Mohon tunggu...
Agus Saefudin
Agus Saefudin Mohon Tunggu... Guru - Guru Teknik Audio Video SMK Negeri 2 Bawang Kab. Banjarnegara Prov. Jawa Tengah

flying to distance with the soft symphony.... hidup itu indah maka jalani dengan senyum dan cinta serta berbagillah karena manusia yang berharga adalah yang memiliki arti bagi sesamanya...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dialog Hati

14 Februari 2016   22:00 Diperbarui: 14 Februari 2016   22:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Maaf aku terburu-buru, tak mungkin ku jawab semua tanyamu, aku musti mengejar matahari, saat pejumpaan pertama di sepi hati, hari telah senja saat ku terjaga dari keterpanaanku pada dirimu. Engkau begitu fasih menyemburkan kata-kata makian dalam gemulai tarian, engkau begitu fasih pula mengeja bekas tapak kaki dalam pelototan mata bola indahmu.

Engkau mempesona, semburan kata dan kesabaran ejaan tapak kaki, gemulai tari dan pelototan mata bola, ah .... untukku engkau kelabu, entahlah perpaduan hitam dan putih. Aku sempat terpaku lama, pada polahmu, menggelangkan kepalaku yang tak pernah beranjak dari tegak menatap matahari, aku tengah mengejarnya, hasrat mencengkeram leher dan ingin menamparnya adalah obsesi yang masih membuatku bertahan, dalam ketergesaan langkah, meskipun berkali meluruh dan terjerembab, saat tersandung terjal aral dan lubang cobaan, tapi aku tak peduli, mesti tegak kepala memelototi matahari agar tak kehilangan jejak.

Aku berlari terus menghunus pedang, masih ingin mencengkeram lehernya, dan siap ku semburkan serapah makian, tapi pesonamu, dalam gemulai tari dan semburan kata-kata serta kesabaran mengeja bekas tapak kaki disertai pelototan mata bolamu, menghentikan langkahku, aku begitu terpesona, hah ... hingga tak sadar hari telah senja, sementara seharian aku tertegun jua pada kata-katamu makian itu, sejuta tanya engkau serapahkan pada matahari juga bulan, pun engkau memunguti dan mengeja bekas tapak kakimu, hah .... pertanyaan apa pula itu, saat kau semburkan kata-kata dan kau punguti kembai jejak tapak kaki, hidupmu tanpa jejak, tanpa bekas, karena selalu ku punguti, tapi di belakang mu berjuta kata-kata berjatuhan, tanpa makna... hah .... apa pula ini, hidup bukan kenangan, yang tertinggal harus segera dibenahi, jangan biarkan debu menutupi, pungut dan simpan dalam jambangan hati, menarilah lembut dalam tiap babakan lakon agar dapat diresapi, keindahan dan sakitnya, pun biarkan masa mengenangmu dalam kebaikan, bukan kehancuran semata. Jadi, untuk apa mengejar matahari, apalagi mencengkeram lehernya, jika dengan serapah saja senja tak pernah peduli, matahari meninggalkan hari, dan matanya masih memelototi sampai satu waktu.

Aku tak terima, mata matahari masih memelototi dan hari matahari terus beranjak, maju berlalu meninggalkan semua tapak kaki. Aku masih terus berlari ... tanpamu masih menggema, tak peduli, kehidupan selalu saja ramai dan sepi, diwarnai tawa dan air mata, kebahagiaan dan kedukaan, senang pun susah, aku masih tak mau, ingin ku tarik kerah baju matahari, biarkan hidup tawa saja jangan beri air mata, biar bahagia saja jangan pernah sertakan duka, dan biarkan semua bersenang-senang jangan beri kesusahan.

Aku ingin memaksakan itu semua pada matahari, ironi dan kotradiksi adalah agu, simponi terindah yang mengiringi lembut tarian dan jutaan muntahan serapah, demikian katamu. Tapi aku tak peduli, kemutlakan mungkinkah dipaksakan pada matahari agar hanya menyinari, tanpa perlu sembunyi, sehingga biarkan hari selalu siang, hanya ramai tawa dan senang  dalam kebahagiaan.

Huh .... engkau mencibirku, kemutlakan adalah nisbi, tak berwarna laiknya lukisan hitam tanpa putih, merah, hijau, biru dan ungu, apa indahnya hanya akan ditemui gelap, pun pelangi adalah keindahan, berpadunya berjuta warna dalam satu keindahan, bahagia duka, senang susah, tawa tangis adalah harmoni, mereka telah bersatu dalam irama orkestra agung, kehidupan adalah perpaduannya, jadi jangan dipisahkan, demikian engkau menggurui.

Kau lanjutkan pertanyaan untuk apa mengejar matahari, mencengkeram lehernya, dan memaksakan hari tanpa malam, dan kemutlakan bahagia, senang, serta tawa semata? takkan bermakna perjalananmu, takkan dinamai kehidupan, jadi untuk apa semua?

Kembali engkau menari dalam irama megatruh, dan memunguti kembali jejak tapak kaki untuk disimpan di hati, kau tersenyum dalam pandangan mata bening berairmata, maaf.... aku tertegun dalam pesonamu, tapi aku tetap melanjutkan perjalananku, waktuku telah banyak terbuang dalam pesonamu, hari telah senja dan aku musti bergegas, mengejar matahari ....

Semarang, 14022016 (Dalam hening mengeja namamu...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun