Semua orang ingin sukses. Tapi lucunya, banyak yang lupa kalau sukses itu butuh bekal. Dan bekal itu bukan sekadar ijazah. Dunia kerja sekarang lebih peduli pada satu hal: keterampilan. Yang bisa kerja, ya diterima. Yang cuma bisa teori? Tunggu giliran.
Nah, ini masalahnya. Di Indonesia, kebanyakan sekolah masih menjual mimpi akademik. Semua berlomba-lomba jadi sarjana. Padahal, jadi sarjana tidak otomatis bikin kamu siap kerja. Banyak lulusan yang akhirnya bingung mau apa. Tahu-tahu, pekerjaan yang tersedia butuh pengalaman tiga tahun, sementara mereka baru lulus kemarin sore.
Pendidikan vokasi seharusnya jadi jawabannya. Ini jalur bagi mereka yang mau langsung nyemplung ke dunia nyata. SMK, politeknik, hingga pelatihan kejuruan menawarkan sesuatu yang berbeda: keterampilan siap pakai. Bukan sekadar hapalan teori atau soal-soal yang jawabannya sudah ada di belakang buku.
Coba tengok Jerman. Negara itu sudah lama menjadikan pendidikan vokasi sebagai tulang punggung ekonomi. Anak-anak mudanya dilatih sesuai kebutuhan industri. Ada program magang yang intensif, fasilitas lengkap, dan kurikulum yang selalu di-update. Hasilnya? Tingkat pengangguran mereka sangat rendah.
Indonesia? Hmm... kita masih sibuk berdebat apakah lulusan SMK lebih baik daripada SMA. Padahal, data sudah jelas: lulusan SMK lebih mudah diterima kerja dibanding lulusan SMA. Tapi ya begitu, stigma masih ada. Banyak yang mikir, "Ah, anak SMK cuma jadi tukang." Atau, "Masa depan lulusan vokasi nggak secerah lulusan kuliah."
Salah besar. Lulusan vokasi itu ibarat tukang kayu dengan alat lengkap. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Lulusan SMA seringkali seperti tukang kayu tanpa alat. Mau kerja, tapi butuh pelatihan dulu. Jadi, kalau industri butuh karyawan yang langsung bisa kerja, siapa yang mereka pilih?
Tentu, pendidikan vokasi di Indonesia masih punya PR besar. Kurikulum seringkali nggak nyambung dengan kebutuhan industri. Banyak SMK yang masih pakai alat dari zaman dinosaurus. Mau jadi mekanik, tapi mesin praktiknya sudah ketinggalan lima generasi.
Untungnya, pemerintah mulai sadar. Ada program revitalisasi SMK dan politeknik. Industri juga mulai diajak kerja sama. Tapi ini baru awal. Kalau mau pendidikan vokasi benar-benar jadi solusi, harus ada perubahan besar-besaran. Dari kurikulum, fasilitas, sampai cara pandang masyarakat.
Lalu, kita yang jadi pendidik, juga harus ikut berbenah. Jangan cuma mendorong siswa mengejar gelar. Bantu mereka menemukan jalan yang paling cocok untuk masa depan mereka. Karena tidak semua siswa harus jadi sarjana. Dan itu bukan berarti mereka gagal.
Pendidikan vokasi adalah pilihan, bukan pelarian. Bagi banyak orang, ini adalah jalan pintas menuju pekerjaan. Jalan yang lebih langsung, lebih fokus, dan lebih nyata. Jadi, kenapa masih ragu? Dunia kerja membutuhkan keterampilan, bukan sekadar selembar ijazah. Karena sukses itu bukan tentang gelar, tapi tentang apa yang bisa kamu lakukan.