam kasus hilangnya barang bukti 13 kg sabu-sabu, demikian invisible hand juga kuat berperan dalam permainan double agent yang juga merupakan antek asing.

MELAWAN TEROR PENGUASA

Banyaknya sekali double agent yang bermain di negeri ini sudah seharusnya menjadikan pemerintah waspada. Kedaulatan sebagai negeri muslim terbesar harus dijunjung tinggi untuk benar benar terlepas dari pengaruh barat. Para penguasa negeri ini dilahirkan dari rahim suci para ibunda muslimah yang senantiasa berdzikir kepada Allah Robb Semesta. Sudah selayaknya negeri ini memiliki kekuatan, kemandiriannya sendiri. Ideologi yang suci dan yang akan menghantarkan kesejahteraan haqiqi bagi warga negaranya.

1. Meraih dukungan rakyat terhadap aktifitas dakwah yang memberikan solusi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan haqiqi.

2. Meraih dukungan elit penguasa, elit militer yang memiliki hati nurani dan tidak semata mengejar kekuasaan demi kata absah dari majikan barat dan asing (stick and carrot political views).

3. Istiqomah memperjuangkan solusi dan dakwah yang tepat bersama penguasa (yang masih setia) untuk meraih dan menegakkan kekuasaan yang berdaulat serta mandiri.

Wallahu a'laam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun