Ia berkelebat dengan seribu bayangan. Membuat lawan kebingungan mana tubuh aslinya yang menjadi sasaran, untuk diterjang dihancurkan hingga berkeping-keping. Pukulan lawan selalu meleset, hanya bayang semu serupa angin yang dapat dipukul, ditendang dan digempur dengan kekuatan yang mematikan. Andai bukan mantan anggota Bhayangkara Biru yang meladeni, tentu kemungkinan tak akan mampu melawannya.
Perkelahian satu lawan satu itu, seperti satu lawan seribu. Orang yang seperti dikeroyok seribu pendekar itu dengan lincah menangkis, menghindar setiap sergapan, gempuran, dan giringan dari seribu bayangan. Seorang gadis menyaksikan dengan tercekat di posisi yang agak jauh dari perkelahian kedua pendekar itu.
Pertarungan semangit sengit, setengah jam berlalu dengan hasil yang sama-sama nihil. Belum ada yang terdesak. Belum ada yang mendesak.
Pendekar itu sedang berpikir, bagaimana caranya mengetahui mana tubuh asli lawannya. Ia menggunakan mata batinnya. Dikerahkannya segenap energi yang telah berlipat-lipat itu untuk memfokuskan mata batinnya. Dan berhasil.
Duggggggggggg....!!! kakinya berhasil menendang lawan. Ia terjungkal. Seribu bayangan menjadi hanya satu. Tubuhnya tersuruk ke tanah. Ia memuntahkan darah segar. Diciumnya bau amis darahnya sendiri. Di depannya berdiri dengan kekar sang pendekar yangmenjadi musuhnya.
Tak disangka lawannya, ia bangkit dan secepat kilat kembali mengepung lawannya dengan seribu bayangan. Pukulan dan tendangan beberapa bersarang ditubuhnya setelah berusaha menangkis gempuran yang membabi buta. Kini bergantian, sang pendekar terpental tapi tidak separah lawannya tadi. Ia bangkit. Kini lebih waspada, musuhnya tak boleh dianggap enteng.
Duel dua pendekar menyajikan tontonan hidup yang indah. Bukan sekedar adu kesaktian tapi juga unjuk sebuah seni beladiri yang indah. Di angkasa burung garuda terbang di langit yang berwarna biru dengan awan putih. Semua itu menambah ketakjuban bagi yang melihatnya. Dan hanya ada seorang yang melihat kejadian itu, seorang gadis yang sebelumnya bersama salah satu pendekar yang sedang berlaga.
Gadis itu takjub pada kedua pendekar yang sedang berlaga. Salah seorang pendekar sudah dikenalnya dan tak diragukan lagi sosoknya yang selalu ia kagumi. Di sisi lain, gerakan beladiri lawanjuga membuatnya takjub. Ia bertubuh kekar, dadanya bidang. Kekekaran tubuhnya tidak menghalangi kelincahan gerakannya. Berbalut pakaian yang serba hitam membuat lawan bingung saat ia mengeluarkan jurus seribu bayangan yang kemungkinan menjadi jurus pamungkasnya.
Duggggggggg...!!!
Duggggggggg...!!!
Dua tendangan itu bersamaan bersarang di dada masing-masing pendekar. Keduanya terpental. Tersuruk beberapa meter ke belakang. Salah satu pendekar kembali memuntahkan darah. Sementara lawannya hanya menahan nyeri di dadanya.
“Hahahahaha...aku akan kembali. Sampai bertemu lagi!” pendekar seribu bayangan menghilang dengan tangan memegangi dadanya. Lawannya sengaja tidak mengejarnya. Seorang gadis mendekatinya...
“Kamu tidak apa-apa!”
“Hanya sedikit nyeri di dada...”
***
Beberapa saat sebelum laga dua pendekar itu.
Dalam perjalanan, Dhanapati dan Kaleena bertemu dengan seorang berpakaian hitam-hitam. Mereka berhadap-hadapan.
“Aku akan menjemput seorang prajurit dari Sunda Galuh dan juga ingin menjajal kekuatan orang-orang yang menjadi anggota Bhayangkara Biru. Apa kalian bisa membantuku?”
“Aku Dhanapati. Aku tak ingin mencari musuh, menyingkirlah!” Dhanapati menjawab dengan tenang. Kaleena merapat lebih dekat ke Dhanapati.
“Terimalah seranganku ini. Ciaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat!!!!!” Ia terbang seperti garuda menerkam mangsanya.
Dhanapati menyambut serangan lawannya. Kaleena menjauh dari lokasi. Ia mempercayakan sepenuhnya pada Dhanapati untuk meladeni lawannya.[]
Banyumas, 29 Mei 2012
cerita selanjutnya :
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/06/03/gempar-di-trowulan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H