Mohon tunggu...
Agus Pribadi
Agus Pribadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Mencoba menghayati kehidupan dan menuliskannya dalam cerita-cerita sederhana. Kunjungi juga tulisan saya di http://aguspribadi1978.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gempar di Trowulan

3 Juni 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Pendekar Seribu Bayangan bagian 2)

Seperti ada yang meledak di dadaku. Dhanapati memang sakti. Aku harus menemui guruku dulu. Aku harus mencari tempat yang tenang dan aman. Wah, di sana ada sebuah gua yang tampaknya tak berpenghuni. Aku harus ke sana. Aku menjejakkan kaki di sebuah gua yang tidak terlalu besar. Hawa dingin dan basah menjalari tubuhku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hidungku mencium aroma lembab. Aku mencari tempat yang nyaman untuk meditasi. Kakiku kuatur dalam posisi bersila. Kedua tanganku kuletakkan di pangkuan dengan lepas dan santai. Kubuat kondisi senyaman mungkin. Ledakkan di dadaku kian menghentak-hentak. Aku memanggil guruku. Guru yang pertama kali kukenal saat bermeditasi. Guru yang memberiku jurus seribu bayangan tingkat dasar. Sembari melakukan penyembuhan diri sendiri, aku mencoba menemui guruku. Ia masih muda, bahkan usianya lebih muda dariku, tapi kemampuan dan kekuatan batinnya sungguh digdaya. Ia berasal dari negeri seberang lautan, Tibet. Meski usianya muda tapi kematangan jiwanya sungguh menakjubkan, kokoh seperti gerbang kerajaan. Ia memperkenalkan diri sebagai Ki. Aku memanggilnya Guru Ki.

“Kamu sepertinya terluka. Namun tak perlu khawatir, kamu telah bisa melakukan penyembuhan diri sendiri.” Guru Ki telah berada di depanku. Kami berjalan-jalan di sebuah taman yang asri. Ia melanjutkan ucapannya,

”Dari auramu, kamu masih dikuasai nafsu diri. Kamu masih kalah oleh dirimu sendiri. Padahal kunci seorang pendekar adalah mampu menaklukkan dirinya sendiri sebelum menaklukkan musuh-musuhnya. Jurus seribu bayangan tingkat dasar sebenarnya mampu mengimbangi lawan yang sangat tangguh sekalipun, dengan syarat kamu mampu melakukan kunci di atas.”

Aku diajaknya berlatih kembali. Ia mempertunjukkan jurus-jurus indah yang ternyata merupakan kelanjutan dari jurus seribu bayangan. Aku disuruh meladeni serangan-serangannya. Aku dilatih untuk tidak gampang terpancing emosi melalui gerak-geriknya yang memancing emosi. Kalaupada jurus dasar aku hanya dilatih berkelebat dengan seribu bayangan, pada jurus tingkat lanjut ini aku dilatih untuk mengisi jurus tersebut dengan berbagai variasi gerakan,misalnya meniru macam-macam binatang, misalkan macan, elang, monyet, meniru orang mabokdan sebagainya. Aku juga diajari bagaimana cara menggunakan pedang dengan seribu bayangan.

Aku merasa tubuhku semakin segar. Ledakkan di dadaku semakin lama semakin menghilang. Kekuatanku terasa bertambah berlipat-lipat, Guru Ki menyalurkan energi ke tubuhku. Aku merasakannya.

“Sempurna! Jurus seribu bayangan telah tuntas kuberikan kepadamu. Gunakan hanya untuk membela kebenaran yang kau yakini, atau membela tanah airmu, tanah kelahiranmu!” Guru Ki memberi wejangan kepadaku, setelah itu perlahan menghilang dari hadapanku.

***

Gempar. Trowulan dan sekitarnya gempar. Pendekar Seribu Bayangan mampu membawa Kayan keluar dari Trowulan. Bukan itu yang menyebabkan gempar, tapi kemampuannya merebut Kayan seorang diri dan membawanya keluar dari Trowulan Padahal begitu banyak yang berkepentingan dengan Kayan, begitu banyak pendekar sakti nan kesohor yang terlibat di dalamnya. Ia tidak membunuh, hanya menaklukkan dan melumpuhkan. Guru Ki mengajarkan itu padanya.

Saat berada di Trowulan, Pendekar Seribu Bayangan bukannya tanpa kesulitan dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan ini pengalaman pertama kali yang paling berkesan dalam hidupnya. Ia takjub dengan kedigdayaan para pendekar yang dihadapinya. Ia belum mengalahkan mereka sebenarnya. Ia hanya fokus ingin membawa Kayan ke Sunda Galuh. Jurus seribu bayangan, ya mungkin itu yang membuat ia lebih cepat dari mereka semua, meski hanya sepersekian detik!

Kayan berada di punggungnya. Ia menjejakkan kakinya pertama kali di garis batas Trowulan. Baru selangkah ia melangkah, di hadapannya sejauh lima tombak berdiri seorang pendekar yang wajahnya tak terlihat karena tertutup oleh penutup kepala.

“Pendekar Misterius!” Ia tercekat []

Banyumas, 3 Juni 2012

cerita sebelumnya :

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/29/pendekar-seribu-bayangan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun