[caption id="attachment_151748" align="aligncenter" width="300" caption="Dari kiri ke kanan : Kang Singgih, Kang Lejar, Kang Tohari, Kang Agustav, Kang Agus, Kang Ardisa"][/caption]
Ketika bersilaturahmi dengan teman-teman Kompasianer Purwokerto ke Pepunden Ahmad Tohari siang tadi (Minggu, 25 Desember 2011). Kami banyak gendu-gendu rasa dengan Kang Tohari, panggilan akrab beliau, seputar budaya dan dunia penulisan.
Ketika saya menanyakan tentang sesuatu yang membuat penasaran saya selama ini, jawaban beliau membuat saya yang awam, semakin bersemangat untuk menulis.
Saya : bagaimana batasan suatu tulisan disebut sastra atau bukan sastra?
Kang Tohari : Setiap tulisan yang bermakna adalah sastra.
Itu jawaban mendasar yang disampaikan beliau mengenai tulisan sastra.
Beliau mengamati untuk karya-karya sastra saat ini masih kurang yang konsern pada hal-hal mendasar yang dialami manusia, misalnya : keadilan, gender, kemanusiaan, dan lainnya. Karya-karya sekarang kebanyakan menyangkut hal-hal individual. Mungkin karena kita setiap hari disuguhi informasi-informasi yang kurang bermanfaat, misalnya gosip artis, perceraian, dan sebagainya. Sehingga mempengaruhi karya tulisan yang dibuat.
Kemudian ada hal yang menyangkut soft skill dalam menulis yang beliau sampaikan.
Menurut beliau, kalau sudah menjadi seorang penulis seyogyanya jangan “sok menjadi seniman”.
Itulah pesan beliau agar seorang penulis tetap menjaga rasa rendah hatinya meskipun kelak karya-karyanya telah di kenal di kalangan masyarakat luas. Beliau memberi teladan dengan menerima kami dengan baik, meskipun beliau tidak mengenal karya-karya kami, atau khususnya saya yang awam dalam hal sastra.
Kemudian beliau juga menggambarkan: bagaimana proses kepenulisan seorang penulis harus terus ditekuni dengan sabar.
Beliau mencontohkan, setelah sekitar delapan tahun lamanya berusaha untuk menembus koran Kompas, karya beliau berupa cerpen baru dimuat di koran Kompas saat itu.
Demikian beberapa hal yang dapat saya tangkap dari anjangsana kami ke kediaman penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi inspirasi Film Sang Penari. Kami berempat merupakan Kompasianer, yaitu : Singgih Swasono, Saya, Lejar Pribadi, dan Ardisa. Sedangkan seorang lagi merupakan salah seorang penyair Banyumas : Agustav Triono.
Pendapat Kang Ahmad Tohari yang menjadi judul tulisan saya ini, semakin menyemangati saya yang awam, untuk terus menulis menghasilkan karya-karya. Saya menjadi semakin bersemangat untuk menulis Lisal (Tulisan Asal-asalan), dan juga cerpen (meskipun curhatan), dan semoga juga merambah ke novel (meskipun curhatan juga).
Salam Kompasiana!
Banyumas, 25 Desember 2011
Agus Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H